Rabu, 24 November 2010

Menggugat Neoliberalisme

Dijajah 'Obat Farmasi'-nya Amrik
Sebelum menelan isi artikel, baca dulu pernyataan Duta Besar Amerika untuk
Indonesia, Scot Alan Marciel di sini.
http://www.thejakartaglobe.com/business/business-is-good-but-could-be-better-says-us-envoy/407088

Ada krisis besar lapangan pekerjaan di Amerika belakangan ini. Dan jika laporan
sebuah koran Jakarta dua pekan lalu bisa dipegang, Duta Besar Amerika Serikat
untuk Indonesia nampaknya menemukan sebuah solusi cerdas atas permasalahan dalam
negeri Amerika itu : ‘membawanya ke Indonesia dan mendesak pemerintah menanggung
sebagian ongkosnya’.

Dua tahun ketegangan Departemen Kesehatan dan kongsi raksasa farmasi asing. Inilah ceritanya. Sebuah kisah yang menghidupkan kembali dua tahun ketegangan antara Departemen Kesehatan dan kongsi raksasa farmasi asing.


Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan The Jakarta Globe, Duta Besar Scot Alan Marciel mengatakan dia ‘kecewa’ dengan hadirnya ‘aturan’ yang mengharuskan perusahaan farmasi asing mendirikan pabrik peracikan obat di dalam negeri. “Ini isyarat proteksionisme”, katanya. “Buruk bagi iklim investasi”, katanya.

Dia juga mengatakan telah ‘berbicara’ dengan sejumlah pejabat di level  kementrian namun sejauh ini belum menemukan titik temu.

“Persoalannya”, kata Marciel, “bagi banyak perusahaan … tak menguntungkan secara ekonomi memproduksi obat-obatan di setiap negara dimana mereka berjualan. Aturan itu menggerus skala ekonomi usaha. Ini kondisi proteksionisme yang berbahaya, saya kira”.

Setidaknya ada 10 perusahaan farmasi Amerika Serikat yang beroperasi di  Indonesia saat ini. Termasuk di antaranya Pfizer dan Merck, dua raksasa farmasi di Wall Street sekaligus lumbung uang partai politik di Amerika.

Di Indonesia, mereka memperebutkan pasar farmasi yang angkanya ditaksir US$ 3,9miliar pada 2011. Angka yang besar untuk kompetitor yang sedikit : kurang dari100 perusahaan farmasi.

Tahun demi tahun dalam beberapa dekade terakhir, praktis tak ada kendala bagi operasi perusahaan ini di Indonesia. Lewat anak usaha di Indonesia, mereka leluasa mengimpor obat-obatan dari pabrik mereka di Amerika lalu dipasarkan di sini.  Sebuah kegiatan bisnis yang menggiurkan. Ladang kerja yang seolah tak berkesudahan untuk publik di Amerika.

Mimpi buruk mereka mulai hadir pada 2008. Menteri Kesehatan saat itu, Siti Fadilah Supari, mengeluarkan sebuah aturan yang mengharamkan mereka berbisnis dengan cara lama –mengimpor dan berjualan obat impor di Indonesia– sampai mereka mendirikan pabrik peracikan obat di dalam negeri.

Tujuan aturan itu mulia, kata Menteri Siti Fadilah : ’agar terjadi alih teknologi, investasi farmasi meningkat plus membuka lapangan kerja baru di Indonesia’. Aturan memberi waktu tenggang dua tahun bagi perusahaan farmasi asing untuk menyiapkan pabrik peracikan obat. Alternatifnya, jika pendirian pabrik dirasa berat di ongkos, pemerintah memberi keleluasaan bagi perusahaan farmasi asing untuk bermitra dengan pabrik obat yang sudah ada di Indonesia.

“Jika perusahaan farmasi asing itu ingin mendapat izin (berjualan obat impor di Indonesia)”, kata Menteri Siti Fadilah ke Dow Jones Newswires saat itu, “mereka harus berinvestasi (mendirikan pabrik peracikan) di sini, dan tak sekadar mengambil untung dari pasar Indonesia. Mereka tak boleh lagi beroperasi layaknya
perusahaan kelontong di sini, dengan sebuah kantor ukuran tiga kali tiga meter tapi mendulang keuntungan miliaran rupiah. Itu tak adil”.


India dan China telah menerapkan aturan serupa, kata Menteri Siti Fadilah.Lewat aturan baru itu, dia nampaknya ingin meniupkan nafas baru di sektor farmasi. Minimnya investasi termasuk salah satu faktor utama kenapa 98% bahan baku obat-obatan di Indonesia saat ini masih diimpor.

Sebuah ironi besar yang menyebabkan harga obat selalu tinggi.


Kongsi perusahaan farmasi asing di Indonesia meradang dengan aturan baru itu. Pabrik baru berarti ongkos baru dan kemungkinan berimbas pada tenaga kerja di Amerika. Pabrik baru berarti transfer teknologi dan suatu saat Indonesia bisa  jadi mandiri dalam produksi obat-obatan.

Nada-nada ‘ancaman’ hengkang dari Indonesia bahkan sempat terdengar kala itu.  Sesuatu yang segera ditanggapi oleh Menteri Siti Fadilah. “Kalau mereka mau  angkat kaki, silahkan saja. Aturan baru ini akan memberikan perlakuan adil ke  perusahaan farmasi yang telah berinvestasi dalam pendirian pabrik peracikan obat   di Indonesia”.

Lobi perusahaan farmasi asing tak pernah berhenti sejak keluarnya aturan itu.  Bahkan setelah Siti Fadilah ‘terdepak’ dari kabinet.

Tapi hingga November ini, saat pemerintah semestinya mulai menerapkan aturan   tersebut, usaha mereka gagal. Scot Alan Merciel nampaknya jadi harapan terakhir   kongsi farmasi asing itu. Dalam unek-uneknya di The Jakarta Globe, Marciel cerita kalau penerapan aturan  itu bisa ‘membawa membawa konsekuensi yang tak diinginkan’ bagi Indonesia.

“Hukum dan regulasi dirancang dengan ide menciptakan lebih banyak bisnis di sini   atau menciptakan lebih banyak lapangan kerja, tapi seringkali aturan yang ada  justru membuat investor (asing) angkat kaki”, katanya.

Tak begitu jelas konsekuensi besar yang harus ditanggung Indonesia, selain   kaburnya investor asing. Tapi di wawancara yang sama, Marciel sempat menyebut  ‘dampak bantuan Amerika’ untuk Indonesia.

Dia bilang pemerintahnya telah berkomitmen memberikan hibah US$ 165 juta di  sektor pendidikan dan US$ 140 juta untuk ‘isu-isu lingkungan’ ke pemerintah   Indonesia. Hibah itu bukan ‘investasi atau utang yang harus dikembalikan’, katanya.


Dimana-mana hibah memang tak harus dikembalikan. Tapi jika untuk kelancaran dana   hibah itu pemerintah Indonesia harus mengalah pada keinginan perusahaan farmasi  asing, bantuan itu sebenarnya setali tiga uang dengan utang luar negeri.

*

Kisah Besar Penjual Obat dan Diplomat Amerika
http://politikana.com/baca/2010/11/23/kisah-besar-penjual-obat-dan-diplomat-amerika.html

***



Dulu hanya ‘KOELI’ sekarang pun tetap hanya ‘BOEROEH’,
akan tetap menjadi  suratan takdir bangsa ini jika kita tetap bertekad menerapkan mazhab politik  ekonomi Neoliberalisme.

Tanya : Transaksi Ekonomi itu merupakan bagian dari Hubungan Sosial ataukah sebaliknya ?.
Jawab : Dulu Transaksi Ekonomi hanya satu bidang saja dari banyak Hubungan Manusia, sekarang sebaliknya, hubungan persahabatan pun makin dikuasai Kalkulasi  Ekonomi.

Tanya jawab diatas mungkin dapat dijadikan deskripsi ringkas dan sederhana untuk  menggambarkan secara sekilas tentang apa yang disebut sebagai ‘Neo-Liberalisme’,  sebuah ‘isme’ yang telah menyusup ke semuaaspek kehidupan kita, tanpa kita  sadari dan bahkan tanpa sempat kita memikirkannya. Tentu saja, penerapan  filsafat transaksi ekonomi dalam semua relasi sosial dari gagasan  Neo-Liberalisme ini memiliki implikasi yang sangat jauh dan mendalam di bidang  ekonomi-politik dan keadilan sosial dalam tata kemasyarakatan.

Jantung dari gagasan ekonomi-politik Ordo Neo-Liberalisme adalah argumen bahwa  pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu juga hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep Homo Economics, yaitu barang/
jasa/modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga Private Property pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat sebesar-besarnya.

Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik. Kalkulasi ekonomi ditempatkan sebagai satu-satunya kunci untuk mendekati semua masalah dan persoalan, maka terjadilah berbagai pemindahan regulasi dari lingkup arena  sosial menjadi lingkup urusan personal saja.

Apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial yang merupakan persoalan negara   dan membutuhkan kebijakan sosial/welfare system seperti kemiskinan, kekurangan  gizi, pengangguran, dan sebagainya- kemudian dianggap hanya menjadi masalah  individual/personal semata yang hanya membutuhkan kebijakan individual self-care   saja.

Dalam hal private property yang berkaitan dengan kekuasaan pasar atas sektor publik, inilah yang  membedakan konsep ekonomi-politik Ordo Neo-Liberalisme dengan konsep awal dari gagasan liberalisme
yang diusung dalam konsep ekonomi-politik Ordo Liberalisme Klasik.

I. ORDO LIBERALISME KLASIK.

Sebuah kelompok para ahli hukum dan ekonomi yang tergabung   dalam Mazhab Freiburg, antara tahun 1928-1930, mengembangkan sebuah  gagasan ekonomi-politik yang kemudian luas dikenal sebagi gagasan
ekonomi-politik Ordo Liberalisme. Untuk membedakan dengan gagasan Liberalisme  yang kita kenal dewasa ini, Ordo Neoliberalisme. Maka untuk selanjutnya gagasan  mazhab Freiburg ini disebut sebagai OrdoLiberalisme Klasik”.

Gagasan utama Ordo Liberalisme Klasik adalah Ekonomi Pasar Sosial atau Soziale  Marktwirtschaft / Social Market Economy, yaitu sebuah sistem ekonomi bebas yang  disertai dengan berbagai regulasi yang diciptakan untuk menjaga agar kinerja  pasar tetap kompetitif dan adil, serta untuk mencegah konsentrasi kekuasaan
ekonomi, yang biasanya terjadi dalam bentuk kartel/trust/perusahaan raksasa.

Landasan dasar pemikiran konsep ekonomi-politik Ordo Liberalisme Klasik,  yang pertama adalah gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi.

Konsep pasar/market dilihat sebagai salah satu dari berbagai macam model  hubungan sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah suatu gejala alami seperti  gempa bumi atau musim semi, misalnya. Dalam gejala alami tersebut, bahkan  sendainya tidak ada manusia sekalipun maka hukum-hukum alaminya itu akan tetap
berlaku.

Oleh karena pasar bukanlah gejala alami, maka pasar dapat diciptakan dan  dibatalkan menurut desain dari kehendak manusia. Tidak ada ekonomi yang  terpisah dari politik, sebagaimana tak ada politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang
bertugas menciptakan sederet kondisi bagi operasinya agar adil dan kompetitif.

Kedua, kaum liberalis klasik, menolak konsepsi sejarah yang mengasalkan  perubahan sosial hanya pada proses-proses perubahan ekonomi semata.

Proses perubahan sosial terbentuknya ekonomi-politik kapitalisme maupun  sosialisme-marxisme adalah sejarah institusional-ekonomi, dimana antara ekonomi dan infrastruktur sosial terjadi suatu hubungan sebab-akibat yang timbal-balik.

Ketiga, para pemikir liberalis klasik, menolak kinerja kapitalisme yang hanya  diasalkan pada logika modal/capital semata.

Transaksi ekonomi hanyalah salah satu bentuk dari relasi sosial manusia, oleh karenanya hubungan-hubungan sosial manusia bukanlah untuk mengabdi kepada kapitalisme, melainkan kapitalisme yang harus mengabdi untuk membantu kebutuhan  relasi sosial manusia agar berlangsung dengan adil dan kompetitif.

Kapitalisme merupakan sistem ciptaan manusia/human construct, oleh sebab itu  pastilah dapat diubah serta dimodifikasi dan desain ulang oleh manusia.

Dalam rangka proses mengubah dan memodifikasi kapitalisme itu, maka diperlukan suatu proses transformasi kapitalisme, dimana dilakukan upaya-upaya untuk  menciptakan bentuk-bentuk baru kapitalisme yang lebih sesuai dengan kebutuhan  relasi sosial manusia.

Gejala konsentrasi kekuasaan ekonomi ditangan perusahaan-perusahaan raksasa,  monopoli maupun kartel, bukanlah suatu gejala alami atau nasib alami dari sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut semata merupakan produk gagal dari suatu  strategi ekonomi-politik yang gagal, dan produk gagal itu dapat dicegah dengan
rangkaian berbagai politik kebijakan sosial/Gesellschaft Politik dalam suatu  kebijakan sistem kesejahteraan/Welfare System.

Keempat, dalam gagasan ordo liberal klasik, kebijakan sosial merupakan prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan kompetitif.

Serangkaian kebijakan sosial, mutlak diperlukan sebagai pencegah terjadinya   kesenjangan kekuasaan ekonomi yang tajam, serta untuk menciptakan dan memperluas  etos entrepreneurship dalam masyarakat, juga untuk menciptakan iklim inovasi  di segala bidang.

Kelima, kaum liberal klasik melihat soalnya tidak terletak pada  bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam konteks tata-negara yang ada,  melainkan bagaimana menciptakan tata-negara yang menjamin kebebasan ekonomi.

Dalam konsep ekonomi-politik ordo liberal klasik, negara dilihat sebagai  prasarana badan publik/public agency bagi tata keadilan masyarakat. Oleh sebab  itu, aspek-aspek komuniter dari hidup masyarakat, perlu mendapat perhatian yang  khusus.

Dari lima pokok gagasan ekonomi-politik ordo liberalisme klasik seperti tersebut  diatas, dapat disimpulkan bahwa ordo liberalisme klasik mencoba membuat  perimbangan antara kebebasan dan keadilan sosial, manusia individual dan manusia  komuter.

Gagasan ini mencoba menerobos pilihan-pilihan ekstrem antara ekonomi-politik sosialisme negara dimana berlaku sistem ekonomi komando, dengan ekonomi-politik  kapitalisme dimana berlaku sistem ekonomi yang dikuasai oleh konsentrasi  kekuasaan modal lewat perusahaan-perusahaan raksasa, kartel, dan trust.


II. ORDO NEO-LIBERALISME.
II.1. SEJARAH NEO-LIBERALISME.

Tahun 1937 -ketika Komunisme dan Fascisme melanda Eropa– Friedrich August von Hayek, ekonom Austria, menerbitkan Economics and Knowledge, yang menyatakan bahwa kapitalisme pasar bebas bukan sekedar bentukan sosial/sosial construct,  tetapi sebuah mekanisme alami untuk mengelola informasi.

Tahun 1944, kembali menerbitkan The Road to Serfdom yang menuliskan kritik keras  dan tajam terhadap sosialisme dan segala bentuk ekonomi perencanaan sentral. Dia  mengajukan gagasan tentang keunggulan Kapitalisme Pasar Bebas. Menurutnya,  dengan membiarkan jutaan individu mereaksi secara bebas, maka akan terjadi  optimalisasi alokasi modal dan kreativitas manusia serta tenaga kerja, yang tak  mungkin dapat ditiru oleh ekonomi perencanaan sentral.

Ditahun 1947, Hayek mengadakan konferensi tertutup di Mont Pelerin Swiss. Mereka  disatukan oleh keprihatinan atas munculnya gelombang kolektivisme yang melanda  Eropa. Konferensi itu membuahkan kesepakatan pada pembentukan sebuah kelompok  dengan nama The Mont Pelerin Society. Tahun 1950, Hayek hijrah ke Amerika  Serikat untuk kemudian bergabung menjadi anggota staf akademis di Universitas
Chichago. Pada saat itu, pare ekonom di Universitas Chicago seperti Milton  Friedman, George Stigler, Gary Becker, sedang getol-getolnya mengembangkan  pemikiran-pemikiran tentang pasar bebas. Friedman dikenal sebagai penentang  keras tentang campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi, gagasan dari
ekonom John. M. Keynes.

Menurut Friedman, kebijakan stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan  pengangguran dengan kebijakan investasi untuk mengungkit belanja masyarakat,  justru akan membangkrutkan masyarakat karena itu berarti kontrol pemerintah atas  peredaran uang. Menurutnya, kehidupan ekonomi masyarakat akan berlangsung baik
jika tanpa campur tangan apapun dari pemerintah, insentif individual adalah  pedoman terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Tingkat pengangguran tidak  seharusnya diatasi dengan campur tangan pemerintah, melainkan cukup diserahkan  saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas. Ia juga menyatakan bahwa hanya ada  satu tanggung-jawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba.

Tahun 1979 Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris, dan tahun 1980 Ronald  Reagan terpilih sebagai Presiden AS. Kedua tokoh ini sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor  pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi
negara. Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini terjadilah pergeseran prioritas  secara jelas, peran pemerintah secara fundamental berubah dengan cepat,  meninggalkan komitmen pemerintah dalam welfare state dan full employment dengan  lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik. Walaupun antara kedua  pemimpin ini terdapat beberapa perbedaan, Thatcher memakai moneterisme dengan
menekankan kontrol ketat atas money supply, sedangkan Reagan memakai supply-side  dengan memberikan insentif sebesar-besarnya bagi produksi.

Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka  dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak  untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan  bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga. Mereka, serempak melakukan pemotongan atas beban pengeluaran sosial dan tunjangan
kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi.

Di Amerika Serikat, abad baru dimulai dalam periode terpanjang pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah dengan angka pengangguran terkecil sepanjang 30 tahun, sekaligus surplus anggaran untuk pertamakalinya selama 42 tahun  terakhir. Perusahaan-perusahaan USA menikmati pertumbuhan yang sangat luar
biasa, dan para CEO dibayar sangat mahal atas jasanya dalam mengawal korporasi-korporasi di masa booming ekonomi. Michael Eisner bos Disney  berpendapatan 576 juta USD, Mel Karmazin sebagai bos CBS digaji sebesar 200 juta  USD pada tahun 1998. Bangsa AS menyandang gelar sebagai bangsa pedagang saham  sehari/daytrades, makin banyak rumah tangga yang berjudi dengan surplus uangnya
dan menggantungkan diri pada saham yang dianggap sepertinya bakal akan terus  berkembang.

Di Inggris, Proporsi penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri melonjak dari  sekitar separo pada tahun 1980 menjadi dua pertiga pada akhir masa kepemimpinan  Thatcher. Angka pengangguran berada pada tingkat terendah sejak tahun   1980. Kebanyakan penduduk Inggris memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan  dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Membelanjakan lebih dari 56 juta USD
untuk berlibur empat hari ke luar negeri menjadi hal biasa bagi penduduk Inggris  pada tahun 1998. Dalam satu dekade saja, jumlah pemegang saham telah melonjak  melebihi jumlah anggota serikat buruh.

Kapitalisme menjadi populer, setiap orang ingin ikut ambil bagian dalam  kesuksesan Thatcherisme dalam bidang ekonomi. Mereka yakin bahwa korporasi yang  berhasil dan tak terhambat akan membangun jalan menuju Nirwana.


II.2. NEO-LIBERALISME MERAMBAH DUNIA.

Kredo Kapitalisme Pasar Bebas -versi Anglo Amerika- dengan memanfaatkan kemajuan  dibidang komunikasi dan media telah merebak dengan cepat keseluruh dunia,  merambah wilayah-wilayah mulai dari Amerika Latin, Eropa, hingga Asia, tak  terkecuali juga seluruh benua Afrika.

Ekonomi-politik Neo-Liberalisme semakin diterima secara meluas, dan sejak itu  ada beberapa perkembangan yang amat signifikan diantaranya adalah : semakin  pesatnya internasionalisasi perdagangan dan finansial, meningkatnya kekuatan  perusahaan multinasional/perusahaan transnasional, semakin kuatnya pengaruh dan  peran institusi IMF-WB-WTO.

Sejumlah negara berkembang setelah melihat success story macan-macan ekonomi  Asia, semacam Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan, serta didorong  oleh rasa frustasi dengan fakta bahwa sedikitnya hasil yang diperoleh dari  kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar  domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Sistem ekonomi
Anglo-Amerika , berkat Washington Consensus-nya IMF, diwilayah emerging market  seperti Eropa Timur dan Afrika Selatan, pun disambut dengan hangat pula.

Sistem ekonomi Sosialisme dan Komunisme di Uni Soviet ambruk, dan telah terbukti  gagal dan mengalami kehancuran. Perusahann-perusahaan negara dijual kepada  swasta, perdagangan internasional menerobos masuk ke pasar domestik. Sistem  ekonomi Sosialisme dan Komunisme dibubarkan, subsidi atas welafare dibatalkan.

Sementara itu, China yang selama kurang lebih 30 tahun menganut sistem ekonomi  terencana terpusat, juga mulai mengurangi peran negara. Negara tak lagi memegang  monopoli atas produksi barang dan penentuan harga barang dan jasa, perusahaan  swasta termasuk swasta asing mulai bermunculan. Subsidi untuk welfare mulai  menyusut drastis.

Hanya segelintir saja negara diwilayah Asia yang tampaknya masih sedikit enggan  untuk sepenuhnya menganut konsensus baru tersebut, namun akibatnya harus meraka  bayar sangat mahal.

Menurut para penganjur Ordo Neo-Liberal, krisis Asia terjadi adalah akibat  intervensi pemerintah yang diluar batas, disamping karena maraknya praktik  kapitalisme kroni dan inefisiensi pasar. Kemudian bantuan pun diberikan melalui  IMF dengan syarat apabila mereka melakukan SAP (structural adjustment programs)
yaitu liberalisasi, deregulasi, privatisasi.

Pada periode yang sama, bantuan sebagai salah satu dari instrumen tradisional  bagi pembangunan dihapus secara bertahap oleh negara-negara maju. Tahun 1990,  volume total investasi langsung/foreign direct investment senilai 60 milyar USD,  sedangkan volume bantuan senilai 20 milyar USD. Pada tahun 1992, volume FDI  untuk pertamakalinya mengungguli volume bantuan. Kemudian terus berkembang  sehingga pada tahun 1997, volume FDI dinegara-negara berkembang bernilai lebih  dari 160 milyar USD, sementara volume bantuan hanya 40 milyar USD.

Menyusuli kesuksesan konsep Neo-Liberalisme, kini bahasa dan pola pikir konsep  itu mendominasi pola pikir masyarakat diseluruh pelosok dunia. Pahlawan-pahlawan  baru, semisal Bill Gates, Jack Welch, Lee Iacocca, Soros, dan sebagainya, sangat  dihormati dan dikagumi. Mereka tak hanya dianggap sebagai pahlawan bisnis saja,  melainkan juga sebagai pahlawan era baru, sumber resep kesuksesan kehidupan.
Dunia bisnis menjadi dunia dambaan dan menampilkan diri sebagai dunia masa  depan.

Modus dan pola pikir ekonomi yang semula hanya merupakan prinsip didunia bisnis  saja, sekarang telah menjadi prinsip bagi seluruh segi kehidupan, baik di segi  kehidupan sosial, politik, kultural, bahkan telah menjelma menjadi sebuah  ‘religi’ baru. Sebuah religi baru yang amat populer dan digemari ini secara  implisit mengajarkan suatu konsep yang menganjurkan manusia untuk sepenuhnya  menjadi homo economicus.

Homo economicus dianggap merupakan kodrat manusia yang paling natural dan paling  manusiawi, sebab pertama-tama dan terutama manusia beroperasi atas motif  ekonomi, sedangkan motif-motif lainnya datang setelah motif ekonomi dan diatur  oleh prinsip ekonomi. Maka logika konsep ekonomi-politik  Neo-Liberalisme adalah  sistem yang paling tepat untuk operasionalisasi konsep kodrati manusia sebagai
homo economicus.

Konsep homo economicus yang diusung oleh Neo-Liberalisme ini sukses merambah  keseluruh dunia dan semua lini kehidupan bermasyarakat. Konsep ini diadopsi secara total oleh pola pikir masyarakat diseluruh pelosok dunia, karena keberhasilannya mengidentifikasikan antara Neo-Liberalisme dengan sistem
kebutuhan manusia.

Di bulan Maret 2002 di Monterrey-Mexico, presiden Amerika Serikat, George W  Bush, menegaskan perlunya segera dan secepatnya menggelorakan pasar-bebas dalam  rangka National Security Strategy Amerika Serikat yang olehnya dikemas dalam  suatu prinsip moral berdasarkan kebebasan.

Kapitalisme Laissez-Faire International tampaknya telah meraih kejayaannya, dan  menyerahkan perekonomian secara sepenuhnya pada pasar bebas tampaknya memang  merupakan pilihan yang paling tepat.

Sekilas memang begitu. Namun seperti pepatah there is no free lunch. Dengan  demikian, maka harga apa yang harus kita bayar untuk itu ?.


II.3. NEO-LIBERALISME dan PASAR GLOBAL.

Pada dasarnya globalisasi ekonomi telah ada sejak jaman dahulu kala. Indonesia  misalnya, pada abad 17-an sudah menerima kedatangan VOC/Vereenigde Oostindische  Compagnie, sebuah perusahaan multinasional dari Belanda yang didukung oleh  tentara kerajaan Belanda. Kemudian selama sekian abad, VOC telah berhasil  memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa.

Pada dekade 1930-an, pasar saham paling bergengsi Wall Street ambruk, disusul  dengan kolapsnya Bank Creditanstalt Austria. Dampak resesi ekonominya pun terasa  sampai di Indonesia, yang kala itu kita menyebutnya sebagai Jaman  Meleset/Malaise.

Namun di abad 20-21 ini, memang secara intensitas, globalisasi dan integrasi  pasar uang dunia, telah meningkat sedemikian cepat merasuk kesegala penjuru  dunia. Secara spektakuler telah menciptakan hubungan keterkaitan serta saling  ketergantungan antar negara pada benua yang berbeda. Wartawan Indonesia yang tengah berada di Irak dengan secepat kilat dalam hitungan detik dapat mengirimkan berita ke kantor redaksinya di Jakarta dengan menggunkan e-mail,  teknologi teleconference bahkan dapat digunakan untuk komunikasi dua arah. Chloe Oliver di Melbourne dalam hitungan detik dapat membeli saham PT.Telkom di New  York Stock Exchange.

Skandal keuangan/financial fraud diperusahaan AS seperti WorldCom dan Enron  telah merontokkan harga saham di Wall Street yang efek berantainya menjalar  keseluruh pasar saham diberbagai belahan dunia lainnya. Krisis mata uang  Thailand yang kemudian berimbas merontokkan ekonomi negara-negara Asia termasuk  pula Indonesia.

Globalisasi endemi Avian Virus, dari Hongkong dimana komunitasnya merupakan  penikmat masakan daging Babi, telah dengan cepat merebak dan merambah ke kandang  peternak ayam kampung di pelosok desa. Pergerakan orang melintasi dunia yang  sangat intens di abad ini, telah ikut andil dalam sukses dan menduniakannya  penyakit AIDS dan penyakit kelamin lainnya.

Pertumbuhan ekonomi negara maju yang bertambah tinggi dan pertumbuhan industri  negara maju yang bertambah banyak tentunya memerlukan ekspansi untuk mencari  pasar baru.

Maka dalam rangka memperbesar pasar bagi barang / jasa hasil produksinya,  negara-negara maju kemudian berusaha memasukkan isu-isu baru kedalam WTO / World  Trade Organization. Organisasi baru ini pada tahun 1995 telah mengantikan peran  dari GATT/General Agreement on Tariffs and Trade.

Keputusan dan perjanjian yang dihasilkan oleh WTO ini bersifat mengikat secara  hukum/legal binding, sehingga mengikat anggotanya secara ketat dan disiplin,  setiap pelanggaran akan dikenai sangsi hukum.

Sektor pertanian yang berkaitan dengan pangan pun tak terkecuali, turut  diliberalisasikan WTO melalui kesepakatan-kesepakatan AOA/Agrement On  Agriculture. Perjanjian WTO di sektor pertanian, disamping AOA mencakup pula  soal TRIPS/trade related aspect on intellectual property rights/hak atas  kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan. Sejak tahun 2000, negara  anggota WTO wajib melakukan harmonisasi undang-undang nasionalnya agar sejalan  dengan kesepakatan itu.

Sehingga dengan adanya hak paten atas mahluk hidup itu, seseorang atau suatu  lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis/varietas sesuai patennya itu, dan apabila oarang lain akan memanfaatkan atau pun menjual jenis/varietas itu termasuk turunannya maka mereka harus membayar kepada pemilik  paten dari jenis/varietas itu.

Disisi lain, paten itu hanya diberlakukan untuk jenis/varietas yang baru dan  dapat digunakan dalam skala industri yang pemuliaannya dilakukan oleh pelaku  bioteknologi. Sekitar seratus perusahaan multinasional/perusahaan transnasional  yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih/pestisida/pupuk  kimia/produk pertanian/pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70%  perdagangan pertanian dunia. Monsanto/Syentega/ Astra Seneca/Novartis/Cargill  telah menguasai hampir 75% pasar global pestisida, menguasai 100% pasar global  bibit transgenik dan sekitar 25% penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi  dan royalty patennya.

Korporasi-korporasi itu menguasai dan mengendalikan perdagangan dunia. Sebagai  gambaran, salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi  raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia  nomor satu di dunia, merangkap korporasi farmasi terbesar ketiga, sekaligus
korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat, juga merupakan korporasi  penyedia benih terbesar kedua.

Selain itu juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam  mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas  produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan  paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya,  korporasi raksasa ini mengeruk keuntungan yang luar biasa.

Demikian pula diberlakukan kebijakan kompetisi/competition policy di  sektor-sektor yang semula merupakan sektor non-perdagangan seperti pada sektor  listrik, sumber daya air, dan migas. Sektor listrik, energi dan migas, yang  semula merupakan public goods dengan penguasaan dan pengendalian vertically
integrated oleh pemerintah/negara, dirubah konsepnya menjadi komoditas ekonomis  yang harganya mengikuti dinamika pasar.

Demikian juga halnya dengan sektor Sumber Daya Air, program liberalisasi sektor  sumber daya air ini terkait dengan penyesuaian dan perubahan struktural dalam  sistem pengelolaan air. Implementasi program penyesuaian ini oleh World Bank,  dikaitkan dengan skema watsal/water resources sector adjustment loan.

Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan  sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya  public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata yang patut  diperdagangkan menurut kaidah pasar yang liberal.

Implikasinya, semakin tinggi nilai ekonomi yang dihasilkan, maka bidang itu yang  akan semakin diprioritaskan. Berdasarkan prinsip dasar bahwa air adalah barang  ekonomis/komiditi yang bisa diperjual-belikan, maka didalam mekanisme pasarnya  harus menggunakan prinsip full cost recorvery, dimana harus terbebas dari segala  macam bentuk subsidi dalam bentuk apapun dari pemerintah/negara.

Sehingga keseluruhan tarifnya tentulah harus dibayar secara penuh oleh konsumen,  tentunya harus termasuk pula didalamnya unsur margin profit perusahaan pemegang  hak konsesi pengelolaan sumberdayanya.

Hukum pasar -yang sangat bisa jadi akan berubah menjadi pasar yang  oligopolistik mengingat air adalah barang yang non subtitusi- akan menempatkan  masyarakat sebagai obyek konsumen belaka sebagai akibat berlakunya prinsip  tarifikasi air.

Dengan kata lain, penyediaan air didasarkan pada kemampuan membayar, sehingga  siapa yang mampu bayar maka dialah yang akan terlayani, dan jika tidak mampu  membayar maka dengan sendirinya tidak akan mendapat suplai air.

Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan  dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli yang lazim terjadi di dunia bisnis.

Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaannya ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis atau asosiasi dari korporasi korporasi bisnis – yang dimiliki oleh pemerintah/perusahaan swasta nasional/perusahaan swasta multinasional/perusahaan transnasional.

Akhirnya, hak penguasaaan negara atas air beserta sumberdayanya menjadi dikebiri. Negara tidak lagi mempunyai hak penuh atas Beleid (perumusan kebijakan), Bestuursdaad (pengurusan), Regelendaad (pengaturan), Beheersdaad (pengelolaan), dan Toezichthoudendaad (pengawasan).

Maka setiap gugatan dan benturan kepentingan dengan masyarakat, dimana kemudian
pemerintah dianggap memihak kepentingan masyarakat yang mana hal itu dianggap
akan membahayakan kelangsungan Hak Penguasaan dan kelancaran Operasi Bisnisnya,
maka pemerintah akan berhadapan dengan perusahaan swasta nasional/perusahaan
swasta multinasional/perusahaan transnasional , di pengadilan arbritase
internasional.

Padahal disatu sisi lainnya, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
mendeklarasikan bahwa akses terhadap air adalah hak dasar bagi setiap orang.

Belanja pemerintah/government procurement untuk selanjutnya menjadi sasaran
disiplin WTO. Jika selama ini tender untuk belanja pemerintah bersifat nasional,
dengan adanya peraturan dari WTO ini, maka tender harus dibuka secara
internasional dengan mengikutsertakan perusahaan multinasional. Tentunya
persyaratan tender pun harus mengikuti standar internasional. Situasi yang
demikian menjadikan wajar jika dalam tender tersebut perusahaan-perusahaan
multinasional akan dengan mudah mengalahkan para pesaing lokal setempat.

Tujuan WTO -dalam mukadimahnya- sebenarnya untuk mencapai “fair
tade”, bukan “free trade”. Perdagangan bebas atau free trade, jelas
berbeda dengan perdagangan yang adil atau fair trade.

Menyadari fakta bahwa diantara negara-negara anggota WTO ada kesenjangan dan
perbedaan tingkat yang besar dalam hal tingkat pembangunan
ekonomi/teknologi/infrastruktur/budaya/politik/sosial/dsb. Maka di WTO dalam
konsep awal soal “fair trade” dikenal adanya prinsip “non trade concern/NTC” dan
prinsip “special and different treatment/SDT” serta prinsip “state trading
enterprise/STE”.

Prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip SDT dan NTC merupakan sebagian dari
upaya untuk mencapai “equal level of playing field”.
Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, prinsip NTC dan STE serta SDT justru
diabaikan.

Padahal fakta dengan perbedaan situasi dan kondisi yang sedemikian besar antara
negara maju dengan negara berkembang, akan sangat sulit menghasilkan suatu
kondisi keberimbangan dalam berkompetisi di pasar yang fair trade, jika tanpa
adanya suatu upaya untuk menciptakan suatu mekanisme dan ketentuan yang
memungkinkan ditegakkannya prinsip keadilan dalam mekanisme pasar tersebut.

Situasi dan kondisi “level playing field” yang berbeda jauh antar sesama negara
anggota WTO, menjadikan praktik perdagangan bebas dengan penyeragaman semua
aturan perdagangan tanpa kecuali dengan tak sedikit pun mempertimbangankan
prinsip-prinsip NTC-STE-SDT, akan membelokan perdagangan kedalam kondisi yang
tak berimbang dan tak adil. Bukan tidak mungkin malah akan menjelma menjadi
perdagangan yang bersifat menghisap.

Jika dipaksakan, maka hal ini tak ubahnya bagaikan memaksa seorang petinju kelas
bulu untuk melakukan mandatory fight melawan seorang petinju kelas berat, Ellyas
Pical melawan Mike Tyson misalnya. Atau misalnya pemain golf amatir seorang
Birokrat Pemerintah RI yang bermain dalam satu flight dengan melawan pemain golf
profesional, Tiger Wood misalnya.

Akan sangat jelas, dengan adanya fakta perbedaan “level playing field” maka yang
akan terjadi adalah suatu pertandingan yang tidak berimbang dan tidak
berkeadilan akibat peraturan yang unfair itu.

Padahal setiap birokrat-elite politisi yang sangat hobi bermain golf pun tahu
bahwa ada perbedaan kondisi“level playing field” itu, dan mensiasatinya dengan
diadakannya angka “handicap” misalnya.

Namun mengapa, mereka ketika di lapangan golf sangat memahami hal itu, tapi
ketika “di lapangan perundingan dan diplomasi yang mempertaruhkan
nasib bangsa” justru tak hirau dengan disingkirkannya
prinsip-prinsip NTC-STE-SDT dalam kebijakan yang menyangkut puluhan juta nasib
petani kita dan dunia usaha kita ?.

Perdagangan gandum dunia sekitar 80 % didistribusikan oleh hanya dua perusahaan
saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. 75 % pangsa pasar perdagangan
pisang dunia, dikuasai oleh hanya lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food,
Chiquita, Fyffes, dan Noboa.

Tiga perusahaan menguasai 83 % perdagangan kakao/coklat, demikian juga dengan 85
% perdagangan teh. Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 %
produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco, Japan
Tobacco. Tiga ratus perusahaan multinasional/perusahaan transnasional yang
didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 % aset dunia. Nilai
penjualan per tahun dari perusahaan-perusahaan itu bervariasi antara 111 Milyar
USD hingga 126 Milyar USD.
Disatu sisi lainnya saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai GDP melebihi
jumlah tersebut.

Volume penjualan mereka mencapai 2/3 dari volume penjualan perdagangan dunia,
dan disatu sisi lainnya produksi mereka merupakan 1/3 dari volume produksi
dunia. 50 % dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari
penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 % dari volume perdagangan dunia
merupakan transaksi antar perusahaan multinasional.

Produk-produk yang identik diolah untuk didistribusikan keseluruh dunia, dunia
disuguhi produk-produk yang sama, dengan merek yang sama. Atribut-atribut mereka
dipancarluaskan dalam bahasa periklanan dan media internasional keseluruh
pelosok dunia dan ditangkap melalui layar TV satelit. Permainan “Who Wants to Be
a Millionare ?”, tayangan “pesohor-pesohor dadakan” dan “idol-idola-an” telah
berhasil dan sukses menyatukan hampir 20 juta pemirsa. Sinetron
telenovela “kehidupan dunia khayangan”yang menjual “dunia harapan” menjadi laris
manis merajai top rangking peringkat rating media televisi kita.

Ketika media telah menipiskan antara kita yang berada disini dengan mereka yang
berada disana, maka kita yang disini akan mengidentikkan diri dengan apa yang
kita lihat tentang mereka yang ada disana. Perlahan tapi pasti kita yang disini
pun akan segera terbawa kedalam dunia harapan yang membawa budaya konsumsi yang
menglobal. Dan ‘Desa Global”-nya Marshall McLuhan pun akan segera terwujud. Dan
itu menunjukkan bahwa betapa sedemikian besarnya keinginan diri kita untuk dapat
ikut mengecap indahnya mimpi dunia harapan ala kapitalis.

Maka benarlah belaka bahwa “simpul yang paling sensitif” pada pikiran manusia,
yaitu pada aspek uang/dana, aspek nafsu syahwat, aspek keserakahan materi yang
tak akan pernah terpuaskan, dan jika“sesuatu” bekerja pada “simpul” itu maka
akan cukup membuat lumpuh dan terenggutnya daya prakarsa manusia, sehingga pada
hakekatnya manusia itu telah menyerahkan dan mendisposisikan kehidupan dirinya,
pada “sesuatu” yang telah memegang “simpul”-nya itu.

Saat ini kita semua pun akhirnya menjadi “haqul-yakin begitu
saja” bahwa ekonomi-politik Neo-Liberalisme adalah suatu bentuk keniscayaan yang
musti diterima dan merupakan “takdir” kepastian zaman di masa mendatang.
Selanjutnya dengan mengikuti dan mengadopsi sepenuhnya konsep ekonomi-politik
Neo-Liberalisme maka kemakmuran dan kesejahteraan akan ada dalam jangkauan
tangan kita seluruh rakyat Indonesia.


II.4. NEO-LIBERALISME dan KEMAKMURAN GLOBAL.

Seperti yang sudah dikemukakan diatas bahwa prinsip dasar dari gagasan
ekonomi-politik “Ordo Neo-Liberalisme” adalah optimalisasi pertumbuhan ekonomi
yang hanya dapat dicapai jika digerakkan oleh konsep ‘Homo Economics”, dimana
lalu-lintas barang / jasa / modal tidak dikontrol dengan regulasi apapun, serta
dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang, tanpa peran tanggung-jawab sosial
apapun juga kecuali untuk sepenuhnya mengabdi kepada akumulasi laba privat
sebesar-besarnya.

Ordo Neo-Liberalisme juga melihat bahwa hukum kekuatan pasar tidak hanya
terbatas meliputi pada soal produksi, distribusi, dan konsumsi saja, melainkan
seluruh kehidupan manusia pun harus tunduk dan mengacu kepada hukum pasar,
termasuk juga semua relasi sosial manusia adalah semata transaksi ekonomi saja.

Sejalan dengan hal itu serta berdasarkan prinsip bahwa masyarakat itu tidak ada,
yang ada hanyalah individu-individu homo economicus.

Maka dalam sudut pandang Neo-Liberalisme, orang-orang yang diupah itu bukanlah
buruh atau pegawai, melainkan para wirausahawan bebas yang bertanggung-jawab
atas keputusan dan perkembangannya diri mereka sendiri-sendiri. Upah yang mereka
terima bukanlah harga dari tenaga yang dijual, melainkan hanya merupakan
implikasi“laba” dari “modal” yang mereka punyai saja. Sama dengan para kapitalis
yang memperkerjakan mereka -para buruh, manajer, direktur, ataupun para guru-
adalah para entrepreneurs bebas yang bertanggung-jawab dan berusaha memproduksi
nilai surplus/surplus value bagi dirinya sendiri atas modal yang dipunyainya,
seperti otot/ketrampilan/pengetahuan.

Sebagaimana setiap individu adalah para entrepreneurs bebas, maka
organisasi-organisasi seperti perusahaan/departemen pemerintah/sekolah/dsb
adalah semata merupakan entrepreneurial bodies yang musti ramping, lincah, dan
lentur, dan harus mengadopsi prinsip tenaga kerja yang fleksibel/flexible labour
forces.

Dengan itu, maka soal konflik kekuasaan dan eksploitasi menjadi dikaburkan,
serta dikubur dengan santun dan rapi dalam istilah transaksi ekonomi.

Pasar menjadi tolok-ukur segalanya, termasuk untuk menilai keberhasilan dan
kegagalan atas kinerja pemerintahan dan semua kebijakannya. Manakala indeks
harga saham dan nilai tukar mata uang negara itu terhadap mata uang dollar AS
merosot, maka kepemimpinan di negara itu dinilai sebagai tidak diterima oleh
pasar, serta dinilai kinerjanya gagal.

Sebaliknya jika stabil atau malah menaik, maka dikatakan sebagai diterima oleh
pasar serta kinerja pemerintahan dikatakan berhasil, sekalipun pengangguran
meningkat/kemiskinan tidak berkurang/sektor riil tidak bergerak/dsb.

Dan karena “pasar” adalah prinsip yang mendasari negara dan
masyarakat, maka “negara” pun dianggap tidak mempunyai alasan apapun
untuk mencampuri dan mengawasi “pasar”. Sehingga apabila kebijakan negara dalam
bentuk kebijakan sosial/welfare system, dianggap mengganggu kinerja pasar, maka
kebijakan itu harus dihapus atau paling tidak harus diubah agar sesuai dengan
prinsip pasar bebas.

Implikasinya menjadikan berbagai perkara dalam hidup masyarakat hanya didekati
sebagai soal “ekonomi”saja, dan tujuan kesejahteraan bersama suatu bangsa/common
wealth pun digusur dan diganti menjadi tujuan akumulasi kekayaan
pribadi/individual wealth.
Otoritas regulatif pemerintah menyurut, karena manusia ekonomi/homo economicus
dalam konsep Neo-Liberalisme mensyaratkan pelimpahan otoritas regulatif dari
tangan “negara” ke lingkup “individu”, dari social welfare ke self care, dari
urusan negara ke tangggung-jawab pribadi masing-masing warganegara.

Masalah-masalah sosial yang tadinya merupakan tanggung-jawab negara seperti
kemiskinan, kekurangan gizi, pengangguran, dan sebagainya, diubah hanya dianggap
menjadi masalah individual/personal semata, sehingga hanya cukup membutuhkan
kebijakan individual self-care saja, tidak lagi dibutuhkan adanya suatu politik
kebijakan sosial dalam kebijakan sistem kesejahteraan/welfare system.

Sementara itu dijanjikan bahwa melalui penerapan konsep Neo-Liberalisme maka
kemakmuran global akan menjadi kenyataan lebih cepat dari yang diinginkan.

Apakah Neo-Liberalisme akan membawa kemakmuran global seperti yang dijanjikannya
?.

Jika ya, maka mengapa 1,3 milyar manusia masih hidup dengan uang kurang dari 1
USD, dan 2,8 milyar manusia lainnya harus hidup dengan 2 USD, sedangkan hanya
seperlima lainnya yang justru menikmati 80% pendapatan dunia ?.

Pada sisi lain, pertumbuhan kemakmuran material memang telah melaju dengan
tingkat pertumbuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Hal itu terjadi tidak
hanya di negara-negara industri maju, namun juga dinegara-negara yang pada akhir
perang dunia kedua masih masuk dalam kategori negara-negara miskin dunia ketiga.

Apakah memang demikian ?. Keuntungan bersih apa yang diperoleh dari kapitalisme
global dari sebuah dunia dimana kesejahteraan ekonomi dan keamanan fisik manusia
ditentukan oleh startegi dan tindakan para investor keuangan internasional dan
perusahaan multinasional ?.

Inikah tata dunia baru yang diidam-idamkan dimana negara hanya dapat menyediakan
jasa pelayanan kepada warganegaranya berupa lingkungan yang menarik bagi
perusahaan-perusahaan multinasional/perusahaan transnasional dan investor
internasional ?.
Pertumbuhan ekonomi pertama-tama tergantung pada tingkat investasi/penanaman
modal privat. Investasi bergantung pada tingkat saving/tabungan. Tabungan
tergantung pada tinggi-rendahnya income/penghasilan pribadi.

Pertumbuhan income tergantung pada akumulasi laba. Akumulasi laba -dalam
definisi perdagangan bebas- tergantung dari tingkat penjualan, yang
diperjual-belikan dapat berupa barang/jasa/modal
finansial/pengetahuan/ketrampilan/kecantikan/otot/dsb.
Soalnya kemudian adalah bagaimana jika akumulasi laba, income, tabungan,
investasi suatu masyarakat dari suatu negara miskin/negara berkembang, cukup
rendah tingkatnya ?.

Suatu negara yang sangat kaya akan sumber daya alam pun tidak akan dapat
menggali dan mengolahnya kecuali mempunyai modal awal untuk membiayai kegiatan
itu. Kunci dari masalah ini adalah suntikan modal/penanaman modal dari
negara-negara industri maju, melalui pinjaman/investasi.

Akan tetapi bagaimana mungkin akan terjadi aliran suntikan modal dari luar
negeri jika tidak ada kebebasan lalu-lintas modal/barang/jasa ?.

Dalam pertalian inilah pentingnya berbagai kebijakan deregulasi-liberalisasi
modal finansial/barang/jasa/tarif/pajak/dsb.

Apakah logika yang sedemikian rapi itu memang merupakan pola baku yang akan
terjadi ?.

Pada kasus Korea Selatan dan Taiwan, yang ketika berada pada tingkat pertumbuhan
ekonomi yang sangat tinggi ( 8% pada dasawarsa 1970-an ) justru ditandai oleh
kehadiran modal asing yang lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara
Amerika Latin yang dibanjiri modal asing namun tingkat pertumbuhannya justru
tidak setinggi Korea Selatan dan Taiwan.

Ada faktor-faktor lain yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
Korea Selatan dan Taiwan, tak sekedar karena faktor besarnya volume modal asing
saja.

Dalam perkiraan teoritis tentulah negara sedang berkembang seperti Indonesia
dengan mudah akan menarik investor asing bila deregulasi-liberalisasi dilakukan
seluas-luasnya.

Juga sesudah mengandaikan banyak faktor lain, data tahun 2000 pada skala global
justru sama sekali tidak mendukung gagasan teoritis itu. Dalam tahun 2000, 81 %
dari total investasi langsung/foreign direct investment yang dilakukan Amerika
Serikat mengalir ke industri-industri maju seperti Canada, Jepang, negara Eropa
Barat. Justru hanya 1 % yang mengalir ke negara berpendapatan miskin, dan hanya
18 % ke negara berpendapatan menengah.

Ada soal yang lebih mendasar lainnya yang ‘disembunyikan’ oleh gagasan
Neo-Liberal, yaitu kekuasaan atau power.

Deregulasi yang dikampanyekan oleh kaum Neo-Liberal sesungguhnya berisi
deregulasi pada jangkauan kekuasaan para pemilik modal dan asset finansial. Bagi
perusahaan multinasional/perusahaan transnasional, gerak mereka dalam mencari
pasar baru/sumber daya baru/bahan mentah dan bahan baku yang murah dan
melimpah/tenaga kerja yang murah, tidak akan efisien jika setiap negara masih
menggunakan beragam aturan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan
domestiknya.

Penghapusan berbagai aturan bagi operasi bisnis per definisi merupakan suatu
langkah pemberian hak istimewa dan kekuasaan yang begitu besar kepada para
pemilik modal itu.

Keluar-masuknya modal dengan bebas itu pada akhirnya akan dijadikan kartu
truf/senjata pamungkas yang secara gratis diberikan oleh pemerintahan suatu
negara kepada para pemilik modal itu.

Untuk menumpuk modal, mereka -para pemilik modal itu- tak lagi terikat aturan
lokasi produksi, sumber modal, teknologi produksi, partisipasi penduduk
setempat, dan sebagainya.

Dalam tata ekonomi Neo-Liberal, pemilik modal dengan mudah dapat menolak
tuntutan buruh amaupun peraturan pemerintah, dengan cara memboikot penanaman
modal ataupun dengan cara mengancam akan hengkang ke negara lainyya yang
mempunyai syarat lebih lunak dan memberikan insentif akumulasi laba yang lebih
cepat dan lebih tinggi.

Sejak awal 1990-an, Indonesia menjadi salah satu tempat tujuan relokasi bagi
pabrik pembuatan sepatu ber-merk. Sepatu dibuat di Indonesia atas order dan
dengan standar dari pusatnya di negara maju, dan kemudian selanjutnya diekspor
ke negara pusatnya untuk dipasarkan di pasar internasional. Sekitar 80%
merupakan order pembuatan sepatu merk Nike/Reebook/Adidas, sisanya dari merk
lain diantaranya adalah Bally/Palolo/Converse/Catepillar/Eagle/dsb.

Pada tahun 2001, produksi mencapai sekitar 460 juta pasang sepatu olahraga dan
290 juta pasang sepatu non-olahraga. Nilainya mencapai sekitar 1,6 milyar USD,
tenaga kerja yang terserap mencapai sekitar 350 ribu pekerja langsung dan
sekitar 200 ribu pekerja tak langsung.

Biaya produksi sepatu berkisar sebesar 5,60 USD per pasang sepatu olahraga,
sementara harga jual sepatu olahraga itu berkisar 40-60 USD. Tenaga kerja
Indonesia di pabrik yang menjahit sepatu olahraga bekerja dengan gaji 1,35 USD
per hari, sedangkan kontrak bintang olahraga untuk iklan sepatu itu mencapai 20
juta USD.

Akan tetapi pada tahun 2002, tampaknya industri itu meredup. Kini para pekerja
itu terancam akan kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya, menyusul
ditutupnya pabrik-pabrik itu, pindah ke China dan Vietnam. Pertimbangannya
karena upah tenaga kerja di Indonesia terus naik, disertai dengan kenaikan
berbagai tarif dan ongkos produksi. Upah tenaga kerja di China dan Vietnam lebih
murah dari Indonesia, sekitar 12 dollar USD lebih murah per bulannya.

Ditengah kenaikan berbagai ongkos biaya hidup, akankah Indonesia harus
meniadakan patokan upah minimum dan menurunkan patokan upah tenaga kerja agar
para investor asing itu tidak hengkang ke negara lain yang memberikan tawaran
lebih menarik berupa upah tenaga kerja yang lebih murah ?.

Resep mobilitas modal melalui deregulasi-liberalisasi yang serampangan itu, pada
hakekatnya akan membuat berbagai sumberdaya milik masyarakat akan berpindah ke
tangan para pemilik modal.

Kekuasaan ekonomi pertama-tama adalah berupa kemampuan yang semakin besar untuk
memindahkan hasil produksi yang diciptakan melalui keringat banyak orang, ke
tangan semakin sedikit orang, dari sumberdaya kekayaan alam milik negara, kepada
segelintir orang kumpulan pemilik modal.

Maka secara perlahan namun pasti kesenjangan income pun akan semakin besar. Data
UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan pada tingkat global,
hanya dalam waktu 5 tahun saja indikator kesenjangan sosial/gini coeficient
melonjak dari 62,5 menjadi 66,0 (dari tahun 1988 sampai tahun 1993).

1 % warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 % warga termiskin. 5
% warga terkaya menguasai 114 kali lipat income yang diperoleh 5 % warga
termiskin. Income warga terkaya di AS sama dengan jumlah income yang diterima 43
% penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di AS sama dengan
income 2 Milyar warga dunia.

Tahun 1970, 20 % warga terkaya dunia menguasai 73,2 % kekayaan dunia, sedangkan
20 % warga termiskin dunia hanya menguasai 2,3 % kekayaan dunia, kemudian ratio
income antara kalangan kaya dengan miskin sebesar 32 : 1.

Dalam waktu 19 tahun kemudian, tahun 1989, 20 % warga terkaya dunia menguasai
82,7 % kekayaan dunia, sedangkan 20 % warga termiskin dunia hanya menguasai 1,4
% kekayaan dunia, kemudian ratio income antara kaya dengan miskin sebesar 59 :
1.

Memang benar bahwa tak ada salahnya keinginan untuk menjadi kaya, dan mungkin
memang benar bahwa membuat kelompok kaya menjadi lebih miskin tidaklah akan
menjadikan kaum miskin menjadi lebih kaya.

Namun perkara “distribusi” dan “redistribusi” memang bukanlah soal bagaimana
membuat kelompok kaya menjadi lebih miskin. Tetapi perkara ini menyangkut
masalah yang lebih mendalam, lebih subtansial, ada hal yang lebih fundamental
lagi ketimbang hanya sekedar “retorika kaya-miskin”.

Hanya orang kaya yang paling mungkin dapat menabung dalam jumlah besar, sebab
mereka mempunyai income yang berlebih untuk ditabung. Sedangkan income kaum
miskin tidak akan menjadi tabungan, sebab income mereka habis untuk bertahan
hidup memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, sandang, pendidikan, dan papan.
Semata income mereka hanya untuk sekedar cukup untuk “bertahan agar tetap
hidup” saja.

Sejalan dengan sudut pandang Neo-Liberalisme bahwa orang-orang yang diupah itu
bukanlah buruh atau pegawai, melainkan para wirausahawan bebas yang
bertanggung-jawab atas keputusan dan karier serta perkembangannya diri mereka
sendiri-sendiri.

Maka upah atau gaji yang mereka terima bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang
dijual, melainkan hanya merupakan implikasi “laba” dari “modal” yang mereka
punyai. Modal mereka adalah otot, ketrampilan, dan pengetahuan.

Maka bagaimana kaum miskin akan meningkatkan “modal” mereka (otot, ketrampilan,
pengetahuan) , jika“income” yang mereka punyai tak mencukupi untuk memenuhi
standar gizi tinggi, pendidikan yang bermutu, penjagaan kesehatan yang memadai
dan pengobatan yang layak ?.

Jika “modal” yang dipunyai tak dapat ditingkatkan bagaimana pula “income” dapat
ditingkatkan ?.

Jika “income” tak dapat ditingkatkan bagaimana dapat ditingkatkan “saving” yang
dipunyai ?.

Sudah barang tentu, hal itu akan berimplikasi kepada kesenjangan yang akan
menjadi semakin tinggi.

Dan akan berdampak kepada mekanisme transformasi vertikal secara sosial ekonomi
dalam tatanan kemasyarakatan menjadi lumpuh, tak akan pernah dapat diharapkan
terjadi.

Seorang sopir taksi tak dapat lagi mengharapkan anaknya menjadi ‘orang’, menjadi
menteri umpamanya. Harapan tertinggi sopir taksi bagi anaknya, hanyalah kelak
akan menggantikannya menjadi sopir taksi juga. Ini seperti lingkaran yang tak
terputus, semacam jeratan kemiskinan yang akan turun temurun.

Mengapa bisa begitu ?.

Ya, karena sopir taksi tadi tak punya cukup “income” yang mencukupi untuk
memenuhi standar gizi tinggi, pendidikan yang bermutu, penjagaan kesehatan yang
memadai dan pengobatan yang layak. Selanjutnya tentu sopir taksi tadi tak
bisa meningkatkan “modal” mereka maupun anak mereka (otot, ketrampilan,
pengetahuan).

Maka dapat dibayangkan ketika anak sopir taksi tadi memasuki usia kerja, dia
akan menghadapi dunia kerja yang memperlakukan upah atau gaji yang akan dia
terima bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang dijual. Melainkan hanya merupakan
implikasi “laba” dari “modal” (otot, ketrampilan, pengetahuan)yang mereka
punyai.

Inilah yang disebut lumpuhnya mekanisme transformasi vertikal secara sosial
ekonomi dalam tatanan kemasyarakatan, anak sopir taksi hampir muskil bermimpi
menjadi menteri.
Berbeda halnya bagi golongan kaya, semakin tinggi income mereka akan membuat
semakin tinggi pula tingkat tabungannya. Semakin besar pula kesempatan
mengembangkan “modal” untuk akumulasi laba yang akan diperolehnya.

Kemudian pada gilirannya akan semakin tinggi pula tingkat investasi dari
kelompok mereka, yang tentu saja akan berimplikasi kesenjangan akan bertambah
semakin tinggi, sebab pertumbuhan income kaum kaya ini dilihat sebagai prasyarat
mutlak untuk investasi yang melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Tata ekonomi Neo-Liberal tidak hanya berhenti pada penerapan “pasar bebas” untuk
transaksi ekonomi saja, semua jenis hubungan sosial manusia secara keseluruhan
harus didekati dengan prinsip “pasar bebas” pula. Baik itu sektor relasi antar
pribadi dan organisasi, sektor pendidikan, sektor kesehatan. Maka tak aneh jika
kesenjangan pun tak hanya berhenti pada soal “income” saja, melainkan akan
merembet kesegala soal dan semua lini kehidupan.

Dalam soal kesehatan masyarakat, dari 1.223 obat-obatan baru yang diproduksi
antara tahun 1975-1996, hanya ada 13 jenis obat yang diciptakan untuk orang
miskin didaerah tropis.

Dalam tahun 1998, dari 70 milyar USD biaya riset perusahaan-perusahaan obat
raksasa, hanya 0,14% atau 100 juta USD yang dialokasikan untuk pengembangan obat
malaria, dan hanya 0,43% atau 300 juta USD bagi riset vaksin AIDS.

Sebagian besar biaya dipakai untuk riset obat-obatan kecantikan, kegemukan, dan
sebagainya. Kemampuan membeli/purchasing power yang tinggi dari golongan yang
akan menjadi konsumen obat-obatan kecantikan inilah yang mendasari pengalokasian
dana riset ini, karena pada gilirannya nanti kemampuan membayar yang tinggi dari
konsumen inilah yang akan menentukan kecepatan akumulasi laba
perusahaan-perusahaan obat pembuatnya.

Istilah “pasar bebas” yang terdengar santun dan indah ternyata telah dipakai
oleh kaum Neo-Liberal untuk mengaburkan suatu realitas brutal yang ada
dibaliknya.

Persoalan mendasar dari “Pasar Bebas versi Neo-Liberal” bukan pada “dinamika
kompetisi dan penerapannya di bidang ekonomi dan perdagangan” -manusia telah
beribu tahun menggunakan pasar bebas untuk memenuhi kebutuhannya dalam transaksi
ekonominya- melainkan pada penerapan “filsafat pasar bebasnya di semua lini
kehidupan tanpa kecuali”.

Penerapannya yang secara sembrono dan serampangan, termasuk disektor publik,
akan melahirkan diskriminasi terhadap mereka yang “tidak mampu menjual” dan
yang “tak mampu membeli”.

Jika semua hal yang menyangkut kebutuhan mendasar bagi hajat hidup orang banyak
hanya diperlakukan sebagai tak lebih dari sekedar komoditas bisnis semata, dan
prinsip pasar bebas pun diterapkan pada semua lini tanpa kecuali termasuk di
sektor pendidikan, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut perlindungan
dan kebutuhan lainnya yang bersifat mendasar bagi warganegaranya, maka
orang-orang kelompok rentan/vulnerable seperti yang cacat, tua, sakit, miskin,
buta-huruf, tak punya ketrampilan yang memadai menurut pasar kerja, dsb, akan
selalu ketinggalan dalam kompetisi pasar versi Neo-Liberal.

Persoalan “kaya-miskin” bukanlah hanya semata soal “individu”, soal “self care”,
soal “tangggung-jawab pribadi masing-masing warganegara”.

Ada soal yang lebih fundamental, yaitu tata struktur ekonomi-politik yang
sedemikian terstruktur sehingga situasi dan kondisinya “menjerat” dan tak akan
mampu hanya dilawan dengan kekuatan “individu masing-masing warganegara” saja.
Itulah sebabnya peran dari Pemerintahan sebuah Negara yang berkedaulatan sangat
dibutuhkan untuk men-struktur tata struktur ekonomi-politik yang kompetitif dan
berkeadilan sosial.

Bukankah tata struktur ekonomi-politik adalah human construct dan bukan gejala
alami ?, dan sebuah Negara juga sebuah human construct dan bukan gejala alami ?,
sebuah Negara terbentuk untuk mensejahterakan seluruh warganegaranya ?, sebuah
pemerintahan dipilih oleh warganegaranya untuk bekerja optimal sehingga terjamin
kesejahteraan seluruh warganegaranya ?.

II.5. NEO-LIBERALISME dan NEO-KOLONIALISME.

Dari uraian singkat tersebut diatas, maka sulit untuk menghindari dugaan dan
syak wasangka bahwa konsep ekonomi-politik Neo-Liberalisme dalam
meliberalisasikan sektor-sektor publik, pada dasarnya merupakan“kuda troya” bagi
masuknya perusahaan multinasional/perusahaan transnasional kedalam “captive
market”negara-negara dunia ketiga.

Saat ini paling tidak ada empat perusahaan air yang menguasai sektor privatisasi
air diseluruh dunia, yaitu Suez, Veolia, Thames, Sur.
Tahun 2001, sedikitnya terdapat 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK),
dengan total produksi sebesar 4,2 milyar liter. Dimana 65 % merupakan pangsa
pasarnya Aqua miliknya Danone Group dan Ades kepunyaannya the Coca Cola Company,
sedangkan sisanya yang 35 % diperebutkan oleh 244 perusahaan AMDK lokal.

Mata air Umbul Sigedang yang terletak di desa Ponggok-Delanggu-Jawa Tengah,
merupakan aset terbesarnya Aqua-Danone Group di Asia Tenggara.

Danone mengeluarkan “dana kontribusi” sebesar Rp. 1,- per liter air yang
diproduksi dari sumber air itu, total penerimaan sebesar kas desa Ponggok dari
dana kontribusi itu sebesar Rp. 15 juta / bulan.

Semenjak Danone menguasai sumber mata air itu, masyarakat petani di desa
Polanharjo, Karanganom, Ceper, menjadi berkurang pasokan debit air irigasinya
sehingga terganggu produksi dan pola tanamnya.

Menurut data FAO, peruntukan air di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 93% untuk
pertanian, 6% untuk konsumsi penduduk, 1% untuk kepentingan industri. Sedangkan
tahun 2002 porsi peruntukan untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut
menjadi 70%.
Indocement, produsen semen merk Tiga Roda dikuasai oleh Heidelberg, Semen Gresik
dikangkangi oleh Cemex, bak BCA digenggam Farallon, bank Danamon pun demikian
juga nasibnya, beralih tangan ke Temasek dan Deutche Bank. Perusahaan
telekomunikasi Indosat dan Telkomsel pun dimiliki oleh Temasek.

Walaupun ada manfaat yang dapat dinikmati dari “kemajuan dan pertumbuhan”
ekonomi, namun ada keprihatinan yang sangat mendalam dalam soal “distribusi
manfaat” tersebut.

Repatriasi keuntungan yang ditranfer ke negara mereka masing-masing diperkiran
lebih dari belasan milyar USD per tahunnya, ekuivalen sekitar sembilan puluh
trilyun rupiah per tahunnya.

Apa arti semuanya ini ?.

Een Natie Van Koelias En Een Koelie Onder De Naties. Negara Kuli dan Kulinya
Bangsa Lain.

Inilah jaman baru, jaman ketika kapitalisme menemukan matelnya yang baru, yang
lebih radikal.

Dengan dukungan teknologi dan informasi yang canggih, kekuatan Kapitalis Global
bergabung dengan Kapitalis Lokal, secara tamak bersama-sama mengeruk kekayaan
planet bumi.

Praktek Neoliberalisme tak sekedar terbatas pada tataran sektor ekonomi,
keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, energi, dan migas saja. Sektor
pertanian, pangan, kesehatan, pendidikan, sumber daya air, dan sektor-sektor
publik lainnya pun sudah mulai dirambahnya.

Bahkan saat ini sudah merambah pula ke sektor politik. Politik pun menjadi
mengikuti model ekonomi yang hanya mendasarkan analisa politik menjadi sekedar
analisa tentang “biaya” dan “manfaat” dari suatutransaksi ekonomi semata.

Suka atau tak suka, setuju atau tak setuju, kita telah terhisap masuk kedalam
sebuah tatanan dunia yang“baru”. Seolah-olah tak ada lagi pilihan kebijakan
lainnya, hanya ada satu pilihan saja yaitu Neo-Liberalisme.

Masing-masing ekonom, dengan data dan bahan yang sama, dapat membuat teori,
dalih, argumen, dan kesimpulan yang seolah-olah obyektif dan benar. Memang
terlihat tak ada yang salah, namun masing-masing itu hanya benar pada konteksnya
masing-masing, sesuai dengan model, analisa dan cara pandang, dan kepentingan
mereka, bahkan hanya sesuai dengan kepentingan yang membayarnya.

Sementara itu, kita mungkin belum sempat mengkajinya secara mendalam, bahkan
mungkin kita malah belum memahami apa yang sesungguhnya telah dan yang bakal
terjadi.

Kebijaksanaan yang sungguh arif bijaksana tak cukup hanya bermodalkan “semangat
moral” saja, hanya akan ada jika mempunyai moral dan mempunyai kapasitas yang
memadai untuk memahami latar belakang dan akar masalahnya. Serta tentunya harus
tak memiliki sedemikan kental kepentingan pribadi maupun kelompoknya, terhadap
permasalahan itu. Baik itu merupakan kepentingan politik maupun kepentingan
bisnis yang menyertainya. Apalagi “kepentingan
bisnis” para “cukong-cukong” yang “berbaik hati” telah mendanai kegiatan
politiknya.

Dalam persoalan memilih suatu pilihan kebijakan yang menyangkut politik-ekonomi,
tak dapat dinafikan, akan selalu ada dan akan senantiasa ada benturan dan
konflik kepentingan. Bahkan terkadang kita dihadapkan pada situasi yang
sedemikian sulit, karena apa yang kita anggap benar dan sesuai dengan moral hati
nurani, ternyata tak sesuai dan tak didukung oleh ketersediaan landasan data
empiris yang memadai.

Namun kesemuanya itu tentu akan kembali kepada pertanggungjawaban kita kepada
nurani kita masing-masing dan pertanggungjawaban kita pada sejarah. Dimana dalam
setiap kebijakan yang kita putuskan itu akan berpengaruh besar pada rona dan
keadaan kehidupan anak cucu cicit buyut kita pada abad-abad mendatang. Akankah
kita justru telah melahirkan embrio keterjajahan negeri ini ?.

Jika kita tak memulai dari sekarang untuk lebih arif bijaksana dalam menyikapi
dan mensiasatinya, maka “euforia membabi-buta” penerapan konsep Neo-Liberalisme
kesegala sektor tanpa kecuali, efeknya bukan tak mungkin malah akan memunculkan
pengulangan jaman kolonialisme abad kesembilan belas. Jika kolonialisme versi
lama hanya merampas tanah, maka kolonialisme versi baru akan merampas seluruh
kehidupan.

Akhirulkalam.
Masihkah…Bumi, Air dan Segala Isinya…digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
seluruh rakyat…???

Wallahu’alambishawab.

*Menggugat Neoliberalis
 http://umum.kompasiana.com/2009/05/31/menggugat-neoliberalisme/

Tidak ada komentar: