Kamis, 28 Juli 2011

Kelaparan Dan Impor Beras


Editorial Berdikari Online
Beberapa hari terakhir, kita mendengar kabar dari media massa tentang
kelaparan yang melanda Somalia. Negara penghasil minyak itu
disebut-sebut mengalami kelaparan terburuk dalam 20 tahun terakhir.
Padahal, kita mengetahui bahwa Somalia sebagai negara punya
syarat-syarat untuk berkembang: situasi geografis yang menguntungkan,
punya minyak dan sumber daya alam melimpah.

Tetapi, patut disayangkan bahwa semua potensi kemajuan itu justru
menjadi lahan rampokan negeri-negeri imperialis. Sedangkan pemerintahan
nasional di sana tidak bisa berfungsi efektif karena banyaknya
pertikaian dan konflik. Sebagian besar konflik itu sengaja diwariskan
oleh kolonialisme dan dipelihara terus oleh imperialisme sampai
sekarang.

Keadaan di Somalia bisa terjadi pula di Indonesia, jikalau pemerintahan
nasional di Indonesia tidak berfungsi efektif untuk melindungi
kepentingan nasionalnya dan menjaga kebutuhan rakyat. Kasus terbaru yang
memperlihatkan betapa tidak efektifnya pemerintahan nasional adalah soal
menjaga kedaulatan pangan.

Dalam kasus ini, menurut hemat kami, kebiasaan pemerintah untuk
mengimpor beras dari luar negeri akan menjadi jalan menuju kelaparan di
masa mendatang. Apalagi saat ini Indonesia sudah menjadi negara
pengimpor beras terbesar di dunia.

Kami punya alasan kuat untuk menyampaikan argumentasi itu:
Pertama, kebijakan impor beras, baik langsung maupun tidak langsung,
telah menyebabkan hancurnya produksi pangan di dalam negeri. Karena
harga beras impor lebih murah, maka beras produksi petani kita pun kalah
kompetitif. Ini membuat harga gabah milik petani jatuh, dan
kesejahteraan petani pun merosot.

Karena terus-menerus merugi, akibat biaya produksi lebih tinggi dari
harga penjualan, maka pekerjaan bertani pun menjadi tidak bisa
diandalkan untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga tani. Ini
menyebabkan banyak petani memilih menjadi pekerja informal di kota atau
tenaga kerja di luar negeri.

Kedua, kalau kita bergantung kepada impor, maka hal itu sama dengan
menyerahkan leher kita kepada `permainan pasar pangan global'.
Kita tahu bahwa sekarang ini harga pangan dunia tidak lagi sepenuhnya
ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh aksi spekulasi.

Adalah sebuah mimpi buruk bagi masa depan generasi kedepan, jikalau
kebutuhan perut rakyat digantungkan kepada negeri-negeri imperialis dan
kapitalis-kapitalis agrobisnis global. Motif mereka adalah mencari
untung, sedangkan keinginan kita adalah memenuhi kebutuhan rakyat.

Ketiga, ada kecenderungan pemerintah untuk berfikir pendek saat
berhadapan dengan kekurangan stok pangan di dalam negeri. Pikiran pendek
itu dituangkan dalam bentuk kebijakan impor beras, operasi pasar, dan
lain sebagainya.

Padahal, menurut kami, ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan
pemerintah: membangun kembali sektor pertanian sebagai dasar dari
program ketahanan pangan nasional dan proyek industrialsiasi nasional.

Untuk melakukan itu memang diperlukan keberanian, sebuah sikap berani
untuk keluar dari dikte negeri-negeri imperialis dan mengutamakan
kepentingan rakyat. Misalnya: keberanian menjalankan land-reform
sebagaimana amanat UUPA 1960, berani menolak impor beras dan
memprioritaskan pasar dalam negeri untuk produk petani kita, memberikan
dukungan modal dan teknologi kepada para petani, dan lain-lain.

Tetapi pemerintah memang harus berani, karena itu adalah amanat
konstitusi dan sekaligus tujuan kita merdeka dan mendirikan negara ini:
melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum.

Tidak ada komentar: