Jumat, 03 Februari 2012

Meluasnya Ketidakpuasan Rakyat


Jumat, 3 Februari 2012 | Editorial Berdikari Online

Apakah anda puas dengan kinerja pemerintahan sekarang ini? Jangan-jangan
anda termasuk dari kelompok sosial yang ditengarai mengalami
ketidakpercayaan atau ketidakpuasan rakyat (social distrust).

Soal meluasnya fenomena social distrust, yaitu ketidakpercayaan
masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif), merupakan salah satu kesimpulan pembicaraan antara Badan
Intelijen Negara (BIN) dan Komisi I DPR.

Dalam pertemuan itu, BIN dan DPR mencatat setidaknya ada lima hal
terkait potensi gangguan keamanan kedepan:

Pertama, gejala amuk massa yang makin meluas, baik berdasarkan geografi
eskalasinya maupun dari mobilisasi massanya.

Kedua, meningkatnya social distrust (ketidakpercayaan sosial) terhadap
lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Ketiga, meningkatnya gejolak politik mendekati pemilu 2014. Keempat,
fenomena masyarakat yang kian permisif terhadap aksi kekerasan.

Kelima, efektivitas pemerintah dalam menangani berbagai problem
masyarakat sangat lamban.

Fenomena social distrust bukan temuan baru. Ini sudah nampak oleh
berbagai aksi protes yang digelar massa rakyat di berbagai daerah. Hal
ini juga nampak pada angka-angka persentase yang ditemukan lembaga
survei.

Lembaga Survey Indonesia (LSI), yang berkali-kali menggelar survei
mengenai popularitas rejim berkuasa, menemukan fakta bahwa popularitas
presiden SBY sudah jatuh di bawah 50%. Bahkan, di wilayah perkotaan,
dengan tingkat kemampuan mengakses informasinya yang lebih cepat,
popularitas SBY hanya 38,9 persen.

Ketidakpuasan ini dipicu oleh beberapa hal: rakyat tidak melihat
perubahan, atau sedikitpun perbaikan, semasa pemerintahan SBY ini. Apa
yang dijanjikan oleh SBY semasa kampanye, juga yang diomongkannya setiap
hari di televisi, sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Presiden sibuk membangun popularitas melalui pencitraan, tetapi
kehilangan kontak dengan realitas: kenyataan-kenyataan hidup masyarakat.
Sementara Presiden berkhotbah di televisi tentang kemajuan ekonomi, di
luar sana rakyat diperhadapkan situasi ekonomi yang sungguh sulit:
kemiskinan, PHK massal, tidak ada lapangan pekerjaan, harga-harga
kebutuhan hidup terus meroket, dan lain-lain.

Rakyat juga menemukan banyak ketidakadilan: para koruptor yang mencuri
uang negara hingga trilyunan tidak tersentuh proses hukum, sedangkan
rakyat yang mencuri beberapa tandang pisang langsung diproses dan
dijatuhi hukuman berat.

Sementara itu, hampir semua sumber-sumber kemakmuran berpindah ke tangan
segelintir pemilik modal, khususnya modal asing. Di berbagai daerah,
proses itu ditandai dengan meningkatnya perampasan sumber daya dan tanah
untuk kepentingan perluasan kapital.

Akibatnya, muncul konflik agraria di berbagai daerah. Dalam kasus itu,
negara dan aparatusnya jelas memihak pemilik modal. Dengan mengabaikan
konstitusi, pemerintah mengirimkan aparatus kekerasan guna mengusir
rakyat dari lahan dan pemukimannya. Terjadilah kasus seperti di Mesuji
(Lampung), Bima (NTB), dan Rokan Hulu (Riau).

Akan tetapi, ketidakpuasan rakyat ini tidak hanya mengarah kepada
presiden SBY, tetapi juga kepada lembaga negara yang lain: DPR dan
penegak hukum. Di sejumlah daerah, ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan
pembakaran simbol-simbol lembaga negara yang dimaksud.

Hampir semua lembaga itu tidak ada yang berfungsi melayani rakyat.
Lembaga-lembaga itu, semisal DPR, sangat sibuk membicarakan agenda
perutnya masing-masing: membangun kemewahan dengan menghambur-hamburkan
uang rakyat.

Sementara sang Presiden sibuk menjadi aktor dalam "demokrasi
panggung", sebagian besar aparatusnya mengambil `pekerjaan
sambilan': pencoleng uang negara, mafia kasus-kasus besar, pengobral
sumber daya, becking pengusaha, dan lain-lain.

Kita berharap agar kesimpulan BIN dan DPR ini tidak berakhir sebagai
bahan press release. Kita juga berharap agar berbagai pembacaan mengenai
ekspresi ketidakpuasan itu tidak sekedar menjadi bahan diskusi dan
seminar; ujung-ujungnya keluar dalam bentuk `indeks ketidakpuasan
rakyat'.

Dengan kesimpulan ini, BIN dan DPR segere merekomendasikan pendekatan
persuasif terhadap berbagai persoalan rakyat. Sebab, kemunculan berbagai
protes rakyat itu diakibatkan oleh kesalahan pemerintah sendiri.

Kita berharap agar kesimpulan untuk memikirkan secara serius dan
mendalam kondisi bangsa kita saat ini. Rejim SBY tentu akan
diperhadapkan dengan pilihan-pilihan: mau mempertahankan gaya berpolitik
saat ini atau gaya berpolitik merakyat; mempertahankan sistim
ekonomi-politik sekarang atau kembali kepada jalan ekonomi-politik yang
sudah digariskan pendiri bangsa (founding father).