Jumat, 23 Juli 2010

Mencari Pemimpin Inspiratif

Kita hidup dalam sebuah situasi dimana partisipasi politik sudah sangat
menurun, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, sedangkan pada saat
yang sama tumbuh sentimen ketidakpercayaan terhadap partai politik dan
politisi. Kita menamai proses atau kecenderungan ini sebagai krisis
politisi dan institusi politik.

Sejak pemerintah menjadikan neoliberalisme sebagai "pandangan
hidup" dan dasar kebijakan politiknya, maka sebagian besar rakyat
telah dilemparkan keluar dari kehidupan politik secara umum. Penguasa
telah menjadi entitas terpisah dari rakyat, apparatus negara telah
menjadi musuh dari rakyat, dan Undang-undang telah menyakiti hak-hak
sosial, ekonomi, dan politik rakyat.

Dalam situasi demikianlah rakyat Indonesia mulai patah arang, bahwa
tiada lagi sosok pemimpin yang dapat diharapkan, dan jalan untuk
perubahan atau perbaikan nasib telah tertutup sangat rapat. Di
pemerintahan nasional, setelah 12 tahun proses penjatuhan rejim
Soeharto, tidak satupun kepemimpinan nasional yang sanggup melakukan
perbaikan nasib rakyat dan memberikan arah perubahan.

Namun, di balik kesulitan-kesulitaan dan ketiadaan alternatif itu,
situasi politik lokal justru menjanjikan dinamika politik baru;
kelahiran pemimpin lokal yang sanggup membuat gebrakan perubahan. Jumlah
mereka memang sangatlah kecil, dan pemberitaan atau informasi mengenai
mereka pun sangat minimal.

Dalam catatan kami, ada beberapa orang bupati atau kepala daerah yang
telah anomali dari situasi itu, diantaranya Untung Wiyono (Sragen), I
Gede Winasa (Jembrana), David Bobihu Akib (Gorontalo), Rustriningsih
(Kebumen), Endang Setyaningdyah (Demak), Suyanto (Jombang), dan masih
banyak lagi.

Keberhasilan mereka tidak kalah dengan prestasi serupa di Kerala
(India), Rio Grande Sul (Brazil) Montevideo (Uruguay), dan sebagainya.
Di Sragen, sang Bupati Untung Wiyono berhasil melakukan sejumlah
terobosan penting, diantaranya, membangun jalan-jalan dan jembatan yg
menghubungkan desa-desa dengan perkotaan, mengubah lahan tidak produktif
menjadi produktif, dan menyalurkan kredit bagi rakyat.

Selain itu, Untung Wiyono juga berhasil menciptakan pelayanan perizinan
satu atap dengan pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT), program
e-government (sistem online antarsatuan kerja, kecamatan, desa), dan
program "Homeschooling", dimana si anak tidak harus datang ke
sekolah, tapi cukup membaca modul yg bisa di download ke Cellphone
ataupun lewat komputer di kantor kelurahan.

Prestasi serupa juga ditunjukkan Bupati Jembrana, I Gede Winasa, yang
sangat dikenal dengan program pendidikan gratisnya. Demikian pula
dengan Rustriningsih di Kebumen, Endang Setyaningdyah di Demak, dan lain
sebagainya.

Keberhasilan mereka tentu tidak jatuh dari langit, melainkan lahir dari
sebuah pendekatan, kerja keras, dan keberpihakan dalam merumuskan
kebijakan.

Ketika baru dilantik sebagai bupati, Untung Wiyono menjelaskan, ia
berhadapan dengan situasi yang sangat sulit, seperti angka kemiskinan
yang sangat tinggi, jumlah pengangguran yang besar, dan masyarakat yang
hampir kehilangan harapan. Selain menggunakan spanduk bertuliskan
"orah obah, orah mamah" di berbagai pelosok kampung, dia pun
menggunakan seni pewayangan untuk menarik partisipasi rakyat untuk
bergerak dan membangun.

Rustriningsih juga berhasil membangun komunikasi yang efektif dengan
rakyatnya. Dia mengajak warganya berpartisipasi aktif melalui dialog
interaktif seperti Selamat Pagi Bupati (SPB), dimana dia berkonsultasi
langsung dan mengajak rakyat untuk mencari solusi pemecahan terhadap
masalahnya.

Dengan melihat sepak-terjang para bupati itu, kita seolah-olah bertemu
dengan secercah harapan; bahwa kita bisa mengubah situasi yang tidak
mungkin hari ini untuk menjadi mungkin di hari esok.

Di Brazil, setelah partai Buruh berhasil melakukan eksprimen di
sejumlah kota, mereka pun segera memanjat kekuasaan nasional dan
berhasil. Ini menjadi penting bagi diskusi kaum pergerakan, untuk
menjadikan pemerintahan lokal sebagai basis pijakan untuk menunjukkan
kepada rakyat, bahwa mereka sanggup melakukan perubahan di lokal dan
nasional.

NEGARA DRAKULA

Rakyat dipaksa membayar pajak, tapi mereka tak menikmati hasilnya.
Setelah Gayus Tambunan, kini muncul seorang tersangka lagi yang diduga
terlibat permainan kotor di Direktorat Jenderal Pajak. Baha-sjim Assifi
namanya. Pejabat di Bappenas yang baru saja meng-undurkan diri Maret lalu
ini adalah mantan pejabat eselon dua di Ditjen Pajak. Sama seperti Gayus,
Bahasjim pun memiliki kekayaan yang dianggap tidak wajar. Ia memiliki uang
lebih dari Rp 60 milyar atas nama anak dan istrinya.

Meski tak ada hubungan antara Gayus dan Bahasjim, keduanya sama-sama
pegawai pajak. Ini mengindikasikan ma-kelar kasus (markus) pajak telah
mengakar ke mana-mana. Sa-ngat tidak masuk akal jika modus ini tidak
diketahui oleh atasan mereka. Walhasil, praktik kotor ini bisa berlangsung
aman selama bertahun-tahun. Soalnya semua kecipratan.

Saat diperiksa di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Gayus mengungkapkan,
modus pencucian uang ini tidak dilaku-kan sendiri. Modus ini melibat-kan
banyak orang di instansinya. Gayus tergolong pemain kelas teri. Kalau
kelas teri saja mampu meraup uang Rp 28 milyar, bagaimana dengan kelas di
atasnya?
Kenyataan itu membukti-kan bahwa sistem birokrasi di negeri ini sudah
bobrok. Remu-nerasi yang memberikan gaji tinggi kepada pegawai
Kemente-rian Keuangan tak berhasil. Gaya hidup mewah dan serakah mem-buat
mereka tetap saja mencari jalan mencari harta dari jalan yang tidak sah.

Memang ada kesalahan juga dari sisi pengusaha, sebagai pihak yang
menginginkan jalan pintas. Mereka ada yang nakal. Ketua Asosiasi Pengusaha
Indo-nesia (Apindo) Sofyan Wanandi memperkirakan, masih ada seki-tar 10-20
persen pengusaha kelas kakap yang terlibat dengan markus pajak.
Namun tak sedikit peng-usaha yang diperas pegawai pajak. “Pengusaha,
kadang-ka-dang terpaksa kalau tiap kali diperiksa (pajaknya), diganggu,
akhirnya bayar juga lewat mar-kus," katanya saat Peresmian Koperasi UKM
Kreatif Apindo di kantor Apindo, Jakarta, Sabtu (10/4).

Sofyan menghitung, seti-daknya 10 persen dari biaya ope-rasional bisnis
harus direlakan untuk mengisi kantong-kantong aparat pajak, yang melakukan
praktik markus. "Makanya, Indo-nesia disebut salah satu negara terkorup
karena ini, cost invisibel tertinggi sampai 10 persen. Pada-hal, pengusaha
mau tambah investasi," ujarnya.
Kasus Gayus, menurut Sof-yan, memang memberikan indi-kasi bahwa posisi
banding dan keberatan merupakan titik rawan melakukan korupsi. "Titik itu
rawan karena mereka cari-cari salah. Mereka peras kami, kasih target
tinggi dan tidak percaya kami. Kami bilang bayar 100, ternyata dibilang
mereka harus bayar 1.000, akhirnya kami so-gok," ujarnya. Modus ini telah
berlangsung lama.

Munculnya markus pajak ini paradoks dengan kondisi masyarakat. Tanpa
disadari, masyarakat dipaksa membayar pajak kepada negara melalui bentuk
pajak yang bermacam-macam. Eh ternyata, gaji pegawai pajak yang besar dari
duit rakyat ini masih juga tidak cukup. Pajak yang seharusnya diambil dari
orang-orang kaya untuk negara, justru diembat sendiri untuk kepentingan
pribadi.

Modus makelar pajak ini sangat beragam. Mulai saat penentuan obyek
barang/jasa yang terkena pajak hingga saat wajib pajak berperkara di
peng-adilan. Menurut mantan Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, markus pajak itu
ya ada di Ditjen Pajak. Dengan menggunakan kewena-ngannya, para markus
bisa mem-buat wajib pajak tak berkutik untuk membayar pajak sesuai saran
mereka. Namun, bukannya tak mau, wajib pajak justru senang karena jumlah
yang seharusnya dibayar bisa diku-rangi. “Cincai-lah,” begitu kata orang.
Lebih parah lagi, lebih dari 70 persen pendapatan negara yang didapat dari
pajak, sedikit sekali yang mengucur bagi ke-pentingan rakyat secara
lang-sung. Justru anggaran negara banyak digunakan bagi kepen-tingan
birokrasi. Sedikit demi sedikit, negara terlihat melepas-kan rakyat agar
mereka bisa mandiri, hidup sendiri. Di sisi lain, negara tetap berharap
rakyat membantu negara.

Sistem perpajakan seperti ini mirip dengan apa yang terjadi pada zaman
penjajahan Belanda dulu. Rakyat selalu diminta mem-bayar upeti bagi
penjajah. Upeti itu tentu bukan diperuntukkan bagi rakyat tapi bagi
penjajah dan antek-anteknya. Rakyat diperas.

Tak mengherankan ada yang menyebut Indonesia ada-lah 'negara preman'.
Perpajakan adalah bentuk premanisme yang dibungkus dengan
perundang-undangan sehingga terkesan legal dan memaksa. Belum lagi, memang
negara ini dikuasai oleh para preman dalam arti yang sebenarnya.

Satgas pemberantasan ma-fia hukum menyatakan ada sembilan mafia kelas "big
fish". Mereka itu adalah mafia per-adilan, mafia korupsi, mafia pajak dan
bea cukai. Lalu mafia kehu-tanan, mafia tambang energi, mafia narkoba,
mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal serta mafia perikanan. Tak
ketinggalan mafia utang luar negeri. Mereka ini merugikan negara dan
rakyat.

Sebenarnya, negeri ini bisa sejahtera tanpa menggantung-kan diri pada
pajak yang jelas-jelas menjerat leher rakyat. Syaratnya, kepemilikan
kekayaan alam dikembalikan kepada rakyat. Ini hanya bisa terjadi bila ada
perubahan sistem secara radikal, dari sistem liberal ke sistem Islam.
Kedua, hanya orang-orang amanah yang boleh dipilih untuk mengemban ama-nah
tersebut.

Berdasarkan hitungan, ke-kayaan alam Indonesia cukup untuk menutup
kebutuhan hi-dup negara. Mengapa sekarang tidak cukup dan harus memajaki
rakyat? Sebab kekayaan alam tersebut hampir semuanya di tangan asing dan
swasta. Negara hanya menikmati bagian yang amat kecil. Menyedihkan lagi,
alokasi anggaran negara justru banyak digunakan membayar bunga utang.
Inilah sebuah kesalahan mendasar akibat bercokolnya ideologi
kapitalisme-liberal di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Maka tidak ada jalan lain untuk meng-ubahnya kecuali mengganti sistemnya
dengan sistem Islam. Allahu Akbar! [] mujiyanto

http://www.mediaumat.com/content/view/1464/68/

Gelorakan Semangat, Songsong Ramadhan

Oleh: Ulis Tofa, Lc


dakwatuna.com - Allah swt berfirman, “Dan Saya tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” Adz Dzariat:56

Ya, inilah tujuan diciptakan setiap manusia. Yaitu, melaksanakan tugas
ibadah hanya pada Allah swt. saja. Menyembah Tuhan, Pencipta langit
tujuh tanpa atap. Pencipta manusia dengan struktur unik. Pembuat alam
raya untuk manusia.

Manusia dijadikan saling mengisi, memimpin, memerintah dan melayani
sepanjang masa. Semua itu, adalah dalam rangka mewujudkan tujuan besar
ini. Karena itu, ibadah kepada Allah swt. membutuhkan semangat yang
menggelora, dan kesungguhan yang hebat sesuai dengan tujuan besar ini.

Semangat Menggelora…. Kenapa?

Kenapa dibutuhkan semangat yang menggelora untuk beribadah kepada Allah swt.?

Pertama, karena beribadah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban
syari’ah adalah amanah besar, yang justeru langit, bumi dan gunung
enggan menerima amanah besar ini.

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Al
Ahzab: 72

Semangat menggelora boleh jadi mampu menundukkan tinggi dan luasnya
langit. Mengalahkan tegarnya gunung. Mengalahkan hamparan bumi.

Kedua, karena ibadah lebih luas dari sekedar rukun Islam dan sebagian
syi’ar Islam yang biasa. Oleh karena itu, mustahil bagi Allah swt.
hanya menciptkan makhluk dan mengutus kepada mereka para Rasul. Allah
swt. membinasakan suatu kaum dan mengangkat nasib sebagian yang lain.
Allah swt. menciptkan surga dan neraka sebagai balasan. Panji-panji
dikibarkan untuk mewujudkan peribadatan. Seluruh makhluk ditundukkan
untuk manusia. Itu semua dalam rangka meletakkan rekaat shalat dan
shaum Ramadhan saja. Tidak, makna ibadah lebih luas dan lebih
menyeluruh dari itu semua. Ibadah itu, sebagaimana yang dikenalkan
syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأفعال الظاهرة والباطنة”

“Setiap istilah yang menyeluruh, terkait setiap yang dicintai Allah
dan diridhoi-Nya, baik bentuk ucapan, perbuatan, yang nyata atau yang
tersembunyi.”

Karena itu, setiap upaya mendamaikan antara dua orang adalah ibadah.
Membiayai anak yatim atau mengelus kepala mereka adalah sama-sama
ibadah. Memberi nasehat adalah ibadah. Membuang sampah pada tempatnya
atau menyingkirkan duri dari jalan adalah ibadah. Tidak menyakiti
hewan adalah ibadah. Mendidik anak sesuai dengan syari’ah Allah adalah
ibadah. Suatu yang boleh akan menjadi bernilai ibadah dengan niat yang
benar dan baik. Maka mahasiswa yang study dengan sungguh-sungguh untuk
khidmat umat muslim adalah ibadah. Profesional atau pekerja yang
sungguh-sungguh mencari rizki halal adalah ibadah. Bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, berderma untuk diri dan orang lain adalah
ibadah.

Jika makna dan kandungan ibadah begitu luas, maka sudah barang tentu
melaksanakan ibadah itu membutuhkan semangat menggelora, sebanding
dengan luasnya makna dan kandungan ibadah itu sendiri.

Ketiga, banyaknya rintangan, kendala dan kesibukan. Baik dari internal
maupun dari eksternal manusia.

Karena itu, jiwa yang cenderung bermalasan dan berleha-leha tidak
mungkin mampu melaksanakan kewajiban ibadah yang sangat luas ini. Apa
lagi, ada setan yang senantiasa menyelewengkan manusia dari jalur
ibadah. Ada juga lingkungan yang mempengaruhinya, himpitan ekonomi dan
masalah sosial. Begitu juga dengan godaan-godaan dan rayuan-rayuan
yang melenakan lainnya.

Dari itu, tidak bisa tidak, harus ada semangat yang menggelora dan
kesungguhan yang kuat.

Apa Itu Semangat Menggelora

Semangat menggelora tidak hanya diartikan menguras potensi untuk
bekerja atau beribadah. Ini salah satu ruang lingkup semangat
menggelora. Ada bentuk lain, di antaranya:

Pertama, berusaha melaksanakan amal shaleh dan konsisten
melaksanakannya, meskipun hanya sedikit. Rasulullah saw. bersabda,

“” أحب العمل إلى الله أدوم وإن قل ”  [صححه الألباني]

“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan meskipun
sedikit.” Hadits disahihkan Al Albani.

Kesinambungan dalam beramal meskipun sedikit menunjukkan adanya
semangat menggelora bagi pelakunya. Karena tabiat jiwa bosan rutinitas
dan lebih cenderung memilih perubahan. Karena itu, Rasulullah saw.
bersabda kepada Abdullah bin Amr ra. “Wahai Abdullah, kamu jangan
seperti fulan. Ia melaksanakan qiyamullail, kemudian meninggalkannya.”
Muttafaqun ‘alaih. Seakan-akan Rasulullah saw. mencela orang yang
meninggalkan amal setelah sebelumnya sudah terbiasa melaksanakannya.

Kedua, itqanul ibadah. Ibadah dengan maksimal. Tentu ini membutuhkan
semangat menggelora. Contohnya, ada orang yang bisa shalat satu rakaat
dengan baca sepertiga juz. Namun susah untuk mentadabburi makna yang
dibacanya, padahal jika ia mampu memahami kandungan ayat yang
dibacanya, ia mampu lebih lama lagi membaca ayat dalam shalat tanpa
rasa capek.

Begitu juga shaum, banyak orang yang bisa menaham makan, minum, dan
hubungan biologis, namun sangat sulit mengendalikan lisannya dari
ghibah, menaham pandangannya dari melihat yang haram. Dari dua contoh
ini, menunjukkan bahwa pelaku ibadah belum mampu melaksanakan ibadah
dengan baik dan sempurna.

Ketiga, menjaga ibadah pada saat-saat malas atau futur. Dalam kondisi
seperti ini membutuhkan semangat menggelora. Karena futur adalah sifat
manusiawi dan tabiat wajar. Rasulullah saw. bersabda,

“”لكل عمل شره، ولكل شره فترة ”  [صححه الألباني]

“Setiap amal ada jeleknya. Dan setiap kejelekan amal adalah futur.”
Disahihkan Al Albani.

Pada saat futur sangat membutuhkan kesungguhan dan semangat kembali.

Keempat, melaksanakan ibadah dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban
yang lain. Ini tentu membutuhkan kesungguhan dan semangat menggelora.
Bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban sangatlah banyak. Apalagi ia
seorang pekerja, pelajar dan pengusaha…, maka: adakalanya ia kurang
dalam hak suatu ibadah, karena ingin mengejar hak ibadah yang lain..
Atau ia memiliki semangat yang mampu menggabungkan antara dua hal ini.
Lebih lagi, jika ia mengetahui bagaimana caranya mensikapi suatu
ibadah; sehingga bisa bernilai mubah, ibadah dan berpahala.

Tujuh Semangat Ramadhan

Kalau ibadah begitu luas dan menyeluruh di hari-hari biasa, bagaimana
jika ibadah itu dilaksanakan pada hari-hari yang mulia, mahal dan
istimewa. Adalah hari-hari di bulan Ramadhan. Tentu kebaikan dan
kemuliaannya jangan sampai sia-sia. Di sinilah dibutuhkan semangat
menggelora dan kesungguhan sebenarnya.

Paling tidak ada tujuh semangat guna menyambut Ramadhan.

Pertama, meninggalkan dosa dan maksiat. Karena perbuatan ini
melemahkan semangat dan melumpuhkan tekad. Imam Syafi’i pernah mengadu
pada gurunya:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي            فأرشدني إلى ترك المعاصي

وقال اعلم بأن العلم نور                    ونور الله لا يهدى لعاصي

Ku mengadu pada Waki’ (nama gurunya) soal hafalanku yang jelek

Ia menyarankanku untuk meninggalkan maksiat

Ia berkata, ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya

Dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada pelaku maksiat

Kedua, berteman dengan orang yang mempunyai semangat tinggi dan
kesungguhan berlebih. Rasulullah saw. bersabda,

“” الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل ” [حسنه الألباني]

“Seseorang tergantung agama temannya. Oleh karena itu hendaknya ia
melihat siapa temannya.” Disahihkan Al Albani.

Menjadikan mereka sebagai teman karena Allah adalah ibadah. Cukuplah
sebagai contoh, seekor anjing yang juga akhirnya dimuliakan gara-gara
dia menemani orang-orang pilihan.

Ketiga, yakin dengan kemampuan diri sendiri. Karena Allah swt. yang
menentukan kapasitas dan potensi masing-masing, sehingga manusia
menjadi dirinya sendiri. Bagaimana tidak meledakkan kekuatan dalam
diri sendiri, padahal alam maya pada ini ditundukkan untuk manusia.
Manusia menguasinya.

Keempat, memperbanyak membaca keutamaan bulan agung ini. Membaca janji
Allah swt. bagi shaaimin, qaaimin dan dzaakirin.

Kelima, mengenal kondisi salafus shalih dalam bulan Ramadhan.
Bagaimana mereka menyambut Ramadhan. Bagaimana mereka memperlakukan
dan Ramadhan dalam kehidupan mereka.

Keenam, menuliskan target yang ingin dicapai di bulan Ramadhan.
Contohnya, berapa mengkhatamkan Al Qur’an, bersedekah, memberi makan
untuk berbuka.

Ketujuh, menulis program kerja di sisa bulan Sya’ban ini. Program
ibadah yang bertahap, sederhana, meningkat dan meningkat, sehingga
menjadikan anggota tubuh sudah terbiasa dengan ibadah Ramadhan.

Contoh program yang perlu dilaksanakan pada bulan Sya’ban ini:

  1. Membaca setengah juz sehari di awal Sya’ban, dan satu juz sehari
di separuh Sya’ban kedua.
  2. Melaksanakan qiyamullail dua rekaat dan satu witir.
  3. Bersedekah dua kali dalam satu pekan, dengan nilai tertentu.
  4. Memberi makan fakir-miskin sekali dalam sepekan, sesuai kemampuan.
  5. Membiasakan shaum Senin dan Kamis, dengan menjahui shaum pada
hari yang meragukan.
  6. Mengikuti dan mengantarkan jenazah setiap satu pekan.
  7. Menjaga dzikir selesai shalat dan dzikir pagi dan petang.
  8. Memelihara shalat lima waktu berjama’ah di masjid.
  9. Melaksanakan shalat sunnah rawatib yang mu’akkad (sangat
dianjurkan), seperti, dua rakaat sebelum fajar, dua rakaat ditambah
dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelah Zhuhur, dua rakaat
setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya’.

Kita memohon kepada Allah swt, agar menuntun kita pada amal yang
dicintai dan diridhai-Nya. Agar Allah swt. menguatkan semangat kita,
dan meninggikan keinginan kita. Agar Allah swt. menyampaikan kita
menemui Ramadhan. Dan agar Allah swt. menjadikan kita sebagai
orang-orang yang diterima amal ibadahnya. Amin. Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2008/gelorakan-semangat-songsong-ramadhan/

KEMISKINAN RAKYAT MERISAUKAN, PENGUASANYA BERMEWAH-MEWAHAN [Al Islam 515]

Seperti yang dilansir sejumlah media, jumlah orang miskin
makin merisaukan seiring kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli
2010. Pasalnya, kenaikan TDL memberikan efek domino berupa kenaikan harga
sembako, ancaman PHK dan pengangguran.

Berdasarkan standar BPS (Maret 2007), kategori miskin di antaranya seorang
dengan penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp
5.500,-/hari/orang. Dengan standar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya
sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia,
salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang
berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500
ribu/bulan). Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di
Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia;
kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian kehidupan
rakyat yang amat menyedihkan. Padahal bukankah mereka hidup di sebuah
negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan sumber daya alam
lainnya?

Pemerintah Tak Peduli
Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini
makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan
yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi
memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar
rakyatnya. Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat. Mulai April
lalu, misalnya, Pemerintah menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram
sebesar 50 persen, yakni dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu. Kenaikan ini
muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi
menjadi Rp 4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk
mencapai Rp 17,6 triliun. Dampak dari kenaikan harga pupuk ini sudah
terasa Juni lalu. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara
pendapatan masyarakat malah turun karena harga pokok produksi hanya naik
10 persen. Bagaimana para petani bisa untung?

Namun, masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem
ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap
nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik modal,
termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik. Kasus
terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola Proyek Gas
Donggi Senoro. Pemerintah memutuskan bahwa untuk proyek gas Donggi Senoro,
30% dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan 70% untuk ekspor.
Padahal yang 30% itu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas PT PLN.
Artinya, kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan industri lainnya seperti
industri pupuk sesungguhnya masih sangat besar. Sungguh ironis, saat
kebutuhan akan gas di dalam negeri begitu besar, Pemerintah justru
mengalokasikan 70% untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas
domestik mendapat prioritas maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, pabrik
pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Hal ini secara pasti akan membuat
harga produksi listrik turun sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan,
bahkan bisa diturunkan. Lebih dari itu, dengan ketersediaan bahan bakar
pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, seperti batu bakar dan
gas, Pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi
listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta
menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.

Kebijakan Pemerintah ini tentu patut dipertanyakan. Apakah karena ada
kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya
dari pasokan BBM ke PT PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan
pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal
ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati
para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Kalau ini benar,
inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara
pengusaha dan pengusaha, dengan mengorbankan rakyat banyak.

Penguasa dan Pejabat Bermewah-mewahan
Presiden SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam
menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta
energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan
sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,”
ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Ajakan itu sebenarnya sudah basi. Pasalnya, penghematan di jajaran
pemerintahan tak pernah terlihat. Masyarakat masih ingat bagaimana uang Rp
22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk
merenovasi pagar Istana. SBY sendiri tak memberikan contoh bagaimana
dirinya melakukan hemat energi itu; misalnya ia naik kendaraan umum saja
ke Istana atau seluruh listrik Istana dimatikan pada malam hari. Itu tidak
terjadi. Inilah sikap ‘munafik’ penguasa.

Pada tahun 2011, Pemerintah pun berencana membeli pesawat kepresidenan
jenis Boeing 737-800 NG, dengan harga dipatok US$ 84,5 juta, sekitar Rp
800 miliar lebih. Selain itu, dalam kurun waktu 2001-2011 Presiden SBY
menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar
negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok
sebesar Rp 181 miliar. Ini jauh di atas anggaran presiden sebelumnya di
era GusDur yang total menghabiskan Rp 48 miliar dan semasa Megawati Rp
48,845 miliar. Lalu untuk kebutuhan baju Presiden saja, anggarannya
mencapai Rp 893 juta pertahun atau Rp 74 juta perbulan atau sekitar Rp 18
juta perminggu. Padahal gaji Presiden Indonesia saat ini saja sudah amat
besar, hanya terpaut sedikit saja dari gaji tertinggi sejumlah kepala
negara di dunia, terutama jika dikaitkan dengan tingkat kemakmuran
rakyatnya. Sebagaimana diketahui, total gaji Presiden SBY saat ini adalah
sebesar Rp 62.740.000,-. Adapun kepala negara dengan gaji tertinggi di
dunia adalah Presiden Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, Irlandia dan
Prancis. (Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3409487).

Sebelumnya, DPR meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8
triliun. Ini menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun
legislatif, betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka
lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.

Selain itu, wajah APBN kita pun tidak pro rakyat. Ini bisa disimak dari
APBN Perubahan 2010. Di sana tergambar jelas bahwa APBN itu lebih
ditujukan untuk kepentingan pragmatis elit politik dan pejabat, ketimbang
untuk rakyat. DPR, misalnya, berhasil mengajukan anggaran fantastis
sebesar Rp 1,8 triliun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih
besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp 1,3
triliun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Padahal anggaran
Rp 1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM melalui program
keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya dinikmati
560 anggotanya.

Pemerintah juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi
(kenaikan gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp
13,9 triliun. Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu
menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. Di sisi lain,
triliunan uang tersebut bisa digunakan untuk 76,4 juta Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk dan 1,8
miliar liter beras.

Saatnya Hentikan Sistem/Rezim Tak Amanah

Gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari
mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa
dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan
identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan
yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.


Sikap mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah)
dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu,
jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang
menjadi hak rakyatnya. Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru
terletak pada ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada
sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu,
kesederhanaan mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan
kehormatan. Wajar jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada
masa lalu banyak menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam
as-Suyuthi menuturkan dalam Tarikh al-Khulafa’-nya tentang kisah
kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, yang tidak
pernah malu berpakaian dengan banyak tambalan, bukan dengan kain yang
sama, tetapi dengan kain yang berbeda, bahkan dengan kulit hewan. Khalifah
Umar ra. juga biasa tidur nyenyak di atas hamparan pasir, dengan
berbantalkan pelepah kurma di sebuah kebun kurma, tanpa seorang pun
pengawal. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar dan para
khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa. Mereka
berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah
Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan segala kemuliaan dan
keagungannya. Bandingkanlah dengan para penguasa kaum Muslim saat ini,
termasuk di negeri ini. Mereka hidup mewah, tetapi miskin prestasi, bahkan
menjadi musibah bagi rakyatnya.

‘Ala kulli hal, umat belum terlambat untuk menyadari bahwa sistem
sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter
para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab
suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia.

Karena itu, umat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah)
Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan
ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi mereka, sebagaimana
firman-Nya:
وَلَو أَنَّ أَهلَ القُرىٰ ءامَنوا وَاتَّقَوا لَفَتَحنا عَلَيهِم بَرَكٰتٍ
مِنَ السَّماءِ وَالأَرضِ وَلٰكِن كَذَّبوا فَأَخَذنٰهُم بِما كانوا
يَكسِبونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan
melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf
[7]: 96).

Sebaliknya, jika umat ini tetap berpaling dari peringatan Allah SWT,
enggan menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan
dalam institusi Khilafah, maka kesempitan akan selalu menjadi ‘hiasan
hidup’ mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن أَعرَضَ عَن ذِكرى فَإِنَّ لَهُ مَعيشَةً ضَنكًا وَنَحشُرُهُ يَومَ
القِيٰمَةِ أَعمىٰ
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta
(QS Thaha [20]: 124).
Wallahu a’lam. []

Selasa, 06 Juli 2010

Selamat Tinggal Century, Selamat Datang Kenaikan Harga!





Selasa, 6 Juli 2010 | Editorial
Sanggahan institusi hukum di Republik Indonesia bahwa kasus Century
tidak bermasalah, dengan tambahan backing dari presiden membuat DPR
menjadi kehilangan kewibawaan. Kasus-kasus baru yang muncul pasca
Century hanya akan mempercepat lupanya publik akan akhir dari
penyelesaian kasus Century. Rakyat banyak yang sudah kebingungan dengan
simpang-siurnya kasus, opini , dan isu tampak mulai memilih untuk
melupakan kasus Century, lagi pula saat ini mereka sedang ditindas oleh
persoalan neolib yang baru, yaitu kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Kenaikan TDL akan memicu kenaikan harga hampir seluruh barang yang
dibutuhkan rakyat. Seluruh komoditas di pasar-pasar trasidional seperti
cabe, bawang putih, dan beras menunjukkan peningkatan harga yang sangat
signifikan. Upaya liberalisasi dalam sektor kelistrikan nasional ini,
disaat proses pelistrikan di seluruh daerah belum mencakup seluruh
wilayah nusantara dengan kualitas yang memadai (tidak byar pet) adalah
sikap politik pra elite negara ini yang ternyata lebih berpihak kepada
korporasi ketimbang kesejahteraan rakyat. Sebuah surat kabar beberapa
hari yang lalu memprediksi akan ada peningkatan pengangguran sejumlah
1,7 juta jiwa dikarenakan oleh hancurnya industri kecil dan menengah
akibat naiknya TDL. Sementara itu, wapres Boediono dan Menteri ESDM
Darwin Zahedi pelan-pelan tapi pasti telah menyetujui pelepasan 70-80%
produksi gas blok Donggi/Senoro kepada kepentingan ekspor. Hanya 20-30%
yang diperuntukkan untuk memenuhi keutuhan gas untuk produksi listrik
dalam negeri. Hal ini adalah sebuah agenda sistemik berikutnya yang tak
kalah hebatnya dengan kasus Century.
Boediono adalah target selanjutnya (setelah Sri Mulayani terusir) dari
kasus Century, ini diperkuat oleh vonis politik DPR lewat opsi C. Jika
vonis politik ini tidak diperjuangkan oleh DPR, maka rakyat dapat
menjustifikasi DPR tidak bertanggung jawab atas rekomendasinya sendiri.
Kemunginan besar hal ini terjadi setelah kemunculan Sekretariat Gabungan
(setgab), sebuah koalisi yang dibangun untuk mempetieskan kasus Century
sekaligus stabilisasi rezim neoliberal sampai 2014. Dibalik setgab
(baca: koalisi jahat) inilah Boediono kini berlindung. Mengucapkan
selamat tinggal pada Skandal Century sama saja membiarkan Boediono
selamat.
Pelajaran untuk rakyat adalah rakyat dapat lebih apresiatif terhadap
partai-partai politik yang konsisten memperjuangkan kasus Century
seperti PDIP, Hanura, dan Gerindra. Sebaliknya rakyat tidak akan memilih
partai yang inkonsisten atau abu-abu seperti partai-partai di dalam
Setgab. Kita lihat juga_dalam hal mereson kenaikan harga_hampir tidak
ada partai yang berposisi untuk memihak rakyat, kecuali PDIP. Akan baik
jika partai politik di luar Setgab lebih membuka diri terhadap peluang
persatuan nasional dengan kelompok-kelompok gerakan ekstra parlemen.
Jika ada teman di dalam parlemen, gerakan yang turun ke jalan akan lebih
beringas "menyambut" (baca: menolak) datangnya kenaikan harga.
Anda dapat menanggapi editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com
http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=\
1006&Itemid=44