Jumat, 11 November 2011

Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945

Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945

Jumat, 7 Oktober 2011 | Editorial Berdikari Online

Krisis ekonomi kembali berkecamuk di Amerika dan Eropa. Kali ini,
seperti dikatakan banyak ekonom, akan jauh lebih keras dan lebih hebat
dibanding krisis 2008 lalu. Pada September lalu, Dana Moneter
Internasional (IMF) sudah memperingatkan kemungkinan krisis finansial
global memasuki "fase lebih kritis".

IMF sendiri membagi krisis ini dalam empat fase: (1) Dimulai dari krisis
suprime mortage pada tahun 2007 dan mengancam sistem perbankan, (2)
Krisis perbankan, dimana bank-bank melalui krisis sistemik dan menyebar
ke eropa, (3) krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa,
dan (4) krisis memasuki fase politis, dimana pemimpin-pemimpin politik
Eropa dan Amerika kesulitan mencapai konsensus untuk solusi finansial.

Tetapi, jika menganalisa lebih dalam lagi, krisis sekarang ini tidak
semata-mata krisis finansial atau persoalan keuangan. Krisis ini sangat
mendalam dan sistemik, yang akarnya berasal dari sistim kapitalisme
global itu sendiri. Juga krisis ini tidaklah dimulai pada krisis
subprime mortage tahun 2007 lalu, tetapi sudah terjadi sejak tahun
1970an.

Sejak tahun 1970 kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi
internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari
proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan
distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi
(over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas). Harry Magdoff
dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis
krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli
capital dan stagnasi.

Untuk mengatasi dua krisis ini, kapitalisme mengambil dua jalan keluar:
finansialisasi dan neoliberalisme. Dengan finansialisasi, seorang
kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan
mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar
keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa
menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, tetapi tidak pernah
menciptakan nilai baru—hanya industri, pertanian, perdagangan dan
jasa yang menciptakan nilai baru.

Hal itu mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil.
Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak
mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke
gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.

Sementara, dengan jalur neoliberalisme, kapitalis global mempromosikan
integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis,
atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan
barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap
mobilitas modal dan investasi asing. Dengan skema ini, mereka berharap
bisa membuang kelebihan produksi negara maju di pasar-pasar yang baru
dibuka di dunia ketiga, mengurangi biaya produksi dengan relokasi pabrik
ke dunia ketiga dan praktek politik upah murah.

Tetapi, terbukti bahwa kedua jalan tersebut mengalami kegagalan, bahkan
telah membawa sistim kapitalisme global ke dalam krisis yang lebih
mendalam: bank kolaps, pemerintah menggunakan dana publik untuk
membailout bank-bank, rakyat kehilangan pekerjaan, dunia jatuh ke dalam
krisis mendalam, harga pangan dan sembako meroket, lalu letupan sosial
di berbagai tempat.

Menjawab krisis ini, para pemangku kebijakan di eropa membentangkan dua
solusi temporer; penghematan atau stimulus. Jika mengikuti skenario
penghematan, seperti dianjurkan oleh lembaga keuangan global dan coba
dijalankan pemerintah AS dan eropa sekarang, maka terjadi pembongkaran
total terhadap berbagai bentuk kesejahteraan dan sistem jaminan sosial.
Kemiskinan dan pengangguran akan bertambah luas.

Cara kedua, yakni stimulus, seperti yang dianjurkan oleh Paul Krugman,
ekonom penerima nobel itu, maka negeri-negeri kapitalis maju dipaksa
untuk mengeluarkan dana stimulus yang lebih besar guna menggerakkan
ekonomi real dan demikian terjadi "permintaan agregat".

Dua solusi itu hanya soal waktu saja. Vijay Prashad, seorang professor
di Trinity College, Hartford, Connecticut, USA, menganggap bahwa
solusi penghematan akan membebankan krisis sepenuhnya di tangan rakyat,
sedangkan stimulus hanya akan menjadi ilusi sementara ala Keynesian.

Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sudah tidak lagi memberi kita
gambaran masa depan. Sebagai sebuah bangsa yang punya cita-cita besar,
yaitu masyarakat adil dan makmur, kita tidak mungkin menyandarkan
pencapaian cita-cita itu kepada sebuah sistem yang sudah terbukti gagal.
Oleh karena itu, sudah waktunya bangsa Indonesia berani meninggalkan
neoliberalisme.

Lalu, apa solusinya: para pendiri bangsa sebetulnya sudah menitipkan
sebuah cara mengorganisir ekonomi yang baik dan bisa memakmurkan rakyat,
yaitu pengorganisasian ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945.

Dengan menerapkan pasal 33 UUD 1945, misalnya, maka perekonomian akan
disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Ini jelas
bertentangan dengan neoliberalisme, juga kapitalisme, yang mengharuskan
kompetisi bebas dan kemakmuran untuk segelintir orang.

Dengan pasal 33 UUD 1945 juga, cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak bisa dikuasai negara dan dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Ini jelas merupakan antitesa terhadap model
ekonomi neoliberal sekarang, dimana cabang-cabang produksi yang penting,
termasuk layanan publik yang sifatnya dasar, diserahkan kepada swasta
dan menjadi objek menggali keuntungan.

Lalu, jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan, kita bisa berdaulat terhadap
kekayaan alam kita dan mempergunakannya demi kemakmuran rakyat. Selama
ini kekayaan alam hanya dikeruk oleh pihak swasta (nasional dan asing)
untuk kemakmuran mereka, sedangkan rakyat Indonesia menerima kerugian
besar berupa perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan
lingkungan.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Tidak ada komentar: