Jumat, 23 Juli 2010

KEMISKINAN RAKYAT MERISAUKAN, PENGUASANYA BERMEWAH-MEWAHAN [Al Islam 515]

Seperti yang dilansir sejumlah media, jumlah orang miskin
makin merisaukan seiring kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli
2010. Pasalnya, kenaikan TDL memberikan efek domino berupa kenaikan harga
sembako, ancaman PHK dan pengangguran.

Berdasarkan standar BPS (Maret 2007), kategori miskin di antaranya seorang
dengan penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp
5.500,-/hari/orang. Dengan standar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya
sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia,
salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang
berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500
ribu/bulan). Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di
Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia;
kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian kehidupan
rakyat yang amat menyedihkan. Padahal bukankah mereka hidup di sebuah
negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan sumber daya alam
lainnya?

Pemerintah Tak Peduli
Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini
makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan
yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi
memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar
rakyatnya. Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat. Mulai April
lalu, misalnya, Pemerintah menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram
sebesar 50 persen, yakni dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu. Kenaikan ini
muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi
menjadi Rp 4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk
mencapai Rp 17,6 triliun. Dampak dari kenaikan harga pupuk ini sudah
terasa Juni lalu. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara
pendapatan masyarakat malah turun karena harga pokok produksi hanya naik
10 persen. Bagaimana para petani bisa untung?

Namun, masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem
ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap
nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik modal,
termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik. Kasus
terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola Proyek Gas
Donggi Senoro. Pemerintah memutuskan bahwa untuk proyek gas Donggi Senoro,
30% dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan 70% untuk ekspor.
Padahal yang 30% itu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas PT PLN.
Artinya, kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan industri lainnya seperti
industri pupuk sesungguhnya masih sangat besar. Sungguh ironis, saat
kebutuhan akan gas di dalam negeri begitu besar, Pemerintah justru
mengalokasikan 70% untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas
domestik mendapat prioritas maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, pabrik
pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Hal ini secara pasti akan membuat
harga produksi listrik turun sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan,
bahkan bisa diturunkan. Lebih dari itu, dengan ketersediaan bahan bakar
pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, seperti batu bakar dan
gas, Pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi
listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta
menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.

Kebijakan Pemerintah ini tentu patut dipertanyakan. Apakah karena ada
kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya
dari pasokan BBM ke PT PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan
pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal
ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati
para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Kalau ini benar,
inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara
pengusaha dan pengusaha, dengan mengorbankan rakyat banyak.

Penguasa dan Pejabat Bermewah-mewahan
Presiden SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam
menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta
energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan
sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,”
ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Ajakan itu sebenarnya sudah basi. Pasalnya, penghematan di jajaran
pemerintahan tak pernah terlihat. Masyarakat masih ingat bagaimana uang Rp
22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk
merenovasi pagar Istana. SBY sendiri tak memberikan contoh bagaimana
dirinya melakukan hemat energi itu; misalnya ia naik kendaraan umum saja
ke Istana atau seluruh listrik Istana dimatikan pada malam hari. Itu tidak
terjadi. Inilah sikap ‘munafik’ penguasa.

Pada tahun 2011, Pemerintah pun berencana membeli pesawat kepresidenan
jenis Boeing 737-800 NG, dengan harga dipatok US$ 84,5 juta, sekitar Rp
800 miliar lebih. Selain itu, dalam kurun waktu 2001-2011 Presiden SBY
menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar
negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok
sebesar Rp 181 miliar. Ini jauh di atas anggaran presiden sebelumnya di
era GusDur yang total menghabiskan Rp 48 miliar dan semasa Megawati Rp
48,845 miliar. Lalu untuk kebutuhan baju Presiden saja, anggarannya
mencapai Rp 893 juta pertahun atau Rp 74 juta perbulan atau sekitar Rp 18
juta perminggu. Padahal gaji Presiden Indonesia saat ini saja sudah amat
besar, hanya terpaut sedikit saja dari gaji tertinggi sejumlah kepala
negara di dunia, terutama jika dikaitkan dengan tingkat kemakmuran
rakyatnya. Sebagaimana diketahui, total gaji Presiden SBY saat ini adalah
sebesar Rp 62.740.000,-. Adapun kepala negara dengan gaji tertinggi di
dunia adalah Presiden Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, Irlandia dan
Prancis. (Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3409487).

Sebelumnya, DPR meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8
triliun. Ini menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun
legislatif, betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka
lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.

Selain itu, wajah APBN kita pun tidak pro rakyat. Ini bisa disimak dari
APBN Perubahan 2010. Di sana tergambar jelas bahwa APBN itu lebih
ditujukan untuk kepentingan pragmatis elit politik dan pejabat, ketimbang
untuk rakyat. DPR, misalnya, berhasil mengajukan anggaran fantastis
sebesar Rp 1,8 triliun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih
besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp 1,3
triliun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Padahal anggaran
Rp 1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM melalui program
keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya dinikmati
560 anggotanya.

Pemerintah juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi
(kenaikan gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp
13,9 triliun. Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu
menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. Di sisi lain,
triliunan uang tersebut bisa digunakan untuk 76,4 juta Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk dan 1,8
miliar liter beras.

Saatnya Hentikan Sistem/Rezim Tak Amanah

Gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari
mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa
dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan
identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan
yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.


Sikap mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah)
dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu,
jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang
menjadi hak rakyatnya. Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru
terletak pada ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada
sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu,
kesederhanaan mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan
kehormatan. Wajar jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada
masa lalu banyak menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam
as-Suyuthi menuturkan dalam Tarikh al-Khulafa’-nya tentang kisah
kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, yang tidak
pernah malu berpakaian dengan banyak tambalan, bukan dengan kain yang
sama, tetapi dengan kain yang berbeda, bahkan dengan kulit hewan. Khalifah
Umar ra. juga biasa tidur nyenyak di atas hamparan pasir, dengan
berbantalkan pelepah kurma di sebuah kebun kurma, tanpa seorang pun
pengawal. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar dan para
khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa. Mereka
berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah
Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan segala kemuliaan dan
keagungannya. Bandingkanlah dengan para penguasa kaum Muslim saat ini,
termasuk di negeri ini. Mereka hidup mewah, tetapi miskin prestasi, bahkan
menjadi musibah bagi rakyatnya.

‘Ala kulli hal, umat belum terlambat untuk menyadari bahwa sistem
sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter
para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab
suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia.

Karena itu, umat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah)
Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan
ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi mereka, sebagaimana
firman-Nya:
وَلَو أَنَّ أَهلَ القُرىٰ ءامَنوا وَاتَّقَوا لَفَتَحنا عَلَيهِم بَرَكٰتٍ
مِنَ السَّماءِ وَالأَرضِ وَلٰكِن كَذَّبوا فَأَخَذنٰهُم بِما كانوا
يَكسِبونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan
melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf
[7]: 96).

Sebaliknya, jika umat ini tetap berpaling dari peringatan Allah SWT,
enggan menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan
dalam institusi Khilafah, maka kesempitan akan selalu menjadi ‘hiasan
hidup’ mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن أَعرَضَ عَن ذِكرى فَإِنَّ لَهُ مَعيشَةً ضَنكًا وَنَحشُرُهُ يَومَ
القِيٰمَةِ أَعمىٰ
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta
(QS Thaha [20]: 124).
Wallahu a’lam. []

Tidak ada komentar: