Selasa, 29 November 2011

Belajarlah Gaya Hidup Kepada Bangsa China



Oleh : KH. A. Hasyim Muzadi
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang

Saya ingin menyampaikan sesuatu yang menarik tentang RRC (Tiongkok) kepada
kamu semua. Dengan perjalanan ini, saya menjadi lebih mengerti kenapa
Rasulullah SAW menganjurkan kita supaya mencari ilmu, sekalipun ke
Negeri Cina. Saya perhatikan ada beberapa kekhususan dari China, yaitu:

1. Segi Historis (Sejarah)
China adalah bangsa yang tua
karena beribu-ribu tahun sebelum masehi, China sudah menjadi bangsa
yang besar bersama dengan Romawi, Yunani, Persia, India, dll. Ini adalah bangsa-bangsa tua yang ribuan tahun sebelum masehi sudah dikenal dalam sejarah.

2. Segi Geografis
China persis berada pada posisi tengah-tengah dari Benua Asia. Adapun selisih waktu antara Beijing dengan Jakarta hanya 1 jam sebagaimana selisih WIB dan WITA.

Luas Negara China ini luar biasa, bahkan melampui luasnya Amerika Serikat dan hampir sama dengan luas Uni Sovyet sebelum pecah.

3. Segi Populasi
Negara China mempunyai jumlah populasi
terbesar di dunia, yaitu mencapai 1,3 milyar jiwa. Ini jumlah penduduk
yang ada di China daratan, belum lagi bangsa China berada di luar China
(Overseas China). Di Negara mana-mana pasti ada orang China,
termasuk Kalpataru, Cengger Ayam, bahkan daerah yang
nyelempit-nyelempit itu. Jadi, tidak ada satu kota pun di dunia ini
yang tidak ada orang Chinanya. Jumlah populasi orang China yang berada
di luar RRC itu kalau ditotal sekitar 600 juta jiwa. Sehingga kalau
ditotal secara keseluruhan, maka jumlah populasi warga China mencapai
hampir 2 milyar jiwa.

4. Segi Ekonomi
China ini adalah bangsa yang mempunyai
etos kerja tinggi dan pekerja keras. Dalam satu hari, orang China mampu
bekerja selama 11 jam, padahal kita saja yang berkerja 8 jam sehari
sudah merasa berat. Perhatikan orang China yang buka toko. Pada pukul
06.00 dia sudah membuka toko dan tutup menjelang Maghrib, kemudian
malam harinya, dia totalan. Jadi, waktu yang tersisa itu hanya digunakan untuk tidur atau untuk keperluan yang berkaitan dengan usaha dagangnya.

Di samping sebagai pekerja keras, orang China adalah pekerja
cerdas. Sekarang ini, tidak ada satu barang pun di dunia ini yang tidak
ditiru oleh Negara China. Suatu saat saya pergi ke pasar malem. Di sana
saya ditunjukkan jam tangan merk Rolex, mulai dari yang asli seharga 70
juta Rupiah, sampai Rolex yang seharga Rp. 70.000, dan kita sulit untuk
membedakan antara yang asli dengan yang palsu. Oleh karena itu, RRC
mempunyai potensi luar biasa untuk menghancurkan Barat. Apalagi
produksi-produksi di sana dibuat secara besar-besaran, yaitu kalau satu
orang membuat 10 baju, maka dari RRC akan mengekspor sekirat 12-13
milyar baju.

5. Rasa Persaudaraan (Kecinaan)
Bangsa China mempunyai
rasa "kecinaan" dunia. Jadi, kalau orang China ketemu sama orang China
lainnya, perasaannya lain dibandingkan ketemu dengan kita.

6. Segi Politik

Dahulu Negara China diperintah oleh Kaisar. Tunduk kepada Kaisar adalah
harga mati, sehingga pada zaman Kekaisaran, Kaisar menyuruh rakyat
untuk membangon tembok besar China meski harus mengorbankan ratusan
ribu jiwa. Tembok besar China ini dibangun di puncak-puncak bukit dan
panjangnya sekita sepanjang 6000 KM.
Kalau ada pekerja yang mati, maka langsung dikuburkan di dekat situ.
Jadi, tembok besar China itu sebenarnya angker karena ada alam
arwahnya.

Setelah itu Negara China dipimpin oleh Komunis. Pemerintahan
Komunis ditambah dengan etos kerja bangsa China yang luar biasa,
menjadikan Negara China memperoleh untung besar. Kenapa?, karena nilai
yang dimakan oleh masing-masing orang China, lebih sedikit dari pada
nilai hasil kerja mereka. Ibaratnya: kalau nilai kerjanya Rp. 20.000
perhari, maka dia hanya memakainya sebanyak Rp, 10.000 sehari,
sedangkan yang Rp. 10.000 lainnya menjadi hak Negara, sehingga yang
semakin kuat adalah Negaranya. Ini terjadi pada waktu pemerintahan
Komunis dipimpin oleh tokoh bernama Mao Zedong.

Setelah Mao Zedong meninggal dunia, sistem ekonomi China diubah,
namun politiknya tetap berhaluan Komunis. Artinya: orang China masih
diperintahkan untuk kolektivitas, tapi ekonomi China mulai dibuka
pelan-pelan. Dari situ, mulai ada ekspor dan impor, investasi, dsb.
Bahkan lebih dari 4 juta anak-anak muda China, dikirim ke seluruh dunia
untuk belajar membuat barang-barang yang dibuat di negara-negara yang
mereka tempati. Semua itu dibiayai oleh Negara.

Akhirnya ekonomi China meledak dan berkembang sangat pesat.
Kenapa?, karena bangsa China itu tidak suka hidup mewah, di samping
karena budaya, juga karena faktor politik Komunisme yang dianut. Jadi,
Negara China itu dari Komunis, bergeser ke arah Sosialis yang agak
longgar, bahkan sekarang menjadi Kapitalis, namun bukan "dikapitalisi"
oleh orang lain.

Dalam tempo kurang dari 20 tahun, kota-kota besar di China disulap menjadi lebih hebat dari Washington dan New York.
Jadi, di sana saya seperti memasuki daerah yang aneh, karena saya dulu
pernah ke China, tapi tidak seperti yang sekarang ini. Sekarang ini
Negara China luar biasa hebatnya dan mulai menggeser posisi ekonomi
Barat. Kenapa itu bisa terjadi?, karena RRC tidak mau terikat dengan
semua ikatan ekonomi internasional, baik itu IMF, ILO, WTO, dsb.
Sehingga RRC ini berjalan tidak berdasarkan konsensus internasional,
melainkan menggelinding sendirian dengan kekuatan raksasa yang mereka
miliki.

Hidup bangsa China tetep sederhana, karena mereka mempunyai budaya
yang mengacu kepada filsafat Konghucu. Sekalipun bangsa China adalah
komunis yang menganut ajaran tidak bertuhan (atheisme), tapi sebenarnya
mereka masih mendewakan Kongfuche sampai hari ini. Orang China yang
beragama Kristen menganut Konghuchu, orang China yang beragama Islam
juga menganut Konghuchu, dsb. Konghuchu sudah menjadi agama negara dan
agama bangsa.

Umat Islam di China tidak besar, jumlah mereka kurang lebih sekitar
50 juta saja. Apa artinya 50 juta muslim di tengah-tengah 1.3 milyar
penduduk RRC. Orang Islam di sana rata-rata sudah berusia tua yang
kelasnya "Husnul khatimah".

Nah, yang menarik bagi saya dan mungkin cocok dengan kandungan
Hadits di atas adalah bahwa bangsa China itu selalu hidup di bawah
jumlah penghasilannya. Saya kira, sikap ini perlu kamu tiru. Tidak ada
orang China yang menghabiskan uang Rp. 10.000 sehari, kalau
penghasilannya tidak mencapai Rp. 15.000. Ketika orang China masih
berpenghasilan Rp. 5.000, maka dia hanya makan sebanyak Rp. 4.000 saja.
Jadi, bangsa China itu pantang memakan habis hasil keringatnya dan
harus ada sisa dari hasil keringatnya tadi.

Bangsa China sudah terbiasa hidup sederhana. Mereka bisa bikin
mobil, motor, dsb. Mereka juga bisa meniru sepeda motor model Harley
Davidson. Meskipun demikian, mereka jarang naik sepeda motor. Saya
lihat di kota Peking, kalau orang mau bepergian yang jaraknya kurang
dari 1 KM, maka mereka memilih jalan kaki; kalau lebih dari 1 KM,
mereka memilih naik sepeda; dan kalau lebih dari 5 KM, maka mereka
memilih naik bus. Kalau sudah kaya betul, baru mereka mempunyai mobil;
itupun jarang dipakai, karena mereka lebih suka naik bus sekalipun
sudah mempunyai mobil sendiri. Alasan mereka sederhana dan rasional,
yaitu jalan kaki itu lebih hemat, lebih sehat, lebih selamat, dan
anti-polusi.

Di sana juga banyak sepeda pancal, namun sepeda yang dipakai itu
jelek-jelek, karena yang baik-baik itu untuk dijual. Jadi, bangsa China
ini mempunyai sifat-sifat yang agak aneh dibandingkan dengan
bangsa-bangsa yang lain. Orang China itu kalau yang terbaik untuk
dijual, sedangkan yang jelek untuk dipakai sendiri.

Di RRC jarang ada rumah mewah, yang banyak adalah rumah susun,
maklum jumlah penduduknya milyaran orang. Sedangan bangunan yang
megah-megah adalah semacam universitas, pertokoan, mall, kantor, dsb.

Orang-orang
China jarang yang gemuk, padahal makannya banyak. Mereka bisa langsing
karena sering jalan kaki dan berolah raga. Bahkan hampir seluruh
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat-obatan, tumbuh subur di
Negara China. Ibaratnya, Negara China adalah miniatur dari
tanaman-tanaman yang berkhasiat obat. Lha, ini yang menginspirasi Mr.
Li Xiang untuk memproduksi obat-obatan, tapi sudah dimodernisir. Pabrik
yang dimiliki oleh Mr. Xiang ini sekarang sudah menguasai 1/3 pasaran
obat di dunia. Dia menggunakan sistem MLM (Multi Level Marketing) dan
sistem bonus, yaitu setiap orang yang berhasil menggaet pelanggan lain,
akan diberi bonus. Jadi, kalau saya membuat 100 anak Al-Hikam membeli
produk obatnya, maka saya akan mendapatkan keuntungan dari 100 orang
tadi. Dengan sistem promosi yang berjenjang seperti ini, maka orang
berlomba-lomba kaya melalui pabrik milik Mr. Xiang ini. Bonusnya juga
ndak tanggung-tanggung, ada bonus berupa pesawat, kapal pesiar, mobil,
sepeda motor, dsb.

Saya kan sudah ke Eropa, Amerika, Timur Tengah, Afrika, dsb., saya
melihat bangsa China ini memang aneh. Mereka lebih mendulukan bekerja
dari pada makan. Jumlah yang dimakan harus di bawah hasil kerja.
Sebenarnya makannya orang China itu banyak sama dengan makanya orang
Arab; akan tetapi karena mereka berolah-raga terus, sehingga jarang
yang gemuk. Lain hanya dengan orang Amerika, di sana ada wong gowo wetenge tok wis kabotan, mergo kakean badokan (orang
bawa perutnya sendiri sudah keberatan, sebab kebanyakan makan. red).
Lalu saya teringat pada Hadits Rasulullah SAW , Hadits itu ditujukan
untuk urusan kehidupan duniawi.

Bangsa China ini pekerja keras dan pekerja cerdas. Kalau orang
Bugis, Madura dan Batak adalah pekerja keras, tapi tidak cerdas,
sehingga kalau ayahnya jualan rokok di rombong, maka anaknya juga
demikian. Beda dengan orang China; kalau ayahnya jualan kacang
buntelan, maka pada saat anaknya nanti, usahanya sudah menjadi pabrik
kacang. Jadi, untuk faktor enterpreneurship, mungkin China itu nomer
satu di dunia.

Orang Barat itu hebat dalam hal penelitian dan penemuan. Mereka
meneliti sampai bisa menemukan listrik, kereta api, silinder, dsb.
Adapun masalah berdagang dan mencari rezeki, jagonya adalah China.
Sedangkan kalau makan tapi tidak kerja, jagonya adalah orang Indonesia.
Jadi, orang Indonesia itu maunya, kalau kerja tidak berkeringat, tapi
kalau makan, harus berkeringat. Berarti di sini kita mengalami hambatan
budaya untuk maju.

Ini semua membuat saya mikir-mikir: seandainya ibadah, tauhid, dan
akhlaq kita digandengkan dengan etos kerjanya orang China, maka saya
kira, itulah yang dimaksud oleh Hadits Rasulullah SAW.

"Bekerjalah untuk duniammu, seakan-akan engkau hidup selamanya; dan bekerjalah
untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari"

Kesalahan orang Islam adalah menghindari kerja keras, seakan-akan
tidak berkerja keras adalah bagian dari tasawuf, padahal pandangan
seperti itu adalah bagian dari kebodohan. Tasawuf itu ngeresii ati,
bukan nganggur. Banyak orang Islam yang merasa mulya ketika ngganggur,
tapi kok urip, padahal orang seperti ini pasti menjadi benalu atau
seperti bunga teratai yang hidup terombang-ambing di atas air,
sekalipun berbunga, ia tidak bisa lepas dari air. Oleh karena itu, saya
ingin kamu semua mempunyai etos kerja dan enterpreneurship.

Saya melihat orang China di sana jarang omong. Mereka ngomong
seperlunya, karena pekerjaan lebih mereka dahulukan. Sedangkan di sini, omong-omongan tok iso sampek 4 jam sambil ngentekno kopi 4 gelas (berbincang-bincang
saja bisa sampai 4 jam sambil menghabiskan kopi 4 gelas. red), serta
bercerita yang sama sekali tidak ada gunanya. Ini disebut dengan wasting time (menyia-nyiakan
waktu), padahal di dalam Hadits disebutkan bahwa orang yang
menyia-nyiakan waktu atau hidupnya, berarti dia sedang disia-siakan
oleh Allah SWT.

Sebenarnya Islam mengajarkan etos kerja ini ketika Rasulullah SAW
ditanya: "Rezeki apa yang paling baik?", beliau menjawab; "Rezeki
terbaik adalah rezeki hasil tangannya sendiri". Kadang-kadang, karena
orang tua masih cukup, maka seseorang nebeng kepada orang tua,
sementara dia sendiri tidak ada mempunyai kreativitas; sehingga begitu
ditinggal mati oleh orang tuanya, dia akan kelabakan.

Saya melihat bahwa perusahaan-perusahaan besar milik orang China di
Indonesia, rata-rata Grand Manager-nya berusia di bawah 40 tahun.
Misalnya: Gudang Garam, Djarum, dsb. Perusahaan-perusahaan itu sudah
tidak dipegang oleh ayahnya, karena ayahnya sudah menjadi konsultan,
sedangkan yang menjadi eksekutif commite-nya adalah anak-anaknya.

Saya sebenarnya ingin kamu berlatih dua hal, yaitu: jangan
memubadzirkan waktumu, demi menegakkan etos kerja dan berusahalah
berprestasi lebih tinggi dari pada apa yang kamu butuhkan.

Hal-hal
seperti di atas, kalau digandengkan dengan akhlak dan tauhid, maka
itulah bentuk nyata dari fiddunya hasanah wa fil-akhirati hasanah.

Negara-negara Islam, mulai dari Saudai Arabia sampai Maroko, adalah
Negara-negara yang kaya, namun bukan Negara yang maju. Negara-negara di
Timur Tengah menjadi Negara kaya, karena mempunyai minyaknya melimpah.
Namun karena yang menyedot minyak adalah Amerika, maka Negara-negara
Timur Tengah hanya dikasih 15 % dari hasil sedotan. Itu sudah membuat
mereka menjadi Negara kaya, akan tetapi tidak bisa menjadikan mereka
sebagai Negara maju, karena nyedot minyak saja tidak bisa. Sementara
Negara-negara di Timur Tengah yang tidak punya minyak, semuanya menjadi
Negara miskin, contoh: Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Moroko, apalagi
Sudan. Sudan itu ibukotanya bernama Kartoum, namun bandara Kartoum saja
tidak ada WC-nya, sehingga kalau mau kencing harus melayu adoh ke
tempat sing gerumbul-gerumbul (yang rimbun. red), sehabis kencing, diobati (maksudnya; diobat-abit).

Sebenarnya, perintah melihat bangsa China adalah bagian dari Hadits
yang menyatakan bahwa hikmah itu adalah milik orang mukmin. Kalau
hikmah itu kececer pada orang lain, maka hikmah itu adalah milikmu.
Jangan karena tidak Islam, lalu kamu memusuhi mereka. Karena mutiara
itu kececer dan dipegang oleh orang lain, maka ambil kembali hikah itu.
Contoh: Penelitian itu kan perintah Islam, lalu kenapa kita tidak
memakai hasil penelitian orang Eropa?. Dulu, sebelum orang Eropa maju,
yang bisa meneliti dalam bidang kedokteran, matematika, gizi, dsb.
diteliti oleh ulama'-ulama' Islam. Oleh karena itu, ambillah hikmah
dari mana saja, asal hikmah itu benar menurut syariat Islam.

Jadi, tidak bagus kalau ada orang yang membeda-bedakan antara
daerah Islam dengan daerah yang tidak Islam. Karena di daerah Islam itu
ada tauhid, namun ada kelemahan; sedangkan di daerah yang tidak Islam,
ada kekufuran, namun ada kelebihannya. Hanya saja, sampai hari ini,
orang-orang Timur Tengah, masih juga membagi peta antara Negara Islam
dengan Negara tidak Islam, padahal mutiara-mutiara Islam sebagai agama,
telah tercecer di sana-sana, karena tidak dipegang oleh orang muslim di
negara Islam itu sendiri.

Ketika saya masuk Somalia, penduduknya begitu miskin. Kalau di sana
ada orang bisa makan cukup setiap hari, itu sudah Alhamdulillah.
Padahal Negara ini mempunyai tambang-tambang yang banyak. Ini semua
mengingatkan kita, kenapa Negeri Islam, penduduknya miskin-miskin,
sedangkan penduduk di daerah non-muslim kok tidak demikian. Ilmu memang
ada di sini, namun yang melakukan adalah orang di luar Islam. Jadi,
ilmu etos kerja, ilmu penelitian dan kerja keras adalah Islami. Mereka
yang melakukan ilmu itu, meskipun ndak pakai syahadat; sedangkan di
Negara-negara Islam pakai syahadat, tapi ilmunya tidak diamalkan. Jadi,
kalau syahadat itu ibarat lokomitif, sedangkan gerbongnya adalah ilmu.
Baik lokomotif maupun gerbong, itu sama-sama diperlukan. Kalau ada
lokomotif ndak pakai gerbong, itu kan lucu.

Akhirnya di Negara-negara Islam, penduduknya bertentangan karena
selisih paham, saling bunuh-membunuh karena selisih aliran, dsb. Jadi,
Islam yang kaffah itu bukan Negara harus distempel Islam, namun
unsur-unsur ke-Islam-an yang harus diterapkan di Negara itu. Nah,
sekarang itu, golongan seperti Hizbut Tahrir, FPI, dsb. mengatakan
bahwa Islam Kaffah adalah kalau Indonesia yang dihuni oleh banyak orang
Islam ini, distempel Islam; ndak peduli apakah masyarakat di dalamnya
itu menjadi maling atau tidak. Padahal yang akan dihisab nanti adalah
orang-perorang, bukan institusi. Jadi yang harus bertanggung jawab
adalah individu, bukan nation state-nya. Baru pemahamannya saja, mereka
sudah menceng dan tidak karu-karuan. Mereka itu sebenarnya tidak
kaffah, tapi merasa paling kaffah. Kemarin saya didatangi oleh Redaktur
Majalah Sabili; saya dikritik karena saya kok masih mempertahankan
Pancasila, kenapa kok tidak setuju dengan Khilafah, berarti tidak
kaffah. Lalu saya jawab: Lho, yang dimaksud kaffah bukan
simbolistik-simbolistik, melainkan hikmah-hikmah Islam yang berserakan,
kemudian dijadikan satu, itulah Islam kaffah.

Untuk mengerti bahwa shadaqah itu penting, kita cukup membaca
Hadits. Akan tetapi untuk menciptaan masyarakat yang mampu bersedekah,
maka tidak cukup hanya dengan menghafalkan Hadits-hadits, karena itu
adalah proses perjuangan ekonomi kerakyatan. Sementara sekolah-sekolah
Islam yang di Timur Tengah, isinya menghafal saja, sehingga berhenti
sampai hafalan, tidak pada aktualisasinya. Dino-dino omongane dalil (sehari-hari bicara dalil. red), tapi dalil iku gak tahu dilakoni (tidak pernah dilakukan. red).

Semua ini menjadikan saya termenung. Sudah berapa Negara yang saya
kelilingi, saya kira sudah lebih dari 40 Negara. Namun, untuk kunjungan
ke China, rasanya lain bagi saya. Bagaimana tidak?, mereka punya
sesuatu, tapi tidak mau pakai; mempunyai etos kerja tinggi, tetapi
hidup sederhana; barang yang terbaik untuk dijual, sedangkan yang asal
jadi, dipakai sendiri. Mereka juga jarang yang mau pakai sepeda motor,
karena mengakibatkan polusi dan tidak sehat. Maka dari itu, umure wong Chino iku dowo-dowo, gak mati-mati sampek tuek tuyuk-tuyuk (umur orang china itu panjang-panjang, tidak mati-mati sampai tua. red) , bahkan mencapai usia lebih dari 100 tahun.

Jadi, budaya kita ternyata tidak produktif. Bagaimana kita bisa
mempunyai budaya yang produktif, tapi etis dan tauhidi dan Islami, ini
baru menjadi bangunan dari fiddunya hasanah wa fil akhriati hasanah.

Saya masih akan ke Moskow. Rusia itu dedengkot komunis dunia. Mereka
telah mendirikan komunisme yang bertahan selama 70 tahun, lalu ambruk.
Kenapa Rusia setelah direformasi, kok ambruk, sedangkan China setelah
reformasi kok malah melejit, padahal keduanya sama-sama komunis?. Itu
karena komunis di China menggunakan budaya China, yaitu makan kurang
dari penghasilan; sementara orang Rusia, biaya makan melebihi kapasitas
hasil kerjanya. Sekarang ini orang China pergi ke Moskow secara
besar-besaran untuk menggarap pertanian-pertanian. Sehingga sekarang
ini Rusia tampaknya berada di bawah kendali RRC.

Ketika saya di China, saya bertemu dengan pedagang Amerika yang
berasal dari Wall Street di New york. Dia minta dengan hormat, supaya
China itu tidak mengekspor barang-barang seperti sekarang ini, karena
kalau ini diteruskan, maka perekonomian akan ambruk dalam 5 tahun.
Jawabnya orang China: "Saya tidak ingin mengekspor barang saya, kalau
rakyat Anda tidak ingin membeli barang saya". Itungan China kan begini:
Penduduk China itu berjumlah 1.3 Milyar jiwa, kalau setiap orang
memperoleh bati 1$ saja, berarti untunganya sudah mencapai 1.3 Milyar
dollar. Jadi, gimana mereka mau disaingi, itu kan ndak mungkin.

disadur oleh alhikam team.
sumber: http://mylazuardi.multiply.com/journal/item/7/BELAJARLAH_GAYA_HIDUP_KEPADA_BANGSA_CHINA

Perang Psikologis Imperialis


Selasa, 22 November 2011 | Editorial Berdikari Online

Kolonialisme akan selalu mencari segala cara untuk tetap bertahan lama.
Salah satu cara yang ditempuh adalah proses dehumanisasi; rakyat jajahan
dihancurkan karakternya, dijauhkan dari akar budayanya yang progessif,
dan dibutakan dari akar historisnya. Ujung dari proyek ini adalah
penaklukan kesadaran dan penghancuran kebudayaan.

Dalam aspek psikologis, muncul perasaan minder atau rendah diri di
kalangan rakyat yang terjajah. Kolonialisme menyebarkan berbagai
propaganda untuk menunjukkan bahwa rakyat di negeri jajahan tidak bisa
bertahan hidup tanpa bergantung dari kolonialis. Muncul perasaan
inlander di kalangan pribumi.

Karena itu, ketika berusaha membangkitkan gerakan untuk menuntut
kemerdekaan, para pendiri bangsa kita berussaha membunuh "perasaan
rendah diri" itu. Bung Karno dan Bung Hatta–keduanya aktif di
Partai Nasional Indonesia (PNI)–berusaha membangkitkan sikap
"self-reliance" (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan
"self help" (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia.

Begitu Indonesia secara formal sudah merdeka, para pendiri bangsa pun
masih terus-menerus membangkitkan "jiwa self-reliance" dan
"self help" ini. Salah satu bentuknya adalah penyusunan
konstitusi, yakni UUD 1945, yang benar-benar anti segala bentuk
penjajahan. Para pendiri bangsa juga terus-menerus berusaha menyakinkan:
setiap bangsa punya jalan sendiri menuju cita-citanya. Tidak mesti harus
menuruti atau mengekor pada jalan bangsa lain. Bangsa Indonesia harus
merumuskan jalannya sendiri.

Tetapi, meskipun Indonesia sudah merdeka secara formal, kolonialisme
belum sepenuhnya terlikuidasi. Bahkan, pihak kolonialis terus-menerus
melancarkan perang psikologis untuk menghalangi bangsa Indonesia
membangun negerinya secara berdikari.

Salah satu bentuk perang psikologis itu adalah bahwa bangsa Indonesia
lebih rendah derajat ekonominya: Indonesia belum punya kapital yang
cukup, bangsa Indonesia belum memiliki tenaga ahli yang hebat, bangsa
Indonesia belum punya teknologi, dan bangsa Indonesia belum bisa
mengatur rumah tangganya sendiri.

Karena itu, menurut propaganda asing itu, bangsa Indonesia jangan
memutus hubungan dengan kapital asing dan uluran tangan negeri-negeri
imperialis. Bahkan, di kalangan bangsa kita sendiri ada yang
menganjurkan agar kekayaan alam sebaiknya diserahkan kepada kapital
asing untuk mengelolahnya. Pasalnya, menurut mereka ini, bangsa
Indonesia belum punya kapital dan kecapakan untuk mengelola sendiri
kekayaan alamnya.

Bung Hatta pernah mengeritik pedas pendapat-pendapat semacam itu. Wakil
Presiden RI pertama ini menyebut mental semacam ini sebagai
"economische minderwaardigheid", suatu penyakit rendah diri
dalam perekonomian. Bung Hatta menganggap hal itu sebagai salah-satu
bentuk senjata psikologis kolonialisme untuk menaklukkan
"semangat" bangsa kita untuk membangun perekonomian sendiri.

Perasaan semacam itu juga masih nampak sampai sekarang. Ini terutama
terjadi di kalangan pemerintah kita yang memang bermental inlander dan
sebagian besar intelektual kita yang sebagian besar otaknya diracuni
oleh teori barat.

Sebagai contoh: ketika ada seruan untuk melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Tiba-tiba pemerintah yang
bermental inlander dan intelektual pro-barat ini angkat bicara:
"Jangan! kita belum punya kapital, teknologi juga belum kita punyai,
dan bangsa kita belum punya kecakapan untuk menjalankan perusahaan asing
itu."

Mereka-mereka ini lebih takut jikalau modal asing "kabur" dari
Indonesia dibanding ratusan juta rakyatnya terperosok dalam kemiskinan.
Mereka pun menganggap biasa perampokan kekayaan alam kita oleh pihak
imperialis sebagai "harga yang harus dibayar" untuk berjalan di
belakang negeri-negeri imperialis itu.

Jika Evo Morales, Presiden Bolivia yang berfikiran anti-imperialis itu,
punya alur berfikir seperti pemerintah Indonesia dan ekonom-ekonom
didikan barat itu, mungkin rakyat Bolivia tidak akan mendapat keuntungan
apa-apa dari kekayaan alam mereka. Tetapi karena Evo Morales berani
mengeluarkan dekrit nasionalisasi kepada perusahaan-perusahaan asing
itu, Bolivia pun berhasil menaikkan penerimaannya dari eksplorasi sumber
daya alam. Keuntungan itulah yang dipergunakan untuk membiayai
pembangunan, pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, dan lain-lain.

Indonesia bangsa yang besar dan modal nasional yang besar pula. Kalaupun
kita belum sanggup melakukan nasionalisasi 100%, tetapi setidaknya kita
bisa berdaulat terhadap seluruh kekayaan alam kita: kita bisa menaikkan
pajak/royalti yang mesti dibayar oleh perusahaan asing yang mengelola
kekayaan alam kita, bisa memaksa pihak asing tidak boleh mengekspor
bahan mentah sebelum kebutuhan domestik terpenuhi, bisa memaksa
perusahaan asing melakukan alih-teknologi, bisa memaksa pihak asing
menghormati hak-hak pekerja Indonesia, dan lain sebagainya.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

SPIRIT BESAR DARI PEKERJAAN KECIL


Seorang lelaki tua sepanjang hari menyusuri rel kereta, tangannya selalu membawa sebuah kunci memeriksa satu persatu mur penyangga rel, jika ditemukan mur yang kendor/mau lepas, dengan cekatan baut itu kembali dirapatkan sehingga tertanam dengan sempurna seperti sedia kala, tidak pernah terlewatkan satu mur-pun.
Seorang anak muda yang baru dikenalnya mencoba menemani "sudah berapa lama kau lakukan pekerjaan ini pak tua ?" 
"sejak usia 20 tahun pertama kali aku bekerja sebagai tenaga honorer di perusahaan Kereta Api Negeri ini anak muda" sahut pak tua sambil tersenyum. . . 
"Hah selama itukah bapak melakukan pekerjaan yang sama terus menerus, bapak tidak bosan . . ???" 
"tidak anak muda, aku sangat mencintai pekerjaan ini . . . sampai matipun aku akan tetap melakukan pekerjaan ini... disinilah hidupku !”
"pasti gaji bapak besar, sehingga bapak betah dengan pekerjaan ini" sang pemuda masih penasaran . .
"gajiku hanya cukup untuk makan aku dan istriku di rumah"
"apakah bapak punya anak yang masih harus dibiayai hidupnya ?”
"anakku semua sudah menjadi orang sukses, sudah tidak memerlukan uangku, bahkan tidak jarang anakku yang memberi uang padaku . . ." sahut pak tua sambil tetap tersenyum.
"mestinya bapak tinggalkan pekerjaan ini, sudah waktunya beristirahat dirumah menikmati hari tua bersama istri"
sang pemuda masih penasaran . . . "Bapak terlihat rapuh dan ringkih melakukan pekerjaan ini. . ."

lagi-lagi pak tua tersenyum "anak muda, aku sangat mencintai pekerjaan ini, tidak mungkin aku meninggalkannya" . . . .
"tapi apa yang kau cari pak tua ??? anak sudah menjadi orang sukses, istri setia menunggu di rumah, gaji juga tidak seberapa, lihatlah tubuhmu yang sudah renta !!!"

"anak muda . . . rupanya kau masih belum mengerti juga kenapa aku begitu mencintai pekerjaan ini . . bukan uang yang kucari anak muda" pak tua semakin tersenyum lebar . . 
"lalu apa yang kau cari ?? " potong sang pemuda dengan cepat . . .

"Spirit anak muda . . . .semangat . . . . .lihatlah, berapa nyawa yang terselamatkan karena pekerjaanku ini . .! . . bayangkan  . . . sehari aja kutinggalkan pekerjaan ini, kamudian ada mur penyangga rel yang lepas .... itu bisa membahayakan perjalanan kereta api, ingatlah satu penumpang di kereta api ini pasti memiliki beberapa orang yang mencintainya , , … bayangkan lagi jika seandainya kereta api mengalami kecelakaan dan seluruh penumpangnya meninggal, akan ada beberapa ribu orang yang meratapi kepergian orang-orang yang dicintainya . . . . . .Spirit itulah yang selalu menemaniku bekerja selama ini, . . . ."

Temukan spirit dalam setiap pekerjaanmu, maka kamu akan sangat mencintai pekerjaan itu . .
.

Kamis, 17 November 2011

"Saya Pakai Sepatu Kets Supaya Lari Kencang"

Menneg BUMN Dahlan Iskan

Dahlan blak-blakan mengungkap rahasia membenahi PLN dan rencananya merestrukturisasi BUMN.

Senin, 14 November 2011, 23:12 WIB
Arinto Tri Wibowo, Hadi Suprapto, Iwan Kurniawan
VIVAnews - Senin pagi, 14 November 2011, pk. 07.50 WIB. Sebuah sedan Mercedes Benz hitam berpelat nomor L 1 JP merapat ke pelataran lobi Menara Standard Chartered, Jakarta, di mana VIVAnews berkantor.
Pintu sopir terbuka.
Dari baliknya keluar sesosok laki-laki yang tampak seperti orang biasa—mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, pantalon hitam yang sedikit kegombrangan, dan sepatu kets hitam.
Dia bukan sopir. Dia adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru diangkat Presiden, Dahlan Iskan. Tiga penumpang yang disopirinya, adalah para staf anak buahnya di Kementerian.
Di lift menuju kantor VIVAnews, Dahlan mendadak keluar begitu ia mendengar di gedung ini juga berkantor salah satu anak perusahaan Pertamina. Sempat dicegat petugas satpam yang bahkan tak mengenalinya sebagai menteri, pria kelahiran Magetan, 17 Agustus 1951 ini, melakukan “sidak” ke ruang-ruang kantor di situ.
“Tidak, tidak ada masalah apa-apa, kok. Saya cuma mampir sebentar,” katanya kepada sejumlah karyawan Pertamina yang gelagapan.
Dahlan memang petinggi Republik yang unik. Di kabinet sekarang, barangkali dialah salah satu pejabat yang paling santer dibicarakan publik—dengan nada positif. Dua tahun memimpin PT Perusahaan Listrik Negara, wartawan senior ini dinilai sukses menerapkan sejumlah gebrakan dan langkah terobosan.
Berikut petikan perbincangan Dahlan, mantan CEO Jawa Pos Group, dengan redaksi VIVAnews.com, yang dipenuhi gelak tawa dan guyon khasnya itu:
Bagaimana awal mula penunjukan Anda menjadi menteri?
Begini, pertama kan Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, sakit. Karena Beliau sakit, rupanya Pak SBY mencari siapa penggantinya. Periode kabinet masih tiga tahun, kan nggak mungkin ad interim. Ketika mencari pengganti, dipilih-pilih, didapatlah saya.
Sebenarnya prestasi Pak Mustafa cukup bagus. Saya saksinya. Sebagai Direktur Utama PLN, saya merasa happy di bawah Pak Mustafa. Pak Mustafa tidak banyak intervensi, termasuk bersih, dan tidak memanfaatkan PLN untuk kepentingannya sendiri.
Saya orangnya husnuzon (berbaik sangka). Artinya begini, jika saya menjadi Pak SBY, saya akan mencari orang non partai untuk menangani BUMN. Jika Pak SBY memutuskan Menteri BUMN dipegang oleh orang Partai Demokrat, tentu Pak SBY jadi bulan-bulanan--dituduh akan dijadikan kas untuk 2014. Untuk yang non partai saja ada anggapan begitu, apalagi yang dari partai.
Saya kira ini suatu kewajaran. Saya kan orang non partai. Pak SBY akan memilih orang non partai untuk Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Saya kira, setiap orang yang memiliki sensitivitas tentu akan melakukan langkah itu.
Kalau boleh memilih, saya pilih di PLN. Pak SBY tahu saya di PLN belum selesai. Tapi, Pak SBY rupanya berkepentingan ada orang non partai yang punya pengalaman di BUMN. Di PLN saya sekolah banyak banget tentang memahami BUMN. Saya ini dianggap orang yang tahu BUMN, tapi belum terkontaminasi oleh BUMN, sehingga dianggap Beliau cocok.
Apa reaksi Anda pertama kali ketika Presiden mengangkat Anda sebagai menteri?
Yang terucap adalah saya bilang ke Beliau (SBY), “Pak, saya ini nangis kalau ditunjuk jadi Menteri BUMN. Saya pilih di PLN. Biarlah saya mengawal program-program PLN sampai selesai, satu tahun lagi. Saya ingin mengawal sendiri program-program yang begitu besar di PLN.”
Beliau bilang, kan PLN masih di bawah BUMN. BUMN ini asetnya Rp2.500 triliun, tapi hasilnya kok begitu kecil. Presiden juga kelihatan merasa terhina kalau BUMN Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga, terutama Malaysia. Sehingga, SBY mencari orang yang Beliau anggap bisa membawa BUMN maju.
Tapi ini belum tentu, kan? Saya kan belum tentu bisa… hehehe.
Kemudian, dia bilang begini, “Saya percaya Pak Dahlan bisa. Di mata saya, Pak Dahlan itu man of idea dan man of action.” Itu yang Beliau ucapkan. Jadi, Beliau rupanya memerlukan orang yang idenya banyak dan berani melangkah, berani action. Ketika mengangkat saya menjadi Dirut PLN, kata-kata itu juga yang Beliau ucapkan. Berarti kan Beliau sudah tahu sebelum di PLN, saya di mata Beliau seperti itu.
Bahkan, ketika ditunjuk jadi Dirut PLN, saya terang-terangan lagi, “Pak, saya orang sakit, saya bukan insinyur listrik, tidak mengerti listrik.”
Tapi, waktu itu Beliau bilang begini, “Saya tahu semua itu, Pak Dahlan. Tetapi, saya perlu leadership dan manajemen dari Pak Dahlan.”
Beliau tahu saya tidak ahli di bidang tertentu, tidak ahli di bidang engineering. Tapi memang yang diperlukan Beliau bukan keahlian di bidang itu, tetapi leadership dan manajemen. Saya kira di Kementerian BUMN juga masih diperlukan leadership dan manajemen--bukan keahlian saya di bidang keuangan, telekomunikasi, perikanan, atau perkebunan. Meski Kementerian BUMN membawahi bidang-bidang itu, tapi muaranya kan pada leadership dan manajemen.
Anda lama menjadi wartawan dan pengusaha media, tiba-tiba diangkat jadi Dirut PLN, lalu Menteri Negara BUMN. Kenapa Anda mau? 
Awalnya saya tidak mau dengan alasan sakit.
Siapa yang mengusulkan nama Anda? 
Saya tidak tahu. Tapi begini, ketika saya sakit begitu parah, sehingga dua tahun berada di luar negeri, mondar-mandir ke China, praktis saya tidak bisa mengurus perusahaan. Kemudian, perusahaan diurus anak saya, yang laki-laki, Azrul Ananda. Saya amati, saya tinggal kok perusahaan berjalan baik. Setelah dua tahun saya sembuh, perusahaan kok lebih baik dibandingkan waktu saya sakit.
Common sense saya mengatakan untuk apa saya balik lagi ke perusahaan? Pertama, berarti saya akan mengecewakan generasi baru yang ternyata mampu. Dan kedua, kalau saya balik, saya merusak kultur yang dia bangun selama dua tahun.
Saya menganggur. Kemudian saya bertekad bergerak di bidang pendidikan. Saya mendirikan madrasah internasional di desa. Saya ingin madrasah internasional ini berkembang karena keluarga saya sebelumnya sudah punya 120 madrasah tradisional dan kondisinya jelek. Sebelumnya saya tidak pernah mengurusi madrasah keluarga karena sibuk di perusahaan.
Ketika saya menganggur, saya mencoba mengurusi madrasah keluarga dengan cara melakukan pembaruan dengan mendirikan satu madrasah internasional. Nanti, kalau sudah jadi, saya akan copy ke 120 madrasah lainnya. Praktis saya mencurahkan diri ke sana sambil menulis buku.
Mungkin Pak SBY tahu saya lagi nganggur. Seandainya saya kelihatan aktif di Jawa Pos, saya pasti tidak diminta. Tapi, ketika Beliau lihat saya menganggur, mungkin Beliau berpikir, “Nah, ini ada orang yang menganggur, saya kasih pekerjaan saja”… hehehe.
Anda sudah lama kenal SBY?
Sudah lama sekali, tapi tidak intensif, sekadar sebagai wartawan. Misalnya ketika saya di Jawa Pos, ikut kunjungan Beliau keluar negeri. Kemudian Beliau pernah berkunjung ke Jawa Pos, ke koran-koran anak perusahaan Jawa Pos, seperti ke harian Fajar di Makassar. Ya begitulah, kenal dalam pengertian saya sebagai wartawan atau pemimpin redaksi, saya sebagai Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
Kenal mendalam tidak, kenal pribadi non formal tidak pernah. Beliau kenal saya karena reputasi saya membesarkan media. Mungkin Beliau mencatat karakter dan integritas saya. Tapi, kenal pribadi dalam artian persahabatan, tidak.

Anda dinilai berhasil memimpin PLN dan menerapkan good governance di perusahaan yang dikenal sangat korup. Apa kuncinya?
Di PLN saya agak berbeda karena mendapat keistemewaaan. Ketika diangkat menjadi Dirut PLN, saya mengajukan syarat. Saya harus diperbolehkan menunjuk direktur-direktur PLN atas pertimbangan saya sendiri, sehingga direktur diangkat tidak atas rekomendasi pejabat ini dan itu. Saya pilih sendiri siapa saja yang jadi direktur PLN, dan saya bertekad untuk tidak membawa satu pun orang luar.
Saya sangat percaya bahwa di semua organisasi, termasuk di BUMN, sebetulnya yang betul-betul tidak baik itu cuma 10 persen. Tapi, yang betul-betul baik juga hanya 10 persen. Sisanya, yang 80 persen itu ikut-ikutan saja. Kalau mendapat pemimpin dari kelompok 10 persen yang tidak baik itu, sikap yang 80 persen itu akan begini, "Ya, zamannya memang lagi begini, kita ikut saja, deh. Yang penting karier saya tidak terganggu, gaji saya utuh."
Tapi, kalau yang memimpin adalah dari kelompok 10 persen yang bagus tadi, maka sikap mereka jadi begini, "Ya, begitu dong jadi pemimpin, jadi kita semangat, bisa maju perusahaan."
Karena saya percaya di PLN ada 10 persen orang yang sangat baik, maka saya pilih direktur dari kelompok tadi. Dengan demikian, maka integritas direktur PLN baik dan yang 80 persen akan ikut.
Dari program-program good governance yang Anda terapkan, berapa uang yang berhasil dihemat? 
Dalam hal uang, dari tahun pertama pengadaan strategis saja kami berhasil menghemat Rp2,4 triliun. Bisa bikin VIVAnews berapa banyak, tuh... hehehe.
Angka itu dari mana?
Pengadaan strategis itu begini. Dulu, gardu induk itu ditenderkan begitu saja. Padahal, di dalam gardu induk ada unsur trafo dan macam-macam lainnya. Akhirnya, yang jadi pemenang tender selalu pedagang, arranger. Bisa saja pedagang minta ke rekanannya pabrik trafo agar jangan mengaku harga trafo murah, karena nanti harga bisa rusak. Pabrik trafo kan tergantung kepada pemenang tender.
Sistem itu kami ubah. Tender tidak boleh begitu lagi. Leader sebuah proyek harus pabrikan langsung. Yang lain harus ikut pabrikan itu. Hasilnya, tender gardu induk harganya jadi murah sekali. Sebagai contoh, trafo IBT 500 KV dulu harganya Rp120 miliar, sekarang hanya Rp40 miliar. Ini karena sistem tender yang diubah.
Di PLN banyak proyek besar yang jadi rebutan kelompok penguasa. Di masa Anda bagaimana? 
Tender bebas.
Anda pasti pernah ditelepon orang ini dan itu...
Saya tidak peduli. Yang membahagiakan saya di PLN adalah: telepon-telepon semacam itu ada, yang mengajak makan siang ada, mengajak ketemu ada, dan semua saya layani. Saya bukan tipe orang yang nggak mau diajak makan siang. Kalau makan siang, ya makan siang. Ditelepon saya terima. Tapi, di situ saya tidak tergoyahkan sama sekali. Semua harus mengikuti prosedur. Saya happy di PLN bisa seperti itu.
Apa pencapaian terpenting Anda selama memimpin PLN?
Krisis listrik teratasi. Krisis listrik beda dengan mati lampu, lho. Krisis listrik itu kekurangan listrik di Indonesia. Itu saya happy, dalam waktu enam bulan semua bisa teratasi. Yang bikin happy lagi karena PLN ternyata mampu mengatasinya, bukan karena saya.
Dengan mengatasi krisis listrik dalam enam bulan itu, confidence orang PLN naik luar biasa. Berarti, PLN mampu mengatasi hal-hal lain yang sama besar atau lebih besar. Krisis listrik itu membuat karyawan PLN sempat tidak berani menggunakan seragam PLN, didemo di mana-mana. Bahkan, ada Kepala Cabang PLN yang dijemur oleh masyarakat di Tanjung
Pinang. Orang mungkin menyangka kalau kepala cabangnya dijemur, listriknya bakal keluar … hehehe. Padahal, mau dijemur dua bulan pun kan listriknya nggak akan keluar-keluar.
Kemudian, PLN bisa menghabiskan daftar tunggu pemasangan listrik dari 2,5 juta orang. Mereka sudah mengantre 3 tahun, 5 tahun, bahkan 7 tahun nggak dapat listrik. Saat itu, semua dapat.
Tapi, pencapaian yang terbesar adalah saat saya bisa membentuk tim yang saya sebut "The Dream Team" di PLN. Titik beratnya adalah integritas dan antusiasme. Orang PLN itu pintar-pintar, kok.
Dulu pemadaman listrik terjadi berkali-kali, sekarang hampir tidak pernah. Apa yang dilakukan PLN?
Banyak sekali pertanyaan seperti itu. Tidak ada pemerintah drop uang, kok bisa? Ini belum pernah saya ungkapkan dari mana PLN dapat uang untuk membiayainya.
Jadi begini, ada satu proyek, sudah ditenderkan, nilainya Rp15 triliun. PLN harus menyediakan uang Rp1,5 triliun. Pemenangnya sudah ditentukan. Kebetulan, tendernya bermasalah. Proyek itu di Muara Tawar. Seandainya diteruskan akan selesai 2013.
Menurut hitungan saya, pada 2013 itu akan ada banyak sekali pembangkit listrik yang jadi. Untuk apa membangun lagi? Lalu, proyek saya batalkan. Dengan pembatalan itu, PLN akan menghemat Rp15 triliun dan dalam bentuk cash Rp1,5 triliun. Uang itu yang saya pakai untuk memperbaharui sistem distribusi trafo.
Jakarta itu sekarang kuat sekali. Seandainya terjadi seperti kebakaran gardu induk, seperti di Cawang, Jakarta Timur beberapa tahun lalu, takkan ada pemadaman karena sudah di-backup oleh Bekasi, Gandul, Kembangan, dan lain-lain. Dulu tidak ada backup sama sekali, apalagi di luar Jakarta.
Lalu, saya benahi pengadaan trafo distribusi, yaitu trafo yang ada di pinggir-pinggir jalan yang melayani 200 rumah. Di tahun pertama saya beli 10 ribu trafo. Tahun kedua 15 ribu dan tahun depan 15 ribu lagi.
Dulu, banyak trafo yang saya sebut “trafo menangis”, yang sudah meleleh, tanda hampir mati, dan lama tidak pernah diganti. Juga ada “trafo hamil”, karena sudah melengkung. Itu tanda-tanda mau meledak, juga tidak diganti. Sekarang saya bilang, masih “hamil muda” trafo sudah harus diganti, sudah mulai menitikkan air mata harus diganti. Cabang-cabang harus punya stok trafo baru, sehingga tidak harus meledak dulu baru diganti.
Akibatnya apa? Tidak ada pemadaman. Karena kalau meledak baru diganti, apalagi tidak ada trafo pengganti, pemadaman bisa berlangsung lama. Pemadaman yang di tiap kota biasanya terjadi 100 kali, sekarang tinggal 5 kali.
Resep keberhasilan Anda membangun PLN sekarang akan diterapkan juga di BUMN lain?
Tidak semua BUMN bisa menggunakan satu resep. Akan beda-beda resepnya. Misalnya, perkebunan, tidak bisa begitu. Perkebunan itu, 60 persen biayanya untuk membeli pupuk. Nanti akan kami lihat bagaimana cara membeli pupuknya, kemudian cara penggunaannya. Kiat tidak hanya satu, tapi ada seribu kiat.
Salah satu terobosan yang akan diterapkan di BUMN nanti seperti apa?
Begini, ada galangan kapal IKI (PT Industri Kapal Indonesia) yang sudah dua tahun tidak bisa menggaji karyawan dan direksinya. Saya ke sana. Mental manajemennya sudah mental menunggu pertolongan dari luar, terutama minta uang dari PPA (PT Perusahaan Pengelola Aset).
Tanpa uang itu, menurut manajemen perusahaan tidak bisa beroperasi. Karena itu, manajemen hanya berharap-harap, uang kok nggak turun-turun. Sepertinya itu uang dia, sehingga menyalah-nyalahkan PPA.
Saya datang ke sana, melihat sendiri, memang parah sekali. Dripping dock sudah rusak, pintu air sudah bocor semua, dan pompa airnya sudah tidak bisa memompa. Memompa air dari dripping dock perlu waktu satu minggu, padahal seharusnya cuma empat jam, sehingga kapal yang mau diperbaiki tidak selesai-selesai. Dermaga sudah hancur, slipway rusak tidak bisa dipakai. Tanpa perbaikan, ini semua tidak bisa jalan. Biaya yang dibutuhkan Rp90 miliar, ya itu tadi, menunggu-nunggu uang dari PPA.
Saya lihat, di sana pasarnya besar. Di Indonesia ada 6 ribu kapal, dan ada peraturan setiap beberapa bulan sekali harus diperbaiki.
Jadi, pasarnya ada. Yang sulit itu buat perusahaan kan kalau pasarnya tidak ada. Kalau pasarnya ada, apa saja bisa jalan. Tapi, karena mental manajemen sudah terlanjur berharap-harap, mereka sudah tidak kreatif lagi. Saya lalu malah datang ke PPA dan minta agar mereka sama sekali tidak kasih uang ke BUMN itu, karena itu akan membuat BUMN menjadi manja saja.
Bagaimana solusi Anda? 
Saya bilang pintu air bisa diperbaiki, misalnya bekerja sama dengan PT Hutama Karya, yang biasa membuat bendungan. Nanti pembayarannya bulanan, kan sesama BUMN. Tidak akan merugikan, pembayaran mahal sedikit tidak apa-apa. Lalu, pompanya bisa minta ke supplier pompa, pembayarannya juga bulanan. Perbaikan dermaga bisa minta dikerjakan Adhi Karya atau siapa, agak mahal sedikit tidak apa-apa, pembayarannya sama, bulanan.
BUMN yang seperti ini banyak banget, seperti Iglas, Kertas Leces, dan perusahaan perikanan. Mereka harus disiplin, sampai kelak situasi berubah. Mereka selalu beranggapan, tanpa uang tidak bisa jalan. Kan rusak mental manajemen seperti itu. Nanti kami perbaiki dari sini.

Untuk merestrukturisasi PT Leces apa solusi Anda? Bukannya ini BUMN yang pernah besar dan cukup mendominasi pasar kertas?
Pasar kertas tidak akan sebesar dulu. Di sana sedang membangun boilerbekerja sama dengan PT Waskita Karya. Ini tidak pakai uang, karena uangnya dari Waskita Karya. Boiler ini menghasilkan steam 240 ton. Dulu rencananya steam ini untuk menjalankan seluruh mesin. Ada lima mesin di sana. Karena steam paling banyak dipakai buat memanasi mesin, maka steam untuk membangkitkan listrik tidak cukup--hanya bisa membangkitkan paling banyak 25 MW. Listrik 25 MW ini tidak cukup menghidupkan mesin-mesin itu.
Jadi, dari mesin steam 240 ton itu separuh untuk memanasi pabrik kertas, separuh untuk membangkitkan listrik yang digunakan untuk menjalankan mesin. Tapi, belum tentu kertas yang dihasilkan terjual semua dan belum tentu ada margin. Sumber kesulitan Leces adalah pasar.
Saya malam Idul Adha kemarin tidur di pabrik kertas. Karena saya harus Lebaran dengan keluarga, keluarga saya ajak ke sana. Jadi, kerjanya dapat, Lebaran dengan keluarga juga dapat. Setelah saya lihat marketing-nya, saya sarankan tidak boleh lagi memproduksi semua jenis kertas. Saya minta mereka memilih dua saja yang yakin pasarnya bagus. Akhirnya, satu mereka pilih kertas tisu untuk ekspor ke Amerika, dan kedua memproduksi kertas security printing yang persaingannya masih relatif kecil. Tak boleh memproduksi selain itu. Harus fokus.
Karena hanya memproduksi dua tipe kertas, maka steam yang digunakan juga tidak banyak. Cuma 10 ton. Listrik yang digunakan juga tidak banyak, mungkin cuma 10 MW. Sehingga mereka masih punya kelebihan steam-- karena dari kapasitas semula 240 ton, yang terpakai 10 ton.
Nah, steam sisa ini bisa memutar turbin hingga 60 MW. Mereka punya turbin. Daripada steam-nya menganggur, maka lebih  lebih baik untuk memutar turbin. Katakanlah paling kecil 50 MW. Yang dipakai oleh pabriknya sendiri sekitar 10 MW. Masih ada 40 mega, saya minta mereka jual ke PLN. Jadi, Leces tak hanya jualan kertas, tapi juga listrik. Kalau dia jual 40 MW ke PLN, paling tidak bisa menghasilkan uang Rp100 miliar.
Kemudian, bahan bakunya kelebihan juga. Jual barang baku itu. Saya tanya: laku tidak? Laku, bisa dapat Rp100 miliar. Jual saja, daripada bahan baku diproduksi gak laku atau malah marginnya tidak ada, mending jual saja bahan baku itu.
Jadi, nanti dari listrik dapat Rp100 miliar, bahan baku Rp100 miliar, jualan tisu Rp100 miliar, dan jualan kertas sekuriti Rp50-60 miliar. Sudah, itu solusinya. Harus disiplin.

Apa sikap Anda soal kepemilikan asing di BUMN telekomunikasi?
Itu sudah terjadi. Ada baiknya, ada tidak baiknya. Baiknya kita jadi sangat familiar dan welcome terhadap dunia internasional. Kurang baiknya, kita menyesal saja. Ternyata, perusahaan ini bagus banget, tapi kok ya dijual. Tetapi, kita kan nggak boleh menyesal terus, tidak habis-habisnya sampai masuk rumah sakit jiwa... hahaha.
Ada kemungkinan buyback saham?
Terserah manajemennya. Saya serahkan kepada kebijakan korporasi perusahaan tersebut. Nanti, banyak hal akan kami serahkan kepada manajemen BUMN yang bersangkutan untuk melakukan aksi korporasi, termasuk soal Serikat Pekerja.
Kemarin, saat demo di Telkom, saya instruksikan kepada seluruh jajaran Kementerian BUMN untuk tidak ikut turun tangan. Serahkan sepenuhnya kepada manajemen Telkom. Kami tidak boleh memanggil manajemen, jangan menegur, jangan bertanya. Karena kalau itu dilakukan, nanti Serikat Pekerja akan merasa persoalan telah diambil alih. Padahal, belum tentu kami mampu mengambil alih dan belum tentu mengetahui persoalan mikronya. Yang tahu persoalan mikronya adalah manajemen setempat.
Sewaktu di PLN Anda rutin menulis catatan untuk karyawan, akan diteruskan sekarang di Kementerian BUMN?
Waktu di PLN saya menulis dua-tiga kali sebulan, sehingga ide-ide saya bisa diikuti oleh seluruh karyawan—ada 100 ribu, termasuk yang outsourcing. Misalnya, ketika saya pergi ke Halmahera, dengan membaca tulisan saya, mereka tahu apa yang saya pikirkan, yang saya kerjakan, semuanya mengikuti karena ditaruh di website PLN. Kemudian, beberapa koran mengambil itu, dikutip, silakan. Saya anggap itu komunikasi yang efektif dengan karyawan yang begitu besar. Berkomunikasi dengan 500 karyawan mungkin gampang, tapi kalau 100 ribu dan tersebar di seluruh Indonesia itu susah. Saya menulis karena itu.
Sekarang, setelah saya jadi Menteri BUMN, saya lagi mikir-mikir apakah akan menulis atau tidak. Saya akan putuskan dalam 1-2 minggu ini. Saya ingin sebagai menteri, seluruh karyawan BUMN tahu. Karyawan BUMN itu banyak sekali. PLN saja 100 ribu karyawan, Telkom 20 ribu, Kereta Api 18 ribu, belum lagi perkebunan. Saya perlu media komunikasi.
Sebetulnya, kenapa Anda selalu mengenakan sepatu kets?
Banyak yang bilang, "Pak Dahlan itu sederhana, ya." Lho, padahal sepatu kets ini mahal, lho... hahaha. Ya, ini pertama karena dulu kelamaan di media. Orang media itu kan cuek. Itu sudah kebiasaan saja. Yang saya khawatirkan adalah kalau tiba-tiba saya pakai jas, sepatu mengkilat... hehehe. Kan Pak SBY berpesan supaya menteri baru berlari kencang. Jadi, saya pakai sepatu kets dalam rangka supaya bisa berlari kencang itu ... hehehe. (kd)

Jumat, 11 November 2011

Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945

Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945

Jumat, 7 Oktober 2011 | Editorial Berdikari Online

Krisis ekonomi kembali berkecamuk di Amerika dan Eropa. Kali ini,
seperti dikatakan banyak ekonom, akan jauh lebih keras dan lebih hebat
dibanding krisis 2008 lalu. Pada September lalu, Dana Moneter
Internasional (IMF) sudah memperingatkan kemungkinan krisis finansial
global memasuki "fase lebih kritis".

IMF sendiri membagi krisis ini dalam empat fase: (1) Dimulai dari krisis
suprime mortage pada tahun 2007 dan mengancam sistem perbankan, (2)
Krisis perbankan, dimana bank-bank melalui krisis sistemik dan menyebar
ke eropa, (3) krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa,
dan (4) krisis memasuki fase politis, dimana pemimpin-pemimpin politik
Eropa dan Amerika kesulitan mencapai konsensus untuk solusi finansial.

Tetapi, jika menganalisa lebih dalam lagi, krisis sekarang ini tidak
semata-mata krisis finansial atau persoalan keuangan. Krisis ini sangat
mendalam dan sistemik, yang akarnya berasal dari sistim kapitalisme
global itu sendiri. Juga krisis ini tidaklah dimulai pada krisis
subprime mortage tahun 2007 lalu, tetapi sudah terjadi sejak tahun
1970an.

Sejak tahun 1970 kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi
internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari
proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan
distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi
(over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas). Harry Magdoff
dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis
krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli
capital dan stagnasi.

Untuk mengatasi dua krisis ini, kapitalisme mengambil dua jalan keluar:
finansialisasi dan neoliberalisme. Dengan finansialisasi, seorang
kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan
mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar
keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa
menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, tetapi tidak pernah
menciptakan nilai baru—hanya industri, pertanian, perdagangan dan
jasa yang menciptakan nilai baru.

Hal itu mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil.
Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak
mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke
gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.

Sementara, dengan jalur neoliberalisme, kapitalis global mempromosikan
integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis,
atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan
barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap
mobilitas modal dan investasi asing. Dengan skema ini, mereka berharap
bisa membuang kelebihan produksi negara maju di pasar-pasar yang baru
dibuka di dunia ketiga, mengurangi biaya produksi dengan relokasi pabrik
ke dunia ketiga dan praktek politik upah murah.

Tetapi, terbukti bahwa kedua jalan tersebut mengalami kegagalan, bahkan
telah membawa sistim kapitalisme global ke dalam krisis yang lebih
mendalam: bank kolaps, pemerintah menggunakan dana publik untuk
membailout bank-bank, rakyat kehilangan pekerjaan, dunia jatuh ke dalam
krisis mendalam, harga pangan dan sembako meroket, lalu letupan sosial
di berbagai tempat.

Menjawab krisis ini, para pemangku kebijakan di eropa membentangkan dua
solusi temporer; penghematan atau stimulus. Jika mengikuti skenario
penghematan, seperti dianjurkan oleh lembaga keuangan global dan coba
dijalankan pemerintah AS dan eropa sekarang, maka terjadi pembongkaran
total terhadap berbagai bentuk kesejahteraan dan sistem jaminan sosial.
Kemiskinan dan pengangguran akan bertambah luas.

Cara kedua, yakni stimulus, seperti yang dianjurkan oleh Paul Krugman,
ekonom penerima nobel itu, maka negeri-negeri kapitalis maju dipaksa
untuk mengeluarkan dana stimulus yang lebih besar guna menggerakkan
ekonomi real dan demikian terjadi "permintaan agregat".

Dua solusi itu hanya soal waktu saja. Vijay Prashad, seorang professor
di Trinity College, Hartford, Connecticut, USA, menganggap bahwa
solusi penghematan akan membebankan krisis sepenuhnya di tangan rakyat,
sedangkan stimulus hanya akan menjadi ilusi sementara ala Keynesian.

Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sudah tidak lagi memberi kita
gambaran masa depan. Sebagai sebuah bangsa yang punya cita-cita besar,
yaitu masyarakat adil dan makmur, kita tidak mungkin menyandarkan
pencapaian cita-cita itu kepada sebuah sistem yang sudah terbukti gagal.
Oleh karena itu, sudah waktunya bangsa Indonesia berani meninggalkan
neoliberalisme.

Lalu, apa solusinya: para pendiri bangsa sebetulnya sudah menitipkan
sebuah cara mengorganisir ekonomi yang baik dan bisa memakmurkan rakyat,
yaitu pengorganisasian ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945.

Dengan menerapkan pasal 33 UUD 1945, misalnya, maka perekonomian akan
disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Ini jelas
bertentangan dengan neoliberalisme, juga kapitalisme, yang mengharuskan
kompetisi bebas dan kemakmuran untuk segelintir orang.

Dengan pasal 33 UUD 1945 juga, cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak bisa dikuasai negara dan dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Ini jelas merupakan antitesa terhadap model
ekonomi neoliberal sekarang, dimana cabang-cabang produksi yang penting,
termasuk layanan publik yang sifatnya dasar, diserahkan kepada swasta
dan menjadi objek menggali keuntungan.

Lalu, jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan, kita bisa berdaulat terhadap
kekayaan alam kita dan mempergunakannya demi kemakmuran rakyat. Selama
ini kekayaan alam hanya dikeruk oleh pihak swasta (nasional dan asing)
untuk kemakmuran mereka, sedangkan rakyat Indonesia menerima kerugian
besar berupa perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan
lingkungan.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan Dan Spekulasi Pasar
Senin, 17 Oktober 2011 | Editorial Berdikari Online

Pada bulan Juni lalu, Menteri pertanian negara G-20 berkumpul di Paris,
Perancis. Mereka membahas masalah yang cukup rumit: keamanan pangan dan
harga yang terus meroket. Salah satu persoalan yang jadi pokok
pembahasan adalah soal pengaruh aksi-aksi spekulatif di pasar komoditas
terhadap harga pangan dunia.

Perdebatan ini sudah berkecamuk sejak tahun 2008, saat kenaikan harga
pangan dunia memicu kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah negara. Saat
itu, mereka memperdebatkan membanjirnya uang di pasar komoditas global
sejak tahun 2003.

Pada tahun 2008, berdasarkan catatan PBB, lonjakan harga pangan
menyebabkan ratusan juta orang terjerumus dalam kemiskinan. Sementara
kenaikan harga pangan tahun ini (2011) menyebabkan 44 juta terseret arus
kemiskinan. Lalu, menurut sumber yang sama, kenaikan harga pangan pada
tahun 2009 menyebabkan satu milyar orang, atau seper-enam, penduduk
dunia, terus diintai oleh kelaparan.

Para pejabat PBB sendiri langsung menuding aksi spekulasi di pasar
sebagai penyebab melonjaknya harga pangan berkali-kali lipat. Jean
Ziegler, salah seorang pejabat PBB saat itu, menunjuk hidung sejumlah
perusahaan ekuitas telah mengambil banyak keuntungan dari
"kelabilan" harga pangan dunia.

Selain itu, seperti dilaporkan majalah Independent Inggris, korporasi
agrobisnis global juga turut meraup keuntungan sangat besar dalam
situasi itu. Sebut saja: Monsanto, salah satu pemain terkuat di
agrobinis, dilaporkan menerima kenaikan keuntungan tiga kali lipat sejak
tahun 2007. Sementara keuntungan Cargill, korporasi raksasa milik
Amerika Serikat lainnya, tiba-tiba melonjak 86% pada periode yang sama.

Harga pangan dunia sekarang banyak ditentukan oleh segelintir orang di
Chicago, Amerika Serikat. Di sebuah gedung bernama Chicago Board of
Trade (CBOT), bursa berjangka tertua didunia yang berdiri sejak 1848,
harga komoditi pertanian di seluruh dunia banyak ditentukan.

Padahal, orang-orang disana bukanlah petani, bukan pula pejabat yang
terlibat dalam merumuskan kebijakan pertanian, melainkan para pengusaha
dan spekulator yang menentukan harga berdasarkan prediksi musim,
bencana, gagal panen, dan lain sebagainya.

Apa bahanya bagi Indonesia?

Situasi ini jelas sangat berbahaya bagi Indonesia. Sejak tahun 1999
hingga sekarang, pasar pangan di Indonesia sudah terkoneksi dengan pasar
pangan global. Saat ini, gara-gara pemerintah sangat tunduk pada resep
neoliberal, hampir semua kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan
melalui impor.

Kita sekarang benar-benar sudah menjadi negara importir pangan: antara
tahun 1998-2001 kita menjadi negara importir beras terbesar di dunia;
dan kini setiap tahun kita impor gula 40 persen dari kebutuhan nasional;
impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; impor satu juta
ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70
persen kebutuhan susu.

Situasi itu juga telah membawa konsekuensi lebih buruk: sektor pertanian
di dalam negeri sudah hancur lebur. Pemerintah juga terlihat
"sengaja" mengabaikan sektor pertanian, demi menyambut proposal
korporasi-korporasi pangan global. Total impor pangan kita sudah
mencapai Rp 45 triliun.

Kita benar-benar berhadapan dengan situasi sulit di masa depan: kita
semakin bergantung kepada impor pangan untuk memberi makan 230 juta
rakyat kita, sementara harga pangan global ditentukan
"seenaknya" oleh segelintir tangan dan melalui spekulasi. Ini
sama saja dengan menyerahkan leher kita untuk dibunuh.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Semangat 10 November 1945

Melanjutkan Semangat `10 November 1945'
Kamis, 10 November 2011 | Editorial Berdikari Online

10 November 1945. Ahli-ahli sejarah mengingat peristiwa itu sebagai
peristiwa heroik dan revolusioner. Pada hari itu, rakyat Indonesia
memberikan perlawanan hebat kepada agressor/kolonialis yang baru saja
tampil sebagai "pemenang" dalam perang dunia ke-II.

Tetapi sejarah 10 November 1945 bukan sekedar cerita heroik, bukan pula
sekedar cerita tentang pengorbanan, tetapi juga tentang semangat mau
merdeka sepenuh-penuhnya dari segala bentuk penjajahan. Berpuluh-puluh
ribu orang rela menjadi tulang-belulang demi menghirup lebih banyak
kemerdekaan. Tidak sedikit diantara mereka adalah rakyat jelata: tukang
becak, bakul bakso, bakul tahu, penjual rombengan, dan lain-lain.

Kini, 66 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dan peristiwa 10 November
1945, kita menghadapi situasi yang relatif sama: sebagian besar rakyat
kita masih terbelenggu dalam kemiskinan, sebagian besar ekonomi nasional
kita masih dikangkangi oleh asing, sebagian besar kehidupan ekonomi dan
politik kita masih ditentukan oleh pihak asing dan bukan oleh bangsa
kita sendiri.

Cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur,
makin menjauh dari pangkuan mayoritas rakyat Indonesia. Kata
"merdeka" hanya menjadi slogan dan ungkapan kosong tanpa makna
di tengah lautan rakyat yang tetap saja miskin dan terhisap. Peringatan
hari pahlawan pun semakin berjarak dengan cita-cita mulia para pahlawan.

Bung Karno selalu mengatakan bahwa kemerdekaan hanyalah "jembatan
emas" menuju masyarakat adil dan makmur. Karena itu, dengan
mengikuti kata Bung Karno, tugas kita adalah membawa seluruh rakyat
Indonesia meniti di atas jembatan emas itu menuju masyarakat adil dan
makmur.

Tetapi analogi jembatan emas itu sendiri hanya merupakan penjelasan
tentang sebuah proses, yaitu revolusi. Di dalam Indonesia merdeka, tugas
kita adalah menjalankan atau melanjutkan revolusi itu, yaitu menjebol
segala yang menghambat kemajuan dan membangun landasan untuk masyarakat
masa depan.

Boleh dikatakan bahwa jembatan emas kemerdekaan itu sudah runtuh
sekarang. Proses membangun masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik
benar-benar terhenti di tengah-jalan. Penyebabnya adalah penghianatan
para pemimpin atau penyelenggara negara yang sengaja menelikung dari
cita-cita kemerdekaan.

Para pendiri bangsa, misalnya, menggariskan bahwa Pancasila dan UUD 1945
adalah pegangan hidup bangsa Indonesia dalam perjuangan mencapai
cita-cita nasionalnya. Tetapi, dalam praktek kemudian, para pemimpin
nasional sekarang justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.

Para penyelenggara negara, dari sejak orde baru hingga sekarang ini,
justru berpegang kepada faham dan sistem yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Orde baru kemudian mengundang kembali
kolonialisme di Indonesia. Sementara pemerintahan pasca reformasi telah
mengubah tatanan ekonomi dan politik Indonesia menjadi liberal.

Sejak kebangkitan kaum pergerakan hingga penyusunan konsepsi negara
Indonesia merdeka ini, Indonesia masa depan sudah dirumuskan adalah
masyarakat yang bisa saling bekerjasama untuk mencapai kemakmuran
bersama. Karenanya, hampir semua pendiri bangsa menentang
neo-kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Sebab, semua sistem
(stelsel) itu bertentangan dengan cita-cita Indonesia masa depan.

Oleh karena itu, untuk kembali kepada cita-cita proklamasi kemerdekaan
dan semangat 10 November 1945, maka sudah saatnya kita membangkitkan
semangat rakyat untuk melawan neo-kolonialisme dan kapitalisme.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Selasa, 08 November 2011

GAJI MULTINASIONAL


Artikel dari Seorang Wanita Indonesia
 
*Januari 31, 2008*


To all my friends,

Sebetulnya yang bikin susah orang Indonesia itu ya orang Indonesia sendiri.
Juga berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, sekarang ini mudah
sekali menemukan orang HR dan top management yang orang Indonesia yang
menurut pendapat saya tidak qualified untuk posisi mereka. Problemnya,
di Indonesia saat ini masih berlaku seniority bukan quality. Dan yang paling
susah kalau top management dan orang HR tidak mempunyai background
management dan leadership qualities.Bagaimana mau memajukan dan
menguntungkan karyawan, mereka sendiri lebih concern dengan kelanggengan
posisi mereka sendiri. Mereka memikirkan nasib mereka duluan. Kalau mereka
aman, baru mereka memikirkan karyawan. Lagian kita juga sebagai orang
Indonesia jangan dibiasakan dengan pemikiran bahwa expat bule di Indonesia
itu lebih bagus dari kita. Berdasarkan pengalaman saya kerja di luar
Indonesia, saya menemukan kenyataan bahwa sebetulnya expat bule di Indonesia
sekarang ini banyak yang kualitasnya sama dengan pekerja biasa di sini.
Jadi, kalau memang ada bule di kantor rekan-rekan, anggap aja mereka itu
kolega bukan boss atau superior. Jangan menganggap mereka itu lebih tahu
dari kita. Dan yang paling penting rekan-rekan harus bisa memanfaatkan
peluang agar mereka share ilmu dan pengalamannya dengan kita.


Bicara soal gaji, memang ironis
Bayangkan aja di Indonesia mungkin rata-rata gaji fresh graduate sekarang
sekitar 2 juta/bulan (sorry if I’m wrong). Dengan 21 Hari kerja dan 8 jam
kerja per hari, gaji mereka berarti sekitar 11,900/jam. Kalau dikurs ke
US$cdengan rate (10,500) berarti > 1.13 dolar/jam. Woi…di sini secangkir kopi
Starbuck biasa aja udah 1.48 dolar. Buat beli kopi aja nggak akan cukup.

Jadi memang benar slave wages. Malah mendekati freelance.

Business ethic di Indonesia? Saat ini, dream on! Sulit sekali menemukan
perusahaan asing di Indonesia yang memang menerapkan company’s principals
and goals. Kenapa? Karena kembali lagi ke top managementnya yang orang
Indonesia. Jadi, sadarlah rekan-rekan, sebetulnya yang bikin susah kita itu
orang Indonesia Sendiri. dan ini dilanggengkan dengan kultur Indonesia yang
memang suka segan untuk complaint, terima apa adanya yang penting aman.

Simak ini:

Apakah kebodohan2 perusahaan multinasional yang Ada di Indonesia, yg antara
lain dilanggengkan oleh mental para staff HR-nya?

1. Bangga bahwa gaji karyawan jauh diatas UMR. Hal ini bodoh sekali, karena
dia telah memposisikan diri setara dengan perusahaan lokal yg paling miskin,
yang menjadi pangkal perhitungan UMR. Jadi kita ketawain saja kalau ada
perusahaan multinasional (bank, konsultansi, tambang batubara, minyak, emas,
dll.) yg bangga karena upahnya telah memenuhi UMR. Dan sebagai orang HR anda
harus malu…. Dan menangis. (Perbandingan yg benar: Wah mekanik kami digaji
dibawah mekanik Australia. Kami hanya menggaji Rp 3jt, padahal di Australia
mereka mendapat 4 ribu dollar. Padahal produktifitas mereka sama. Kami akan
berjuang untuk perbaikan gaji… Dlsb.)

2. Upah karyawan lokal bisa dibilang “slave wages”. Itulah yang langsung
saya dengar dari manajer HR bule. “We pay slave wages in Indonesia”.
Berapakah gaji seorang Admin Assistant? Rp. 700 ribu? Seorang operator
mining Rp. 1,5 juta? Rp 2 juta? Itu kan sama dengan US 62 dolar hingga 200
dolar. Sama dengan upah seorang pencuci piring selama 5 jam di AS. Kalau
orang HR di perusahaan multinasional sudah bermental kere, maka IA akan
bangga memberikan “slave wages”. Kalau manajernya juga bermental begitu…
Wah.. Ya sudah…

3. Bangga bisa memeras karyawan Indonesia, cuek dengan gaji konsultan asing.
Sebagai orang HR, Anda pasti dipuja-dipuji, bisa mereduce cost hingga
seminim mungkin. Anda bangga dengan prestasi ini. Hasilnya: Gaji 200 staff
Indonesia bisa jadi sama dengan gaji 10 konsultan bule…. Ini benar Ada yg
begitu lho (Dan Anda masih bisa tidur nyenyak???)

4. Punya business ethics tapi diterapkan secara pilih2 di Indonesia. Wah,
bulan2 ini saya dengar banyak perusahaan yang bangga mensosialisasikan code
of conduct/business conduct/business ethics yg dibuat perusahaan induk.
Mulai dari perusahaan konsultasi hingga groceries dan Internet related
companies. Tapi, saya yakin penerapannya pilih2.

Contoh : dalam salah satu code of conduct dari perusahaan konsultan
multinasional yang saya dapatkan di websitenya, mengatakan: “employees with
similar responsibilities should be rewarded with fair and similar benefits
without discriminations on sex, races, nationalities and religions”.

Well, bagus sekali. Dan itu saya kira pas sekali dengan prinsip keadilan
universal. Lalu saya tanyakan ke teman saya yg kerja di anak perusahaan
setempat, apakah hal itu masuk di versi Indonesianya? Weh, ternyata tidak.

Usut punya usut, itu bisa jadi ‘pasal’ rawan, karena ketika saya tanyakan
berapa range gaji seorang manajer Indonesia? “Well, seorang manajer
perusahaan kami kurang lebih mendapat gaji Rp.13juta/bulan. Yang bule kurang
lebih US 10 ribu./bulan”. Wah, itu sih malah business “misconduct” bukan
conduct.


So, teman2 HR, itulah kebodohan2 perusahaan multinasional yang telah saya
amati selama bertahun2 bekerja di luar negeri lalu kerja di dalam negeri. Di
Malaysia dan AS saya digaji sama dengan orang bule maupun orang Afrika. Jadi
kesimpulan saya adalah : Orang2 HR Indonesianya sendirilah yang membuat
pekerja Indonesia ini menderita…So, marilah Kita bersama2 tertawakan para HR
staff perusahaan Multinasional di Indonesia.

Lain kali kalau ketemu orang HR multi-nasional, Kita tanyakan saja apakah ia
bener2 bangga kerja di perusahaan dengan karakter di atas. Bila iya? hehe
memang dasar ….

Maafkan saya bila mengungkapkan hal2 yang pahit tapi benar.

LISTRIK MATI DI LUMBUNG ENERGI


Oleh: Dahlan Iskan

Cap "listrik mati di lumbung energi" sudah lama melekat di lima provinsi
ini:?  Riau, Sumsel, Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Lebih 15 tahun krisis listrik
melanda mereka. Padahal, batu bara dari lima provinsi itulah yang membuat
kota-kota besar dunia, seperti Singapura dan Hongkong, terang benderang.

Yang seperti itu tentu tidak boleh berlanjut lebih lama lagi. Akhir tahun ini
Sumsel sudah bisa men-delete cap negatif itu. Bulan lalu unit 1 PLTU batu bara
di dekat Prabumulih sudah menghasilkan listrik 115 mw. Bulan depan unit 2-nya
menyusul beroperasi.?

Belum lagi yang bertenaga gas. Dalam tiga bulan ke depan Sumsel akan dapat
tambahan 200 mw dari gas setempat. Dalam tahun ini secara total Sumsel dapat
tambahan hampir 500 mw. Maka, mulai Januari nanti, cap "listrik mati di
lumbung energi" mesti sudah berubah menjadi "si lumbung energi mulai berbagi
rezeki". Maksudnya, Sumsel akan membagi kelebihan listriknya ke Riau dan
Bengkulu melalui transmisi Pagar Alam-Kiliranjau-Payakumbuh-Pekanbaru.

Bersamaan dengan itu, pembangunan gardu induk baru di Baturaja juga sudah
selesai. Keluhan masyarakat di wilayah Komering hilir dan hulu akan teratasi.
Maka, untuk Sumsel, praktis tinggal wilayah sekitar Sungai Lilin yang masih
menderita. Memang sudah ada rencana pembangunan gardu induk yang sangat besar di
situ, tapi memerlukan waktu dua tahun. Sambil menunggu proyek itu selesai, tiga
kecamatan di sekitar Sungai Lilin akan diperkuat dulu dengan pembangkit diesel.

Gubernur Sumsel Alex Noerdin memang sangat agresif dalam membantu PLN mencari
jalan keluar untuk mengakhiri krisis listrik di wilayahnya. Beda dengan gubernur
Sumut, yang untuk mengeluarkan izin PLTA Asahan-3 saja sulitnya bukan main.
Sampai sekarang pun, izin untuk membangun pembangkit besar yang ramah lingkungan
itu belum keluar. Padahal, sudah lebih satu tahun izin itu diminta. Padahal,
Sumut sangat memerlukan listrik.

Bagaimana dengan Riau? Itulah lumbung energi yang sangat fakir energi. Provinsi
tersebut termasuk yang rasio elektrifikasinya kurang dari 50 persen. Untung,
Riau punya gubernur seperti Rusli Zainal, yang terus mengobrak-ngobrak PLN
sambil memberikan pemikiran jalan keluar.

Listrik untuk Pekanbaru kini memang sudah cukup. Tapi, mencukupinya dengan cara
yang sangat mahal. Sedangkan kabupaten-kabupaten kaya, seperti Palalawan,
Indragiri Hulu (Rengat), Indragiri Hilir (Tembilahan), Kepulauan Meranti
(Selatpanjang), Siak (Siak Indrapura), dan Rokan Hilir (Bagan Siapi-api), baru
sekarang ini mendapat gambaran yang lebih jelas.

Setelah keliling Bagan Siapi-api, Rabu lalu saya kembali ke Riau. Keliling ke
kabupaten-kabupaten itu. Kali ini harus melakukan perjalanan 18 jam. Tujuh jam
di antaranya melalui sungai dan selat. Dari perjalanan tersebut saya baru tahu
bahwa ada perkebunan kelapa hibrida yang sangat besar di pantai timur Riau. Di
situ pula terlihat dua pabrik kelapa yang sangat besar. Itulah pabrik yang
menghasilkan santan Kara, yang pasarnya meluas ke seluruh dunia.

Di kawasan itu pula banyak tumbuh "kota baru" dengan bangunan-bangunan
bertingkat lima yang padat. Penduduknya bukan manusia, melainkan burung-burung
walet. Kabupaten-kabupaten yang saya lihat itu, APBD-nya melebihi Rp 1 triliun,
tapi listriknya sangat duafa. Di mana-mana bupatinya membangun kota baru,
gedung-gedung baru, jembatan baru, dan masjid-masjid baru. Juga membangun
jalan-jalan kembar baru. Lengkap dengan tiang-tiang listrik yang berjajar indah,
tapi tidak pernah menyala lampunya.

Bahkan, seperti di kota baru Kerinci, banyak tiang listrik yang lampunya sudah
hilang. Kabelnya juga sudah dicuri orang. Jaringan listrik yang tidak bersetrum
memang menjadi sasaran empuk pencuri.Untuk mengatasi kelistrikan di Kerinci dan
Rengat, kami berhasil mendapatkan "lima sendok" gas dari jaringan pipa besar
yang mengalirkan gas dari Riau ke Singapura. Meski hanya lima sendok (5 bbtud),
tetaplah harus disyukuri. Kami bisa membangun PLTG 25 mw di Sorek, kota kecil
antara Kerinci dan Rengat.

Tiga bulan lagi pembangunan tersebut selesai. Bupati baru Rengat, Yopi Arianto
yang baru berumur 24 tahun, senang bukan main. Dia menjemput saya di lokasi
proyek itu dengan berbinar-binar. Janji kampanyenya dalam pilkada lalu segera
terpenuhi. Dalam perjalanan ke Rengat "saya yang menjadi sopir" sang bupati
menceritakan betapa fakir dan miskinnya Rengat di bidang listrik.

Cara Rengat itu akan kami teruskan untuk mengatasi Selatpanjang dan Siak. Kepada
Bupati Selatpanjang Irwan Nasir yang menjemput saya di dermaga yang gelap, saya
kemukakan perlunya ngemis gas barang lima sendok dari sumber gas yang besar di
dekat pulau itu. Malam itu juga, sambil makan malam di pinggir selat, saya
langsung hubungi pejabat tinggi BP Migas. Ternyata, program tersebut didukung
penuh oleh BP Migas. Mendengar kabar itu, sang bupati, ketua DPRD,
pimpinan-pimpinan fraksi yang ikut makan malam, semuanya bergembira.

Harapan mereka untuk membangun Selatpanjang tidak bertepuk sebelah tangan. Kota
berpenduduk 150.000 jiwa tersebut memang sedang melakukan pembenahan
besar-besaran. Jalan-jalan diperbaiki dan dilebarkan. Pelabuhan baru juga
dibangun. Jembatan baru menuju Pulau Merbau yang akan dijadikan pusat
pemerintahan disiapkan. Jembatan panjang ke arah daratan Sumatera juga dirintis.
Tanah untuk bandara sudah diadakan. Instalasi penjernih air laut sudah dalam
penyelesaian. Semua itu memerlukan listrik.

Kota itu jauh lebih besar daripada yang saya bayangkan. Sudah ada hotel yang
sangat baik. Nama-nama jalan ditulis dengan huruf Latin dan Arab, menandakan
budaya Melayu-nya sangat kental. Kelentengnya lebih dari 20 buah, menandakan
masyarakat Tionghoa-nya sangat dominan.

Selatpanjang tidak memiliki sumber air minum untuk penduduknya. Air didatangkan
dengan kapal atau menunggu saja air hujan. Pembangunan instalasi penjernihan air
itu menjadi sangat vital. Dengan gas lima sendok tersebut, tahun depan kota yang
hanya 1,5 jam perjalanan speedboat dari Singapura itu akan terang benderang.

Pukul 05.00 saya sudah menuju dermaga lagi untuk meneruskan perjalanan ke
Kabupaten Siak. Itulah kabupaten yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Siak,
yang peninggalan istana dan sekitarnya masih terawat dengan baik. Kota Siak
sendiri sudah diperbarui dengan gegap gempita. Ekonominya sangat maju. Bulan
lalu sudah dibuka hubungan feri langsung dari Siak ke Melaka di Malaysia.

Tata kota Siak yang baru itu sangat rapi. Di tengah kota dibiarkan ada hutan
kota seluas 30 hektare. Jembatan besar yang megah dan indah dibangun untuk
menyatukan dua sisi kota yang terbelah oleh Sungai Siak yang lebar itu.
Jalan-jalan rayanya dibuat kembar. Lampu-lampu penerangan jalannya dibuat indah
dan masif. Tapi, lampu-lampu tersebut tidak pernah menyala. Tidak ada listrik
untuk menghidupkannya.

Kepada wakil bupati Siak yang menjemput saya di dermaga saya ceritakan bahwa PLN
juga sedang mengemis gas barang lima sendok untuk kabupaten itu. Siak yang kaya
gas tentu tidak pantas kalau gelap gulita.

Saya kembali menghubungi BP Migas. Sekali lagi, sebagaimana di Bintuni, Rengat,
dan Selatpanjang, di Siak pun BP Migas mendukung. Dengan lima sendok gas itu
Joko Abunaman, pimpinan PLN Riau, akan membangun pembangkit listrik 25 mw untuk
Kota Siak dan sekitarnya. Bupati Siak pun, Syamsuar, terlihat sangat senang.
"Sarapan dulu di sini" katanya melalui telepon saat saya masih dalam
perjalanan dari Selatpanjang. Kami pun singgah ke rumahnya untuk makan pagi.
Kalau gas lima sendok itu benar-benar tersedia, tahun depan Siak sudah terang
benderang. Diesel-diesel kecil di berbagai kecamatan bisa dimatikan.

Masih banyak yang akan dibangun di Riau. Kini sudah ditenderkan pengadaan
pembangkit listrik 100 mw di Duri. Akhir tahun depan proyek tersebut selesai. Di
luar itu masih ada proyek PLTU 2 x 110 mw, yang kini pemancangan tiang
fondasinya sedang dikerjakan. Untuk PLTU yang sama besar, sedang disiapkan
tanahnya di Dumai. Bahkan, untuk PLTU yang lebih besar lagi, 2 x 300 mw di
Peranap, sudah selesai tendernya.

Ayam memang tidak boleh mati di lumbung padi. Kecuali, kita memang tega
mencekiknya. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN


________________________________

Catatan lain dari CEO PLN, Dahlan Iskan
Subject: PLN CEO' Note - An Inspirations
Betapa relatifnya sebuah kekuasaan!!!

Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh karyawan PLN. Inilah cara
Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh
karyawannya. Surat itu diberi nama CEO' Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN
yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan
keinginan pimpinan puncak perusahaan.Setiap kali CEO'Note terbit, banyak
tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan.
Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang "baru"
enam bulan. Ada yang bilang "sudah" enam bulan.
Betapa relatifnya waktu!!
Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya
tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja
Dirut PLN.
Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit
lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai
bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja
itu merupakan tanda awal bahwa "hati"nya orang lain yang sekarang saya pakai ini
mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.
Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang
tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplan
yang masih harus saya minum setiap hari.
Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah siang, ketika rapat penting yang
telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri!!!
Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang sudah
berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, saya
tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik.
Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun
kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya bisa
dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak ke
mana-mana.
Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus
berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak
bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan
selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau
permintaan ceramah. Semua saya hindari.
Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar
se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga
bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang
bisa saya hadiri.
Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya kurang
gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan
malam. Itu tentu tidak baik.
Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya
terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status saya
tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus
tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, saya putuskan ini:
berangkat kerja berjalan kaki saja.
Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah
saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan
Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan supaya dianggap
sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga
sambil menghirup CO2.
Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas
jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun.
Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya
ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.
Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang
1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak
rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian
biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.
Betapa relatifnya jarak!!!!
Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul
07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa
relasi PLN lainnya.
Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu
jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk
mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya
tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya.
Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.
Betapa relatifnya uang!!!!
Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali
di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk
mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.
Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan
kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang
menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat.
Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.
Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN.
Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi
perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada
pada mereka adalah muara.
Begitu banyak Ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau
toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini,
di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya
almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh!!!
Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu
siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang
rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan
saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat
biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.
Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.
Betapa relatifnya tempat!!!
Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa
sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih
atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.
Betapa relatifnya jiwa!!!
Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di "kursi"
direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak
sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah
membaca surat masuk.
Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung
didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu
ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa
harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas
menjawabnya?
Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima
surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali
pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang
harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau,
beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi - sekadar untuk menunjukkan bahwa
saya atasan mereka?
Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang
sangat jarang saja. "Mengapa" saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya
saya yang "tahu" persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi
seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat?
Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu "pabrik petunjuk"?
Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada
tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca
surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa
yang terbaik yang harus dilakukan.
Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari
universitas- universitas terbaik negeri ini ? Bukankah karyawan PLN itu,
doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka
sudah sangat berpengalaman - melebihi saya?
Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi
arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi
besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang
yang terlalu sering diberi "pidato" kelak hanya bisa "minta petunjuk".
Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari
universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali
kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada
mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung
jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah
pengecualian.
Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena
itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di
kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan saya tidak enak.
Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.
Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena
dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu.
Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.
Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum
tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.
Betapa relatifnya sebuah kekuasaan..
Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?
Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh
Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi
kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan,
Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan
14!  Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering
redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah
itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20!.
Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada
yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang
baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena
bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah
direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau
menurunkan TDL?
Betapa relatifnya kepuasan!!!