Assalamu'alaikum wr wb,
Antara Berbakti Kepada Orang Tua dan Taat Kepada Suami
Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah
orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah
menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap
dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati
suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah
telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا
نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا
غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita
yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan
(menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau
bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga
hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan
puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka
ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang
lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka
dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas
mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ
أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ
مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ
وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang
lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang
yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya
dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku
berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut
suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian
si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya
ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ
تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ
تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ
أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang
yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada
suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah
dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju
gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban
dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ
فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ،
فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
.فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ،
فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ
لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ
رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa
yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya)
sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk
melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau
lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk
sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia
menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam
keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh
menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka
si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia
sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ
تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى
تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si
istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan
marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri
sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi
istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah
perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian
melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak
dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan
izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah
ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di
mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga
batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya,
sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk
menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib
menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua
orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si
wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati
ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau
membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya
dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi
kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar
si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah
satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila
ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih
Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya
memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya,
jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari
membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari
perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib
baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun
yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya
maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua
orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya
untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun
rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya
dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang
istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam
perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu
seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul
Fatawa, 16/381-383).
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan
An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي
تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي
نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita
(istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang
menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya
bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam
perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang
dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan
Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55),
dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam
Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula
Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima'. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid),
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan
Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad
namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah
pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang
memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal
Li'an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali'at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055,
dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan
Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat
secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi
berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat)
dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq
wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”
Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=754
===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar