Jumat, 11 November 2011

Ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan Dan Spekulasi Pasar
Senin, 17 Oktober 2011 | Editorial Berdikari Online

Pada bulan Juni lalu, Menteri pertanian negara G-20 berkumpul di Paris,
Perancis. Mereka membahas masalah yang cukup rumit: keamanan pangan dan
harga yang terus meroket. Salah satu persoalan yang jadi pokok
pembahasan adalah soal pengaruh aksi-aksi spekulatif di pasar komoditas
terhadap harga pangan dunia.

Perdebatan ini sudah berkecamuk sejak tahun 2008, saat kenaikan harga
pangan dunia memicu kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah negara. Saat
itu, mereka memperdebatkan membanjirnya uang di pasar komoditas global
sejak tahun 2003.

Pada tahun 2008, berdasarkan catatan PBB, lonjakan harga pangan
menyebabkan ratusan juta orang terjerumus dalam kemiskinan. Sementara
kenaikan harga pangan tahun ini (2011) menyebabkan 44 juta terseret arus
kemiskinan. Lalu, menurut sumber yang sama, kenaikan harga pangan pada
tahun 2009 menyebabkan satu milyar orang, atau seper-enam, penduduk
dunia, terus diintai oleh kelaparan.

Para pejabat PBB sendiri langsung menuding aksi spekulasi di pasar
sebagai penyebab melonjaknya harga pangan berkali-kali lipat. Jean
Ziegler, salah seorang pejabat PBB saat itu, menunjuk hidung sejumlah
perusahaan ekuitas telah mengambil banyak keuntungan dari
"kelabilan" harga pangan dunia.

Selain itu, seperti dilaporkan majalah Independent Inggris, korporasi
agrobisnis global juga turut meraup keuntungan sangat besar dalam
situasi itu. Sebut saja: Monsanto, salah satu pemain terkuat di
agrobinis, dilaporkan menerima kenaikan keuntungan tiga kali lipat sejak
tahun 2007. Sementara keuntungan Cargill, korporasi raksasa milik
Amerika Serikat lainnya, tiba-tiba melonjak 86% pada periode yang sama.

Harga pangan dunia sekarang banyak ditentukan oleh segelintir orang di
Chicago, Amerika Serikat. Di sebuah gedung bernama Chicago Board of
Trade (CBOT), bursa berjangka tertua didunia yang berdiri sejak 1848,
harga komoditi pertanian di seluruh dunia banyak ditentukan.

Padahal, orang-orang disana bukanlah petani, bukan pula pejabat yang
terlibat dalam merumuskan kebijakan pertanian, melainkan para pengusaha
dan spekulator yang menentukan harga berdasarkan prediksi musim,
bencana, gagal panen, dan lain sebagainya.

Apa bahanya bagi Indonesia?

Situasi ini jelas sangat berbahaya bagi Indonesia. Sejak tahun 1999
hingga sekarang, pasar pangan di Indonesia sudah terkoneksi dengan pasar
pangan global. Saat ini, gara-gara pemerintah sangat tunduk pada resep
neoliberal, hampir semua kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan
melalui impor.

Kita sekarang benar-benar sudah menjadi negara importir pangan: antara
tahun 1998-2001 kita menjadi negara importir beras terbesar di dunia;
dan kini setiap tahun kita impor gula 40 persen dari kebutuhan nasional;
impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; impor satu juta
ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70
persen kebutuhan susu.

Situasi itu juga telah membawa konsekuensi lebih buruk: sektor pertanian
di dalam negeri sudah hancur lebur. Pemerintah juga terlihat
"sengaja" mengabaikan sektor pertanian, demi menyambut proposal
korporasi-korporasi pangan global. Total impor pangan kita sudah
mencapai Rp 45 triliun.

Kita benar-benar berhadapan dengan situasi sulit di masa depan: kita
semakin bergantung kepada impor pangan untuk memberi makan 230 juta
rakyat kita, sementara harga pangan global ditentukan
"seenaknya" oleh segelintir tangan dan melalui spekulasi. Ini
sama saja dengan menyerahkan leher kita untuk dibunuh.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Tidak ada komentar: