Sabtu, 01 Oktober 2011

Kolonialisme Di Sektor Pertambangan


Jumat, 30 September 2011 | Editorial Berdikari Online

Pada saat revolusi Agustus masih berkobar, rakyat Indonesia berhasil
merebut sejumlah perusahaan milik Belanda, termasuk perusahaan
pertambangan. Di ladang-ladang minyak, muncul perusahaan yang
diorganisasikan oleh pejuang republik, yang sering menyebut dirinya
"laskar minyak".

Itulah cikal-bakal berdirinya Perusahaan Minyak Indonesia (Permiri) di
Sumatera Selatan, Perusahaan Minyak Negara Republik Indonesia (PMNRI) di
Sumatera Utara, dan Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN) di Jawa
Tengah.

Itu hanya secuil kisah tentang bagaimana kehendak revolusi agustus, juga
semangat seluruh rakyat Indonesia, berusaha mengakhiri praktek
kolonialisme di lapangan ekonomi. Meskipun semangat itu menemui banyak
kendala, bahkan perusahaan yang sudah direbut berakhir macet, tetapi ada
hal yang tak dapat dibantah: rakyat tak menghendaki kolonialisme
merampok kekayaan alam kita.

Tetapi semangat itu benar-benar berhenti pada tahun 1967. Saat itu,
Soeharto, setelah membuat perjanjian khusus dengan para kolonialis di
Jenewa, segera membuka pintu bagi modal asing di berbagai sektor ekonomi
di dalam negeri. Salah satunya kehadiran PT. Freeport di Papua.

PT. Freeport melakukan penambangan di dua kawasan, yaitu tambang
Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988).
Konon, sejak tahun 1968 hingga sekarang pertambangan itu telah
mengasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Kalau
diuangkan dalam bentuk rupiah: taruhlah harga emas Rp300.000/gram, maka
724.700.000.000.000 gram x Rp300.000= Rp 217.410.000.000.000.000.000
atau Rp217.410 biliun.

Apakah Indonesia mendapat untung? Tidak. Menurut Surjono H. Sutjahjo,
dari Fakultas Pertanian IPB, prosentase bagi hasil antara pihak
Indonesia dan pihak PT. Freeport sangat tidak adil: Indonesia mendapat
1% dan Freeport mendapatkan 99%.

Rejeki nomplok Freeport belum berakhir di situ. Ketika emas dan tembaga
di kawasan itu mulai menipis, tetapi di bawahnya, tepatnya di kedalaman
400 meter, ditemukan kandungan uranium. Uranium punya harga seratus kali
lebih mahal dari emas.

Nasib buntung juga dirasakan Indonesia saat sejumlah ladang minyak
dikuasai oleh perusahaan Shell (Belanda). Pada tahun 2005, misalnya,
pendapatan Shell di Indonesia mencapai US$ 178 miliar (Rp 1.600
triliun), sementara Pertamina hanya mendapat untung sebesar Rp 322
triliun. Keuntungan Shell itu bahkan melebihi anggaran APBN Indonesia
pada saat itu yang berjumlah Rp 463,3 triliun (kalau tidak salah).

Tetapi bukan cuma penerimaan negara yang cekak. Terdapat puluhan
perusahaan-perusahaan asing yang menunggak pajak, dan itu dilakukan
selama lima kali pergantian Menteri Keuangan.

Perlu kami tambahkan pula, pekerja Indonesia di perusahaan-perusahaan
asing terkadang tidak mendapat perlakuan yang wajar. Mereka sering
mendapat perlakuan diskriminatif, sehingga upah atau kesejahteraan
mereka lebih murah ketimbang pekerja asing.

Ada benarnya apa yang pernah dikatakan Bung Karno 81 tahun silam,
tepatnya ketika menyampaikan pidato pembelaan di hadapan pengadilan
kolonial, bahwa kolonialisme dan imperialisme hanya butuh empat hal:
bahan baku, pasar untuk barang-barang mereka, tempat penanaman modal,
dan tenaga kerja murah.

Tetapi, pada tanggal 1 Juni 2011 lalu, saat peringatan lahirnya
Pancasila, Presiden SBY sudah mengeluarkan janji mahal: renegosiasi
semua kontrak pertambangan yang merugikan bangsa Indonesia.

Kita belum tahu seperti apa janji itu dijalankan. Kita juga belum tahu
apakah pemerintah sudah membentuk panitia atau tim kerja khusus untuk
urusan itu. Bahkan, kita tidak pernah dengar seperti apa kemajuan
rencana itu, dan perusahaan mana saja yang setuju dan tidak setuju
dengan renegosiasi.

Akan tetapi, dalam keyakinan kami, sepanjang proses renegosiasi ini
tidak melibatkan partisipasi rakyat, maka isu renegosiasi hanya akan
menjadi "pintu baru" untuk kongkalikong antara pemerintah
Indonesia dan perusahaan asing. Sebab kami tahu betul watak dan mental
pemerintah Indonesia yang sangat inlander itu.

Padahal, semua itu tidak perlu terjadi jikalau saja pemerintah setia dan
mau menjalankan konstitusi dengan benar, khususnya pasal 33 UUD 1945.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

http://berdikarionline.com/editorial/20110930/kolonialisme-di-sektor-per\
tambangan.html

<http://berdikarionline.com/editorial/20110930/kolonialisme-di-sektor-pe\
rtambangan.html
>

Tidak ada komentar: