Selasa, 08 November 2011

LISTRIK MATI DI LUMBUNG ENERGI


Oleh: Dahlan Iskan

Cap "listrik mati di lumbung energi" sudah lama melekat di lima provinsi
ini:?  Riau, Sumsel, Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Lebih 15 tahun krisis listrik
melanda mereka. Padahal, batu bara dari lima provinsi itulah yang membuat
kota-kota besar dunia, seperti Singapura dan Hongkong, terang benderang.

Yang seperti itu tentu tidak boleh berlanjut lebih lama lagi. Akhir tahun ini
Sumsel sudah bisa men-delete cap negatif itu. Bulan lalu unit 1 PLTU batu bara
di dekat Prabumulih sudah menghasilkan listrik 115 mw. Bulan depan unit 2-nya
menyusul beroperasi.?

Belum lagi yang bertenaga gas. Dalam tiga bulan ke depan Sumsel akan dapat
tambahan 200 mw dari gas setempat. Dalam tahun ini secara total Sumsel dapat
tambahan hampir 500 mw. Maka, mulai Januari nanti, cap "listrik mati di
lumbung energi" mesti sudah berubah menjadi "si lumbung energi mulai berbagi
rezeki". Maksudnya, Sumsel akan membagi kelebihan listriknya ke Riau dan
Bengkulu melalui transmisi Pagar Alam-Kiliranjau-Payakumbuh-Pekanbaru.

Bersamaan dengan itu, pembangunan gardu induk baru di Baturaja juga sudah
selesai. Keluhan masyarakat di wilayah Komering hilir dan hulu akan teratasi.
Maka, untuk Sumsel, praktis tinggal wilayah sekitar Sungai Lilin yang masih
menderita. Memang sudah ada rencana pembangunan gardu induk yang sangat besar di
situ, tapi memerlukan waktu dua tahun. Sambil menunggu proyek itu selesai, tiga
kecamatan di sekitar Sungai Lilin akan diperkuat dulu dengan pembangkit diesel.

Gubernur Sumsel Alex Noerdin memang sangat agresif dalam membantu PLN mencari
jalan keluar untuk mengakhiri krisis listrik di wilayahnya. Beda dengan gubernur
Sumut, yang untuk mengeluarkan izin PLTA Asahan-3 saja sulitnya bukan main.
Sampai sekarang pun, izin untuk membangun pembangkit besar yang ramah lingkungan
itu belum keluar. Padahal, sudah lebih satu tahun izin itu diminta. Padahal,
Sumut sangat memerlukan listrik.

Bagaimana dengan Riau? Itulah lumbung energi yang sangat fakir energi. Provinsi
tersebut termasuk yang rasio elektrifikasinya kurang dari 50 persen. Untung,
Riau punya gubernur seperti Rusli Zainal, yang terus mengobrak-ngobrak PLN
sambil memberikan pemikiran jalan keluar.

Listrik untuk Pekanbaru kini memang sudah cukup. Tapi, mencukupinya dengan cara
yang sangat mahal. Sedangkan kabupaten-kabupaten kaya, seperti Palalawan,
Indragiri Hulu (Rengat), Indragiri Hilir (Tembilahan), Kepulauan Meranti
(Selatpanjang), Siak (Siak Indrapura), dan Rokan Hilir (Bagan Siapi-api), baru
sekarang ini mendapat gambaran yang lebih jelas.

Setelah keliling Bagan Siapi-api, Rabu lalu saya kembali ke Riau. Keliling ke
kabupaten-kabupaten itu. Kali ini harus melakukan perjalanan 18 jam. Tujuh jam
di antaranya melalui sungai dan selat. Dari perjalanan tersebut saya baru tahu
bahwa ada perkebunan kelapa hibrida yang sangat besar di pantai timur Riau. Di
situ pula terlihat dua pabrik kelapa yang sangat besar. Itulah pabrik yang
menghasilkan santan Kara, yang pasarnya meluas ke seluruh dunia.

Di kawasan itu pula banyak tumbuh "kota baru" dengan bangunan-bangunan
bertingkat lima yang padat. Penduduknya bukan manusia, melainkan burung-burung
walet. Kabupaten-kabupaten yang saya lihat itu, APBD-nya melebihi Rp 1 triliun,
tapi listriknya sangat duafa. Di mana-mana bupatinya membangun kota baru,
gedung-gedung baru, jembatan baru, dan masjid-masjid baru. Juga membangun
jalan-jalan kembar baru. Lengkap dengan tiang-tiang listrik yang berjajar indah,
tapi tidak pernah menyala lampunya.

Bahkan, seperti di kota baru Kerinci, banyak tiang listrik yang lampunya sudah
hilang. Kabelnya juga sudah dicuri orang. Jaringan listrik yang tidak bersetrum
memang menjadi sasaran empuk pencuri.Untuk mengatasi kelistrikan di Kerinci dan
Rengat, kami berhasil mendapatkan "lima sendok" gas dari jaringan pipa besar
yang mengalirkan gas dari Riau ke Singapura. Meski hanya lima sendok (5 bbtud),
tetaplah harus disyukuri. Kami bisa membangun PLTG 25 mw di Sorek, kota kecil
antara Kerinci dan Rengat.

Tiga bulan lagi pembangunan tersebut selesai. Bupati baru Rengat, Yopi Arianto
yang baru berumur 24 tahun, senang bukan main. Dia menjemput saya di lokasi
proyek itu dengan berbinar-binar. Janji kampanyenya dalam pilkada lalu segera
terpenuhi. Dalam perjalanan ke Rengat "saya yang menjadi sopir" sang bupati
menceritakan betapa fakir dan miskinnya Rengat di bidang listrik.

Cara Rengat itu akan kami teruskan untuk mengatasi Selatpanjang dan Siak. Kepada
Bupati Selatpanjang Irwan Nasir yang menjemput saya di dermaga yang gelap, saya
kemukakan perlunya ngemis gas barang lima sendok dari sumber gas yang besar di
dekat pulau itu. Malam itu juga, sambil makan malam di pinggir selat, saya
langsung hubungi pejabat tinggi BP Migas. Ternyata, program tersebut didukung
penuh oleh BP Migas. Mendengar kabar itu, sang bupati, ketua DPRD,
pimpinan-pimpinan fraksi yang ikut makan malam, semuanya bergembira.

Harapan mereka untuk membangun Selatpanjang tidak bertepuk sebelah tangan. Kota
berpenduduk 150.000 jiwa tersebut memang sedang melakukan pembenahan
besar-besaran. Jalan-jalan diperbaiki dan dilebarkan. Pelabuhan baru juga
dibangun. Jembatan baru menuju Pulau Merbau yang akan dijadikan pusat
pemerintahan disiapkan. Jembatan panjang ke arah daratan Sumatera juga dirintis.
Tanah untuk bandara sudah diadakan. Instalasi penjernih air laut sudah dalam
penyelesaian. Semua itu memerlukan listrik.

Kota itu jauh lebih besar daripada yang saya bayangkan. Sudah ada hotel yang
sangat baik. Nama-nama jalan ditulis dengan huruf Latin dan Arab, menandakan
budaya Melayu-nya sangat kental. Kelentengnya lebih dari 20 buah, menandakan
masyarakat Tionghoa-nya sangat dominan.

Selatpanjang tidak memiliki sumber air minum untuk penduduknya. Air didatangkan
dengan kapal atau menunggu saja air hujan. Pembangunan instalasi penjernihan air
itu menjadi sangat vital. Dengan gas lima sendok tersebut, tahun depan kota yang
hanya 1,5 jam perjalanan speedboat dari Singapura itu akan terang benderang.

Pukul 05.00 saya sudah menuju dermaga lagi untuk meneruskan perjalanan ke
Kabupaten Siak. Itulah kabupaten yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Siak,
yang peninggalan istana dan sekitarnya masih terawat dengan baik. Kota Siak
sendiri sudah diperbarui dengan gegap gempita. Ekonominya sangat maju. Bulan
lalu sudah dibuka hubungan feri langsung dari Siak ke Melaka di Malaysia.

Tata kota Siak yang baru itu sangat rapi. Di tengah kota dibiarkan ada hutan
kota seluas 30 hektare. Jembatan besar yang megah dan indah dibangun untuk
menyatukan dua sisi kota yang terbelah oleh Sungai Siak yang lebar itu.
Jalan-jalan rayanya dibuat kembar. Lampu-lampu penerangan jalannya dibuat indah
dan masif. Tapi, lampu-lampu tersebut tidak pernah menyala. Tidak ada listrik
untuk menghidupkannya.

Kepada wakil bupati Siak yang menjemput saya di dermaga saya ceritakan bahwa PLN
juga sedang mengemis gas barang lima sendok untuk kabupaten itu. Siak yang kaya
gas tentu tidak pantas kalau gelap gulita.

Saya kembali menghubungi BP Migas. Sekali lagi, sebagaimana di Bintuni, Rengat,
dan Selatpanjang, di Siak pun BP Migas mendukung. Dengan lima sendok gas itu
Joko Abunaman, pimpinan PLN Riau, akan membangun pembangkit listrik 25 mw untuk
Kota Siak dan sekitarnya. Bupati Siak pun, Syamsuar, terlihat sangat senang.
"Sarapan dulu di sini" katanya melalui telepon saat saya masih dalam
perjalanan dari Selatpanjang. Kami pun singgah ke rumahnya untuk makan pagi.
Kalau gas lima sendok itu benar-benar tersedia, tahun depan Siak sudah terang
benderang. Diesel-diesel kecil di berbagai kecamatan bisa dimatikan.

Masih banyak yang akan dibangun di Riau. Kini sudah ditenderkan pengadaan
pembangkit listrik 100 mw di Duri. Akhir tahun depan proyek tersebut selesai. Di
luar itu masih ada proyek PLTU 2 x 110 mw, yang kini pemancangan tiang
fondasinya sedang dikerjakan. Untuk PLTU yang sama besar, sedang disiapkan
tanahnya di Dumai. Bahkan, untuk PLTU yang lebih besar lagi, 2 x 300 mw di
Peranap, sudah selesai tendernya.

Ayam memang tidak boleh mati di lumbung padi. Kecuali, kita memang tega
mencekiknya. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN


________________________________

Catatan lain dari CEO PLN, Dahlan Iskan
Subject: PLN CEO' Note - An Inspirations
Betapa relatifnya sebuah kekuasaan!!!

Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh karyawan PLN. Inilah cara
Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh
karyawannya. Surat itu diberi nama CEO' Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN
yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan
keinginan pimpinan puncak perusahaan.Setiap kali CEO'Note terbit, banyak
tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan.
Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang "baru"
enam bulan. Ada yang bilang "sudah" enam bulan.
Betapa relatifnya waktu!!
Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya
tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja
Dirut PLN.
Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit
lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai
bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja
itu merupakan tanda awal bahwa "hati"nya orang lain yang sekarang saya pakai ini
mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.
Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang
tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplan
yang masih harus saya minum setiap hari.
Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah siang, ketika rapat penting yang
telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri!!!
Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang sudah
berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, saya
tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik.
Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun
kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya bisa
dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak ke
mana-mana.
Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus
berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak
bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan
selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau
permintaan ceramah. Semua saya hindari.
Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar
se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga
bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang
bisa saya hadiri.
Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya kurang
gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan
malam. Itu tentu tidak baik.
Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya
terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status saya
tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus
tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, saya putuskan ini:
berangkat kerja berjalan kaki saja.
Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah
saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan
Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan supaya dianggap
sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga
sambil menghirup CO2.
Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas
jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun.
Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya
ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.
Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang
1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak
rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian
biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.
Betapa relatifnya jarak!!!!
Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul
07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa
relasi PLN lainnya.
Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu
jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk
mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya
tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya.
Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.
Betapa relatifnya uang!!!!
Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali
di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk
mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.
Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan
kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang
menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat.
Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.
Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN.
Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi
perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada
pada mereka adalah muara.
Begitu banyak Ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau
toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini,
di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya
almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh!!!
Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu
siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang
rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan
saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat
biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.
Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.
Betapa relatifnya tempat!!!
Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa
sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih
atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.
Betapa relatifnya jiwa!!!
Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di "kursi"
direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak
sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah
membaca surat masuk.
Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung
didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu
ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa
harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas
menjawabnya?
Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima
surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali
pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang
harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau,
beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi - sekadar untuk menunjukkan bahwa
saya atasan mereka?
Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang
sangat jarang saja. "Mengapa" saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya
saya yang "tahu" persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi
seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat?
Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu "pabrik petunjuk"?
Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada
tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca
surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa
yang terbaik yang harus dilakukan.
Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari
universitas- universitas terbaik negeri ini ? Bukankah karyawan PLN itu,
doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka
sudah sangat berpengalaman - melebihi saya?
Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.
Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi
arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi
besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang
yang terlalu sering diberi "pidato" kelak hanya bisa "minta petunjuk".
Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari
universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali
kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada
mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung
jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah
pengecualian.
Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena
itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di
kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan saya tidak enak.
Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.
Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena
dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu.
Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.
Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum
tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.
Betapa relatifnya sebuah kekuasaan..
Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?
Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh
Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi
kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan,
Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan
14!  Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering
redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah
itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20!.
Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada
yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang
baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena
bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah
direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau
menurunkan TDL?
Betapa relatifnya kepuasan!!!

Tidak ada komentar: