Senin, 11 Februari 2013

Perlunya Demokratisasi Media

Perlunya Demokratisasi Media
Sabtu, 9 Februari 2013

Setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Terlepas dari kontroversi terkait penetapan tanggal HPN ini, ada baiknya
kita melakukan kritik oto kritik atas perkembangan pers kita. Setelah
orde baru tumbang, banyak orang merindukan "kebebasan pers".

Dengan kebebasan pers itu, kita berharap, kualitas demokrasi kita
semakin membaik karena dikawal oleh kebebasan berpendapat, menyampaikan
kritik, dan menyebarkan-luaskan informasi. Kita berharap bahwa pers bisa
benar-benar menjalankan perannya sebagai "watchdog" atas
jalannya pemerintahan dan masyarakat sipil.

Namun, setelah kebebasan pers itu datang, justru banyak orang yang
menilainya "kebablasan". Saat ini media massa, baik cetak maupun
elektronik, lebih banyak menyajikan berita sensasional ketimbang
informasi bermutu bagi masyarakat. Media cetak memborbardir kita dengan
berita kriminalitas, seks, kawin-cerai selebriti, dan lain-lain.
Sedangkan televisi selama 24 jam menjejali kita dengan tayangan berbau
kekerasan, opera sabun, pornografi, mistik, dan lain sebagainya.

Namun, ada hal yang lebih mengkhawatirkan: kepemilikan media yang
semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit. Saat ini, ada 12 grup
media yang menguasai saluran media massa kita, termasuk elektronik,
cetak, maupun online. Mereka adalah Jawa Pos Group, MNC Group, Kompas
Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Mahaka Media,
CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Tempo Inti
Media, dan Femina Group.

Monopoli di tangan 12 grup media ini membawa dampak buruk: mereka
menguasai hampir semua informasi dan cenderung mendikte audiens sesuai
kehendak mereka. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95
persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga didapat
dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta.

12 grup itu mengendalikan ribuan media di Indonesia dalam berbagai
formatnya. Lebih parah lagi, saluran Televisi di Indonesia hanya
dikuasai oleh lima orang: Aburizal Bakri (TV One dan ANTV), Surya Paloh
(Metro TV), Harry Tanoesodibjo (Global TV, RCTI, dan MNC-TV), dan
Chairul Tanjung (Trans-TV dan Trans-7).

Situasi di atas membawa sejumlah konsekuensi. Karl Marx dalam karyanya,
The German Ideology, pernah memperingatkan, "Kelas yang menguasai
alat-alat produksi material pada akhirnya juga mengendalikan alat
produksi mental, sehingga gagasan dari mereka yang tidak menguasai alat
produksi mental tunduk padanya."

Peringatan Karl Marx itu terbukti benar. Di bawah kepemilikan media yang
terkonsentrasi di tangan segelintir elit itu, media massa lebih banyak
berfungsi sebagai "penyambung lidah" para elit penguasa.
Lihatlah, misalnya, keterlibatan media dominan dalam menyebarkan
informasi menyesatkan terkait pencabutan subsidi BBM dan tarif dasar
listrik.

Lihat pula tingkah laku media dalam mendiskreditkan aksi-aksi protes
rakyat, perlawanan petani, dan pemogokan buruh. Media dominan lebih
sibuk mencari sisi negatif dari aksi protes, seperti kemacetan lalu
lintas, kerugian produksi, kekerasan, dan lain-lain, ketimbang
menyampaikan pesan dari aksi protes itu sendiri.

Media dominan juga menjadi "candu" di abad modern untuk membuai
massa rakyat agar pasrah menerima ketertindasannya. Mereka menghipnotis
massa-rakyat dengan opera sabun, iklan komersil, tayangan
cabul/pornografi, mistik dan lain-lain. Media dominan juga aktif
melancarkan propaganda untuk mendepolitisasi massa-rakyat.

Akhirnya, benar apa yang pernah dikatakan Lenin: "kebebasan pers
berarti kebebasan si kaya menyogok pers, kebebasan untuk menggunakan
kekayaan mereka untuk membentuk dan memalsukan opini publik." Dan
lihat saja, betapa para bos 12 grup media itu menggunakan
frekuensi—yang notabene milik rakyat—untuk kepentingan mereka:
mempromosikan bisnis, mempromosikan kepentingan politik mereka, dan
lain-lain.

Ketika media lebih mengutamakan kepentingan pemiliknya ketimbang
kepentingan umum, dan ketika motif keuntungan lebih tinggi dibanding
kebutuhan mencerdaskan rakyat, dan ketika media tidak bisa lagi menjadi
suri-tauladan bagi kemajuan demokrasi, maka sudah saatnya diciptakan
regulasi untuk membatasi kepemilikan media dan isiannya.

Sejumlah negara Amerika Latin, seperti Brazil, Venezuela, Bolivia,
Argentina, dan Ekuador, sudah bergerak ke arah sana. Negara-negara itu
sedang berjuang keras untuk menciptakan ruang publik yang non-profit dan
demokratis. Venezuela, misalnya, telah berjuang keras mendemokratiskan
media dengan membuka ruang sebesar-besarnya bagi media independen dan
akar rumput.

Bukankah pasal 33 UUD 1945 ayat 3 sudah menegaskan: Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, udara juga
merupakan milik rakyat dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Di samping itu, UUD 1945 pasal 28 menyatakan: Setiap
orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kemerdekaan pers tidaklah berarti kebebasan si yang empunya uang.
Kebebasan pers adalah kemerdekaan media massa mendapatkan dan
menyebarkan informasi bermutu dan terpercaya, tanpa dihalang-halangi,
untuk mencerdaskan rakyat. Sedangkan hak rakyat atas informasi tak
sekedar hak berbicara secara bebas, tetapi juga hak untuk mengakses
alat-alat penyedia dan penyebar informasi. Itulah esensi demokratisasi
media.

Selamat hari pers!

Tidak ada komentar: