Jumat, 23 Juli 2010

NEGARA DRAKULA

Rakyat dipaksa membayar pajak, tapi mereka tak menikmati hasilnya.
Setelah Gayus Tambunan, kini muncul seorang tersangka lagi yang diduga
terlibat permainan kotor di Direktorat Jenderal Pajak. Baha-sjim Assifi
namanya. Pejabat di Bappenas yang baru saja meng-undurkan diri Maret lalu
ini adalah mantan pejabat eselon dua di Ditjen Pajak. Sama seperti Gayus,
Bahasjim pun memiliki kekayaan yang dianggap tidak wajar. Ia memiliki uang
lebih dari Rp 60 milyar atas nama anak dan istrinya.

Meski tak ada hubungan antara Gayus dan Bahasjim, keduanya sama-sama
pegawai pajak. Ini mengindikasikan ma-kelar kasus (markus) pajak telah
mengakar ke mana-mana. Sa-ngat tidak masuk akal jika modus ini tidak
diketahui oleh atasan mereka. Walhasil, praktik kotor ini bisa berlangsung
aman selama bertahun-tahun. Soalnya semua kecipratan.

Saat diperiksa di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Gayus mengungkapkan,
modus pencucian uang ini tidak dilaku-kan sendiri. Modus ini melibat-kan
banyak orang di instansinya. Gayus tergolong pemain kelas teri. Kalau
kelas teri saja mampu meraup uang Rp 28 milyar, bagaimana dengan kelas di
atasnya?
Kenyataan itu membukti-kan bahwa sistem birokrasi di negeri ini sudah
bobrok. Remu-nerasi yang memberikan gaji tinggi kepada pegawai
Kemente-rian Keuangan tak berhasil. Gaya hidup mewah dan serakah mem-buat
mereka tetap saja mencari jalan mencari harta dari jalan yang tidak sah.

Memang ada kesalahan juga dari sisi pengusaha, sebagai pihak yang
menginginkan jalan pintas. Mereka ada yang nakal. Ketua Asosiasi Pengusaha
Indo-nesia (Apindo) Sofyan Wanandi memperkirakan, masih ada seki-tar 10-20
persen pengusaha kelas kakap yang terlibat dengan markus pajak.
Namun tak sedikit peng-usaha yang diperas pegawai pajak. “Pengusaha,
kadang-ka-dang terpaksa kalau tiap kali diperiksa (pajaknya), diganggu,
akhirnya bayar juga lewat mar-kus," katanya saat Peresmian Koperasi UKM
Kreatif Apindo di kantor Apindo, Jakarta, Sabtu (10/4).

Sofyan menghitung, seti-daknya 10 persen dari biaya ope-rasional bisnis
harus direlakan untuk mengisi kantong-kantong aparat pajak, yang melakukan
praktik markus. "Makanya, Indo-nesia disebut salah satu negara terkorup
karena ini, cost invisibel tertinggi sampai 10 persen. Pada-hal, pengusaha
mau tambah investasi," ujarnya.
Kasus Gayus, menurut Sof-yan, memang memberikan indi-kasi bahwa posisi
banding dan keberatan merupakan titik rawan melakukan korupsi. "Titik itu
rawan karena mereka cari-cari salah. Mereka peras kami, kasih target
tinggi dan tidak percaya kami. Kami bilang bayar 100, ternyata dibilang
mereka harus bayar 1.000, akhirnya kami so-gok," ujarnya. Modus ini telah
berlangsung lama.

Munculnya markus pajak ini paradoks dengan kondisi masyarakat. Tanpa
disadari, masyarakat dipaksa membayar pajak kepada negara melalui bentuk
pajak yang bermacam-macam. Eh ternyata, gaji pegawai pajak yang besar dari
duit rakyat ini masih juga tidak cukup. Pajak yang seharusnya diambil dari
orang-orang kaya untuk negara, justru diembat sendiri untuk kepentingan
pribadi.

Modus makelar pajak ini sangat beragam. Mulai saat penentuan obyek
barang/jasa yang terkena pajak hingga saat wajib pajak berperkara di
peng-adilan. Menurut mantan Dirjen Pajak, Fuad Bawazier, markus pajak itu
ya ada di Ditjen Pajak. Dengan menggunakan kewena-ngannya, para markus
bisa mem-buat wajib pajak tak berkutik untuk membayar pajak sesuai saran
mereka. Namun, bukannya tak mau, wajib pajak justru senang karena jumlah
yang seharusnya dibayar bisa diku-rangi. “Cincai-lah,” begitu kata orang.
Lebih parah lagi, lebih dari 70 persen pendapatan negara yang didapat dari
pajak, sedikit sekali yang mengucur bagi ke-pentingan rakyat secara
lang-sung. Justru anggaran negara banyak digunakan bagi kepen-tingan
birokrasi. Sedikit demi sedikit, negara terlihat melepas-kan rakyat agar
mereka bisa mandiri, hidup sendiri. Di sisi lain, negara tetap berharap
rakyat membantu negara.

Sistem perpajakan seperti ini mirip dengan apa yang terjadi pada zaman
penjajahan Belanda dulu. Rakyat selalu diminta mem-bayar upeti bagi
penjajah. Upeti itu tentu bukan diperuntukkan bagi rakyat tapi bagi
penjajah dan antek-anteknya. Rakyat diperas.

Tak mengherankan ada yang menyebut Indonesia ada-lah 'negara preman'.
Perpajakan adalah bentuk premanisme yang dibungkus dengan
perundang-undangan sehingga terkesan legal dan memaksa. Belum lagi, memang
negara ini dikuasai oleh para preman dalam arti yang sebenarnya.

Satgas pemberantasan ma-fia hukum menyatakan ada sembilan mafia kelas "big
fish". Mereka itu adalah mafia per-adilan, mafia korupsi, mafia pajak dan
bea cukai. Lalu mafia kehu-tanan, mafia tambang energi, mafia narkoba,
mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal serta mafia perikanan. Tak
ketinggalan mafia utang luar negeri. Mereka ini merugikan negara dan
rakyat.

Sebenarnya, negeri ini bisa sejahtera tanpa menggantung-kan diri pada
pajak yang jelas-jelas menjerat leher rakyat. Syaratnya, kepemilikan
kekayaan alam dikembalikan kepada rakyat. Ini hanya bisa terjadi bila ada
perubahan sistem secara radikal, dari sistem liberal ke sistem Islam.
Kedua, hanya orang-orang amanah yang boleh dipilih untuk mengemban ama-nah
tersebut.

Berdasarkan hitungan, ke-kayaan alam Indonesia cukup untuk menutup
kebutuhan hi-dup negara. Mengapa sekarang tidak cukup dan harus memajaki
rakyat? Sebab kekayaan alam tersebut hampir semuanya di tangan asing dan
swasta. Negara hanya menikmati bagian yang amat kecil. Menyedihkan lagi,
alokasi anggaran negara justru banyak digunakan membayar bunga utang.
Inilah sebuah kesalahan mendasar akibat bercokolnya ideologi
kapitalisme-liberal di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Maka tidak ada jalan lain untuk meng-ubahnya kecuali mengganti sistemnya
dengan sistem Islam. Allahu Akbar! [] mujiyanto

http://www.mediaumat.com/content/view/1464/68/

Tidak ada komentar: