Selasa, 29 November 2011

Perang Psikologis Imperialis


Selasa, 22 November 2011 | Editorial Berdikari Online

Kolonialisme akan selalu mencari segala cara untuk tetap bertahan lama.
Salah satu cara yang ditempuh adalah proses dehumanisasi; rakyat jajahan
dihancurkan karakternya, dijauhkan dari akar budayanya yang progessif,
dan dibutakan dari akar historisnya. Ujung dari proyek ini adalah
penaklukan kesadaran dan penghancuran kebudayaan.

Dalam aspek psikologis, muncul perasaan minder atau rendah diri di
kalangan rakyat yang terjajah. Kolonialisme menyebarkan berbagai
propaganda untuk menunjukkan bahwa rakyat di negeri jajahan tidak bisa
bertahan hidup tanpa bergantung dari kolonialis. Muncul perasaan
inlander di kalangan pribumi.

Karena itu, ketika berusaha membangkitkan gerakan untuk menuntut
kemerdekaan, para pendiri bangsa kita berussaha membunuh "perasaan
rendah diri" itu. Bung Karno dan Bung Hatta–keduanya aktif di
Partai Nasional Indonesia (PNI)–berusaha membangkitkan sikap
"self-reliance" (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan
"self help" (jiwa berdikari) di kalangan rakyat Indonesia.

Begitu Indonesia secara formal sudah merdeka, para pendiri bangsa pun
masih terus-menerus membangkitkan "jiwa self-reliance" dan
"self help" ini. Salah satu bentuknya adalah penyusunan
konstitusi, yakni UUD 1945, yang benar-benar anti segala bentuk
penjajahan. Para pendiri bangsa juga terus-menerus berusaha menyakinkan:
setiap bangsa punya jalan sendiri menuju cita-citanya. Tidak mesti harus
menuruti atau mengekor pada jalan bangsa lain. Bangsa Indonesia harus
merumuskan jalannya sendiri.

Tetapi, meskipun Indonesia sudah merdeka secara formal, kolonialisme
belum sepenuhnya terlikuidasi. Bahkan, pihak kolonialis terus-menerus
melancarkan perang psikologis untuk menghalangi bangsa Indonesia
membangun negerinya secara berdikari.

Salah satu bentuk perang psikologis itu adalah bahwa bangsa Indonesia
lebih rendah derajat ekonominya: Indonesia belum punya kapital yang
cukup, bangsa Indonesia belum memiliki tenaga ahli yang hebat, bangsa
Indonesia belum punya teknologi, dan bangsa Indonesia belum bisa
mengatur rumah tangganya sendiri.

Karena itu, menurut propaganda asing itu, bangsa Indonesia jangan
memutus hubungan dengan kapital asing dan uluran tangan negeri-negeri
imperialis. Bahkan, di kalangan bangsa kita sendiri ada yang
menganjurkan agar kekayaan alam sebaiknya diserahkan kepada kapital
asing untuk mengelolahnya. Pasalnya, menurut mereka ini, bangsa
Indonesia belum punya kapital dan kecapakan untuk mengelola sendiri
kekayaan alamnya.

Bung Hatta pernah mengeritik pedas pendapat-pendapat semacam itu. Wakil
Presiden RI pertama ini menyebut mental semacam ini sebagai
"economische minderwaardigheid", suatu penyakit rendah diri
dalam perekonomian. Bung Hatta menganggap hal itu sebagai salah-satu
bentuk senjata psikologis kolonialisme untuk menaklukkan
"semangat" bangsa kita untuk membangun perekonomian sendiri.

Perasaan semacam itu juga masih nampak sampai sekarang. Ini terutama
terjadi di kalangan pemerintah kita yang memang bermental inlander dan
sebagian besar intelektual kita yang sebagian besar otaknya diracuni
oleh teori barat.

Sebagai contoh: ketika ada seruan untuk melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Tiba-tiba pemerintah yang
bermental inlander dan intelektual pro-barat ini angkat bicara:
"Jangan! kita belum punya kapital, teknologi juga belum kita punyai,
dan bangsa kita belum punya kecakapan untuk menjalankan perusahaan asing
itu."

Mereka-mereka ini lebih takut jikalau modal asing "kabur" dari
Indonesia dibanding ratusan juta rakyatnya terperosok dalam kemiskinan.
Mereka pun menganggap biasa perampokan kekayaan alam kita oleh pihak
imperialis sebagai "harga yang harus dibayar" untuk berjalan di
belakang negeri-negeri imperialis itu.

Jika Evo Morales, Presiden Bolivia yang berfikiran anti-imperialis itu,
punya alur berfikir seperti pemerintah Indonesia dan ekonom-ekonom
didikan barat itu, mungkin rakyat Bolivia tidak akan mendapat keuntungan
apa-apa dari kekayaan alam mereka. Tetapi karena Evo Morales berani
mengeluarkan dekrit nasionalisasi kepada perusahaan-perusahaan asing
itu, Bolivia pun berhasil menaikkan penerimaannya dari eksplorasi sumber
daya alam. Keuntungan itulah yang dipergunakan untuk membiayai
pembangunan, pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, dan lain-lain.

Indonesia bangsa yang besar dan modal nasional yang besar pula. Kalaupun
kita belum sanggup melakukan nasionalisasi 100%, tetapi setidaknya kita
bisa berdaulat terhadap seluruh kekayaan alam kita: kita bisa menaikkan
pajak/royalti yang mesti dibayar oleh perusahaan asing yang mengelola
kekayaan alam kita, bisa memaksa pihak asing tidak boleh mengekspor
bahan mentah sebelum kebutuhan domestik terpenuhi, bisa memaksa
perusahaan asing melakukan alih-teknologi, bisa memaksa pihak asing
menghormati hak-hak pekerja Indonesia, dan lain sebagainya.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Tidak ada komentar: