Selasa, 05 Juni 2012

Bangsa Ini Butuh Arah!

Bangsa Ini Butuh Arah!
Senin, 4 Juni 2012 | Editorial Berdikari Online

Ada hal menarik dari hasil jajak pendapat harian Kompas, yang kemudian
disusun menjadi artikel berjudul "Memudarnya Jati Diri Bangsa".
Jajak pendapat itu menyebutkan, sebanyak 80,9% responden menganggap
cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat makin jauh dari harapan.

Lebih jauh lagi, jajak pendapat yang digelar Litbang Kompas sejak 30 Mei
-1 Juni 2012 itu juga menyimpulkan, sebagian besar responden (rata-rata
berkisar 80%) menganggap berbagai persoalan bangsa saat ini—perilaku
elit yang korupsi, menipisnya kepercayaan terhadap negara, ketimpangan
sosial, perilaku diskriminatif terhadap minoritas, dan minimnya sosok
panutan bangsa—adalah buah dari makin ditinggalkannya pancasila
sebagai jati diri bangsa.

Ada beberapa hal yang patut dicatat dari hasil jajak pendapat itu.

Pertama, mayoritas rakyat Indonesia melihat berbagai persoalan bangsa
tidak terlepas dari kegagalan penyelenggara negara. Ini tercermin pula
pada meningkatnya ketidakpuasan massa rakyat terhadap kepemimpinan elit
sekarang.

Pancasila tidak lagi menjadi "Weltanschauung" (pandangan hidup).
Para penyelenggara negara, yang seharusnya menjadi panutan, justru
menjadi pelopor berbagai tindakan tidak terpuji dan bertentangan dengan
pancasila.

Kedua, mayoritas rakyat Indonesia melihat persoalan pokok bangsa ini
terletak pada ketiadaan arah. Ketiadaan arah ini, seperti dirasai oleh
banyak orang, membawa bangsa ini pada titik kritis: krisis kebangsaan.

Sebetulnya hal itu tidak perlu terjadi. Kita punya pancasila dan UUD
1945 sebagai pedoman danleitstar (bintang penuntun arah) agar perjalanan
bangsa ini bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sayangnya, sejak
orde baru hingga sekarang, para penyelenggara negara sengaja mengabaikan
pancasila dan UUD 1945 itu.

Sebetulnya, jika kita melihat lagi secara mendalam, pancasila dan UUD
1945 itu sudah cukup mumpuni sebagai penuntun arah perjuangan bangsa.
Lima sila dalam pancasila–Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme,
– atau perikemanusiaan, Mufakat, – atau Demokrasi, Kesejahteraan
sosial, dan Ketuhan Yang Maha Esa—masih sangat relevan hingga
sekarang.

Mari kita coba runut-runut berbagai persoalan kebangsaan sekarang ini.
Lihatlah, misalnya, persoalan kekerasan terhadap pemeluk agama minoritas
akhir-akhir ini. Sebetulnya, jika kita konsisten pada pancasila, maka
masalah itu sudah dianggap selesai sejak tahun 1945. Saat itu, kita
sudah mencapai konsensus bersama: "negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agama dan kepercayaannya."

Dengan demikian, tindakan menghalang-halangi pemeluk agama tertentu
menjalankan ibadah sesuai agamanya adalah tindakan anti-pancasila.
Sayangnya, tindakan semacam itu justru dilakukan oleh sejumlah
penyelenggara negara. Bahkan, negara juga terkesan membiarkan tindakan
segelintir "perusuh" yang mengganggu kemerdekaan beragama di
Indonesia.

Begitu pula dengan perilaku korupsi. Ini adalah kejahatan terhadap
perikemanusiaan yang tak bisa diampuni. Korupsi juga merupakan hambatan
besar bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan
demikian, sebagai negara yang berideologikan pancasila, Indonesia
mestinya berada di garda depan "negara tanpa korupsi".

Kita lihat lagi penyelenggaraan politik kita sekarang ini. Banyak
kritikan yang bernada begini: mengapa demokrasi saat ini (demokrasi
liberal) tidak mendatangkan kesejahteraan untuk rakyat? Untuk diketahui,
sejak dahulu para pendiri bangsa kita sudah menjawab pertanyaan ini.
Kita bisa melihat contohnya pada kritik Bung Hatta: "Sekalipun
cita-cita demokrasi itu cukup ideal (kekuasaan rakyat)…tetapi yang
demikian tidak terdapat di dalam kapitalische democatie, dimana kaum
kapitalis yang terkecil golongannya mengusai penghidupan rakyat banyak.
Jadinya, demokrasi yang ada di barat sekarang tampak pincang, menyimpang
dari cita-cita demokrasi asli, yang disandarkan kepada
volkssouvereiniteit, kedaulatan rakyat."

Di sinilah letak masalahnya: demokrasi liberal hanya memberikan
demokrasi politik, tetapi tidak ada demokrasi ekonomi. Semua orang bisa
laksana raja di bidang politik, tetapi tidak demikian dengan di
lapangan ekonomi. Akibatnya, karena yang berkuasa di lapangan ekonomi
adalah borjuis, maka merekalah yang bisa mengontrol pemilihan dan
kekuasaan parlemen. Mereka pula yang mengontrol berbagai regulasi dan
kebijakan politik lainnya.

Pendiri bangsa kita sudah punya konsep demokrasi alternatif. Itu
dirumuskan pula di dalam Pancasila, yaitu sosio-demokrasi (penggabungan
demokrasi (mufakat) dan kesejahteraan sosial). Demokrasi kita itu
membuka demokrasi seluas-luasnya pada partisipasi rakyat dalam kehidupan
politik dan sekaligus ekonomi. Dengan demikian, redistribusi sumber daya
dan kekayaan nasional juga bisa berkeadilan sosial.

Pendek kata, kita sebetulnya sudah punya arah yang jelas: pancasila dan
UUD 1945. Hanya saja, seperti juga diakui oleh sebagian besar rakyat,
kedua `bintang penuntun arah' itu sengaja diabaikan dan
ditinggalkan. Pancasila dan UUD 1945 semakin berjarak dengan
implementasi praktisnya.

Pengabaian terhadap pancasila membuat bangsa kita seperti kehilangan
arah. Lebih parah lagi, hal itu membuka jalan bagi praktek
neokolonialisme. Akhirnya, bangsa kita pun kembali "terjajah".

Nah, dalam jajak pendapat Kompas itu juga disebutkan, sebanyak 98,3%
responden masih menginginkan pancasila sebagai dasar negara. Mereka
masih menganggap pancasila sangat relevan untuk mengatasi persoalan
bangsa ini. Asalkan, pancasila—juga UUD 1945—dijalankan secara
konsisten.