Jumat, 11 November 2011

Semangat 10 November 1945

Melanjutkan Semangat `10 November 1945'
Kamis, 10 November 2011 | Editorial Berdikari Online

10 November 1945. Ahli-ahli sejarah mengingat peristiwa itu sebagai
peristiwa heroik dan revolusioner. Pada hari itu, rakyat Indonesia
memberikan perlawanan hebat kepada agressor/kolonialis yang baru saja
tampil sebagai "pemenang" dalam perang dunia ke-II.

Tetapi sejarah 10 November 1945 bukan sekedar cerita heroik, bukan pula
sekedar cerita tentang pengorbanan, tetapi juga tentang semangat mau
merdeka sepenuh-penuhnya dari segala bentuk penjajahan. Berpuluh-puluh
ribu orang rela menjadi tulang-belulang demi menghirup lebih banyak
kemerdekaan. Tidak sedikit diantara mereka adalah rakyat jelata: tukang
becak, bakul bakso, bakul tahu, penjual rombengan, dan lain-lain.

Kini, 66 tahun setelah proklamasi kemerdekaan dan peristiwa 10 November
1945, kita menghadapi situasi yang relatif sama: sebagian besar rakyat
kita masih terbelenggu dalam kemiskinan, sebagian besar ekonomi nasional
kita masih dikangkangi oleh asing, sebagian besar kehidupan ekonomi dan
politik kita masih ditentukan oleh pihak asing dan bukan oleh bangsa
kita sendiri.

Cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur,
makin menjauh dari pangkuan mayoritas rakyat Indonesia. Kata
"merdeka" hanya menjadi slogan dan ungkapan kosong tanpa makna
di tengah lautan rakyat yang tetap saja miskin dan terhisap. Peringatan
hari pahlawan pun semakin berjarak dengan cita-cita mulia para pahlawan.

Bung Karno selalu mengatakan bahwa kemerdekaan hanyalah "jembatan
emas" menuju masyarakat adil dan makmur. Karena itu, dengan
mengikuti kata Bung Karno, tugas kita adalah membawa seluruh rakyat
Indonesia meniti di atas jembatan emas itu menuju masyarakat adil dan
makmur.

Tetapi analogi jembatan emas itu sendiri hanya merupakan penjelasan
tentang sebuah proses, yaitu revolusi. Di dalam Indonesia merdeka, tugas
kita adalah menjalankan atau melanjutkan revolusi itu, yaitu menjebol
segala yang menghambat kemajuan dan membangun landasan untuk masyarakat
masa depan.

Boleh dikatakan bahwa jembatan emas kemerdekaan itu sudah runtuh
sekarang. Proses membangun masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik
benar-benar terhenti di tengah-jalan. Penyebabnya adalah penghianatan
para pemimpin atau penyelenggara negara yang sengaja menelikung dari
cita-cita kemerdekaan.

Para pendiri bangsa, misalnya, menggariskan bahwa Pancasila dan UUD 1945
adalah pegangan hidup bangsa Indonesia dalam perjuangan mencapai
cita-cita nasionalnya. Tetapi, dalam praktek kemudian, para pemimpin
nasional sekarang justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.

Para penyelenggara negara, dari sejak orde baru hingga sekarang ini,
justru berpegang kepada faham dan sistem yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Orde baru kemudian mengundang kembali
kolonialisme di Indonesia. Sementara pemerintahan pasca reformasi telah
mengubah tatanan ekonomi dan politik Indonesia menjadi liberal.

Sejak kebangkitan kaum pergerakan hingga penyusunan konsepsi negara
Indonesia merdeka ini, Indonesia masa depan sudah dirumuskan adalah
masyarakat yang bisa saling bekerjasama untuk mencapai kemakmuran
bersama. Karenanya, hampir semua pendiri bangsa menentang
neo-kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Sebab, semua sistem
(stelsel) itu bertentangan dengan cita-cita Indonesia masa depan.

Oleh karena itu, untuk kembali kepada cita-cita proklamasi kemerdekaan
dan semangat 10 November 1945, maka sudah saatnya kita membangkitkan
semangat rakyat untuk melawan neo-kolonialisme dan kapitalisme.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

Tidak ada komentar: