Kamis, 17 Februari 2011

The Man Behind The Gun

Kyai Haji Ahmad Dahlan ditanya oleh muridnya, apa itu agama.
Ia tidak langsung menjawab.
Ia hanya bermain biola. Para murid menyimak dan menghayatinya.
Mereka sangat menikmatinya, bahkan ada yang terkantuk-kantuk.
Bagaimana persaaan kalian? Tanya kiyai tentang alunan biolanya.
Menghibur, menyejukkan, menenangkan. Begitu jawab para muridnya.
Lalu Kiyai Haji Ahmad Dahlan menyerahkan biolanya ke salah satu murid, dan memintanya untuk memainkan biola yang sama.
Murid tersebut tidak tahu apa-apa tentang biola.
Sret... krek... bret...ngoott...begitu bunyi biolanya.
Bagaimana persaaan kalian, sekarang? Tanya kiyai lagi tentang alunan biola.
Baru sentuhan pertama, seluruh yang mendengar langsung sakit telinganya.
Sakit, menusuk telinga, meresahkan.
Itulah agama. Jelas KH Ahmad Dahlan tentang biola sebagai perumpamaan agama.
Agama sama seperti permainan biola ini.
Jika yang menjalankan agama tahu bagaimana menerapkan agama, maka agama akan menyejukkan, menentramkan dan membahagiakan.
Sebaliknya jika agama dijalankan oleh orang yang tidak tahu bagaimana menerapkan agama, maka ajaran agama jadi meresahkan, mengganggu dan merusak.
Itu adalah sepenggal scene dari film Sang Pencerah yang penuh hikmah dan mengundang decak tawa.
Kini pertanyaannya, bagaimana keagamaan kita berpengaruh pada masyarakat?
Apakah keimanan kita menentramkan atau justru meresahkan?
Apakah keimanan kita memberi sesuatu yang berbeda pada lingkungan atau tidak ada bedanya?

Sebenarnya apa yang disampaikan KH Ahmad Dahlan adalah konsep yang sekarang dikenal dengan "The man behind the gun"
Bukan masalah senjatanya, tapi siapa yang memakainya.
Dalam buku No Excuse (Excuse ke-8 "Saya tidak punya fasilitas") juga dibahas tentang hal ini.
Betapa banyak orang yang merasa pantas gagal karena tidak ditunjang fasilitas, padahal banyak orang lain dengan fasilitas lebih minim jauh lebih sukses.
Jadi bukan masalah fasilitasnya, tapi bagaimana kita memandang fasilitas tersebut dan fokus pada yang ada.Itu juga berlaku pada diri kita.
Diri kita adalah biola.
Apakah Anda menjadikan diri atau pribadi kita dengan kebaikan atau kehancuran.
Allah menjadikan diri kita biola, tapi kita yang memutuskan ingin memainkannya dengan baik atau merusaknya.
Itu pilihan Anda, tapi jelas ada pertanggungjwabannya kelak.

Tidak ada komentar: