Minggu, 20 Juni 2010

Dilema Kelistrikan di Mulut Liberalisasi

Dilema Kelistrikan di Mulut Liberalisasi
ulfha

Rabu, 16 Juni 2010 | 01.25 WIB | Editorial

Memasuki usia kemerdekaan ke-65, Indonesia masih terdapat 40% rakyat
yang belum menikmati listrik, sedangkan yang 60% mengalami problem
mati-hidup alias pemadaman bergilir. Padahal, seperti Lenin
berulang-kali berkata, "hanya dengan elektrifikasi di seluruh negeri dan
industri berat modern menjadi basis kemajuan teknik di Industri,
pertanian, dan transfortasi, maka suatu negara bisa sukses hingga
akhir."

Program elektrifikasi sangat berguna bagi kemajuan suatu bangsa. Melalui
program elektrifikasi, kita mendorong teknik modern, merestorasi
kekuatan produktif, menaikkan budaya rakyat, dan mendorong literasi.
Sangat mustahil suatu bangsa bisa sukses tanpa mengurusi listrik untuk
seluruh negerinya.

Dalam konteks itu, ada beragam argumentasi yang dikeluarkan untuk
menjelaskan kenapa usia kemerdekaan selama 65 tahun belum membuat
"terang" seluruh negeri, terutama dari pihak pemerintah sendiri. Menurut
pemerintah, penyebab krisis listrik di Indonesia adalah peningkatan
jumlah permintaan yang tak sebanding dengan persediaan.

Ini terjadi, menurut pemerintah, karena kurangnya investasi di bidang
kelistrikan, biaya penjualan listrik yang terlampau murah, pemborosan
(?), dan problem subsidi. Sehingga, sebagai jalan keluar untuk persoalan
ini, pemerintah mengajukan jalan keluarnya: liberalisasi sektor
kelistrikan. Karena liberalisasi itu, pemerintah yakin investasi akan
tumbuh subur, terjadi kompetisi yang akan memperbaiki kualitas, dan
pemborosan dapat dihindarkan.

Namun, saya mengutip perkataan WS Rendra, "maksud baik saudara untuk
siapa ? saudara berdiri di pihak yang mana?" Sayang sekali, maksud baik
pemerintah itu justru menjerumuskan rakyat Indonesia, terutama mereka
yang berpendapatan rendah. Liberalisasi kelistrikan akan mendorong
kenaikan tariff listrik, penguasaan energy listrik oleh pihak asing, dan
membunuh Industri dalam negeri. "Maksud baik" pemerintah adalah melayani
investor asing, yaitu perusahaan-perusahaan multinasional dari
negeri-negeri imperialis.

Dengan begitu, penjelasan soal kenaikan Tarif dasar listrik (TDL) pada
bulan Juli nanti, tidak bisa dilepaskan dari niat liberalisasi
kelistrikan. Ide menaikkan TDL agar persediaan lebih baik hanyalah
jualan "kecap", padahal intinya adalah membuka ruang bagi investor atau
perusahaan listrik asing untuk turut bermain di dalam negeri.

Penjelasan pemerintah soal krisis listrik seperti anak singa makan padi
alias tidak masuk akal. Krisis listrik terjadi karena
kesalahan-kesalahan pemerintah sendiri, bukan siapa-siapa.

Pertama, krisis listrik terjadi karena tidak adanya optimalisasi
pembangkit-pembangkit yang ada. Beberapa pembangkit listrik utama PLN
kesulitan mengakses bahan bakar, terutama gas, batubara, dan BBM. Pada
tahun 2007, sebagai contoh, ada pembangkit utama yang melayani
interkoneksi Jawa-Bali, mengalami gangguan karena pasokan bahan bakar.
Dua pembangkit lainnya, PLTU Cilacap dan PLTG Muara Tawar, terancam
berhenti karena kekurangan pasokan bahan bakar.

Disamping soal pasokan energi, pemerintah juga minim dalam melakukan
pemeliharaan (maintenance), pembangunan infrastruktur, dan inovasi
teknologi. Di dalam PDB, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya
mencapai 10%, bahkan, dibawah pemerintahan SBY, angka ini justru hanya
berkisar 1,5-2% dari total PDB. Bandingkan dengan porsi untuk membayar
utang luar negeri, misalnya, yang mencapai 26% terhadap PDB.

Kedua, hampir tidak ada inisiatif atau usaha pemerintah untuk mendorong
diversifikasi energy, terutama untuk energi alternatif, misalnya energi
angin, panas bumi (geothermal), gelombang air laut, tata surya, dan lain
sebagainya.

Jika mau mengatasi keadaan ini, menurut hemat kami, sebaiknya pemerintah
mengkoreksi kebijakannya, terutama yang berbau neoliberal. Seharusnya,
pemerintah memprioritaskan pemenuhan bahan bakar untuk pembangkit yang
ada, tidak mengekspor habis gas untuk negeri-negeri lain. Pemerintah
juga harus membuang jauh-jauh ide liberalisasi kelistrikan, disamping
memberantas KKN di tubuh PLN.

Terakhir, saya teringat ucapan Bung Karno: "bagaimana mewujudkan
kesejahteraan sosial jikalau rakyat hidup dalam gelap gulita pada waktu
malam karena tidak adanya listrik dan minyak tanah."

Anda dapat menanggapi editorial kami di redaksiberdikari@yahoo.com

Tulisan ini diambil dari:
http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=\
926&Itemid=44

Tidak ada komentar: