Rabu, 15 Juni 2011

Menghapus Sistem Kerja Outsourcing


Kamis, 19 Mei 2011

Setelah banyak digugat, sistem kerja outsourcing (alih daya) akan
ditinjau kembali. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans),
Muhaimin Iskandar, menjanjikan perubahan peraturan perundang-undangan
yang terkait masalah ini.

Melalui Kepala Bagian Humas Depnakertrans, Suhartono, Menakertrans
menerangkan bahwa pihaknya sedang mendorong sebuah pertemuan Tripartit
(perwakilan serikat buruh, pengusaha, serta pemerintah) bersama para
pakar dan akademisi untuk menggodok perubahan dimaksud.

Belum dapat dipastikan, sejauh mana janji ini dapat direalisasikan,
mengingat adanya keraguan dalam pernyataan Menteri, dan telah begitu
luasnya sistem ini dijalankan. Banyak pengusaha yang diuntungkan oleh
penggunaan tenaga kerja outsourcing. Demikian pula banyak pihak,
termasuk dari kalangan pengurus serikat buruh sendiri, yang diuntungkan
karena bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja outsourcing ini.

Sistem outsourcing dapat diartikan sebagai penyerahan pekerjaan tertentu
kepada pihak (perusahaan) lain, atau, menggunakan buruh dari pihak
(perusahaan) lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Sebagai sebuah fenomena global, sistem ini berlandaskan pada konsep
kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility). Konsep ini
merupakan upaya kapitalisme untuk menekan biaya upah buruh (labour cost)
menjadi lebih murah, melalui kemudahan merekrut dan memecat pekerja.

Sebagai fenomena dalam di negeri, konsep ini telah menekan upah yang
sudah murah menjadi semakin/lebih murah. Penerapannya mulai masif sejak
penandatangan nota kesepakatan (Letter of Intent) antara pemerintah
Indonesia dengan International Monatery Fund (IMF) tahun 1997, sebagai
syarat penerimaan utang baru. Kemudian, pengesahan melalui UU Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan membuat praktik ini semakin
merajalela.

Sebuah penelitian di tahun 2010 terhadap pelaksanaan outsourcing di
sektor industri ototmotif, menyebut penggunaan buruh outsourcing
mencapai 40% dari total tenaga kerja. Mereka menerima upah rata-rata 26%
lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Selain itu, buruh outsourcing
lebih rawan terkena PHK, tidak memperoleh perlindungan sosial, dan
umumnya tidak dapat berserikat.

Dengan latar penelitian tadi perlu diberi catatan, bahwa kondisi buruh
di sektor otomotif relatif `lebih baik' dibanding pekerja di
sektor industri lain. Ini berarti, bila penelitian diluaskan pada
sektor-sektor industri lain, sangat berpotensi ditemukan hasil yang
lebih buruk.

Sejumlah kalangan menganggap persoalan ini muncul akibat lemahnya
pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Dikatakan bahwa "kesalahan penafsiran" terhadap
pasal yang mengatur masalah outsourcing perlu dicegah melalui pengawasan
yang ketat.

Namun kita sama-sama mengetahui bahwa terdapat permasalahan yang lebih
luas dan mendasar. Pertama, sistem outsourcing merupakan fenomena global
yang merupakan bagian tak terpisah dari pelaksanaan neoliberalisme.
Dalam situasi ini posisi tenaga kerja sebagai barang dagangan terjadi
semakin terang-terangan.

Kedua, karena dipandang efektif dalam melipatgandakan keuntungan,
pelaksanaan sistem ini telah dilegalkan melalui berbagai peraturan
perundang-undangan, baik yang di bidang ketenagakerjaan maupun bidang
lain. Meskipun, peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 yang menjamin hak tiap-tiap warga negara memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketiga, kerusakan ekonomi yang
melahirkan puluhan juta pengangguran telah menjadi pra syarat bagi terus
berlangsungnya keadaan ini.

Dalam situasi demikian, kita tidak dapat menaruh harapan yang terlalu
besar pada janji Menakertrans. Dengan kata lain, janji penghapusan
sistem outsourcing terlalu besar bila semata dipikul oleh sebuah
kementerian yang ditugaskan untuk memperlakukan tenaga kerja sebagai
barang dagangan murahan dalam industri kapitalisme.

Harapan sesungguhnya berada di pundak kaum buruh sendiri, untuk
mengorganisasikan perlawanan terhadap sistem ini pada berbagai level
atau teritorial. Persoalan cara dan taktik dapat didiskusikan lebih
lanjut di antara serikat-serikat buruh untuk melancarkan perlawanan ini.
Bukan hanya buruh outsourcing yang berkepentingan, tapi seluruh kaum
buruh, bahkan seluruh warga negara berkepentingan menghapus sistem ini,
demi kepastian bekerja dan pemenuhan hak-haknya pada tingkat yang
minimum, sebagai dasar pijakan untuk memperjuangkan hak ekonomi politik
yang lebih luas.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

http://berdikarionline.com/editorial/20110519/menghapus-sistem-kerja-out\
sourcing.html

<http://berdikarionline.com/editorial/20110519/menghapus-sistem-kerja-ou\
tsourcing.html
>

Tidak ada komentar: