Sedekah di Kala Musibah
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Belum lepas duka kita dari banjir yang
melanda wilayah Wasior, Papua Barat, dan sekitarnya, awal Oktober lalu,
kita kembali diguncang oleh bencana yang lebih besar skalanya.
�Beruntun kejadiannya, dan kalau kita
tarik waktu dalam kurun setahun terakhir, maka hampir tidak ada bulan
tanpa bencana. Jawa Barat, Sumatra Barat, Jambi, dan Bengkulu, belum
lama berselang gunugn berapi meletus Sumatra Utara, kini Kep Mentawai,
DIY dan sebagian Jawa Tengah, menjadi pusat-pusat 'bencana baru'.
Korban tewas dan kerugian harta benda pun semakin banyak jumlahnya.
Gempa Sumatra Barat tahun lalu makan korban tewas melebihi 525 orang.
Tsunami Mentawai kali ini makan korban, sekurangnya 315 meninggal dan
lebih dari 400 hilang. Wedus Gembel Merapi menewaskan beberapa belas
nyawa, termasuk sang juru kunci yang banyak dimistifikasi, mbah Marijan.
Spontan mobilisasi atas bantuan kemanusian dilakukan oleh berbagai
pihak. Spontan pula masyarakat Indonesia, yang terbukti selalu
pemurah, memberikan berbagai bantuan, uang maupun barang. "Tanggap
Musibah", "Peduli Tsunami", "Mentawai Menangis", "1Hati
Mentawai-Merapi", dan seribu satu jenis slogan lainnya, bermunculan di
media massa.
Tanpa mengurangi prasangka baik akan ketulusan semua pihak yang
bergerak spontan ini, kecuali sedikit penyalahgunaan oleh segelintir
orang yang akan selalu terjadi, serta tanpa mengurangi rasa duka kita
kepada keluarga korban, ada baiknya kita mengambil jarak atas musibah
ini. Di luar kerja keras para sukarelawan serta kemurahatian para
dermawan, reaksi lain yang banyak kita lihat tiap-tiap ada musibah,
adalah aneka penjelasan dari para 'ilmuwan' tentang asal-muasal dan
sebab-musabab musibah ini.
Gempa kali ini berskala sekiat Skala Richter, dengan pusat gempa
sekian puluh kilometer di bawah laut, dengan posisi geografis sekian,
disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik, dan seterusnya. Lalu,
bantuan dan sedekah pun disalurkan, para korban dibantu dan disantuni.
Sesudah itu kembali biasa, sampai nanti, tanpa disangka-sangka,
guncangan baru, musibah baru, menerpa kita kembali. Siklus aksi-reaksi
ini pun menjadi rutinitas biasa.
Adakah yang salah dengan 'rutinitas' semacam itu?
Tentu saja tidak, tetapi ada yang kurang di situ: tafakur.
Marilah kita bertanya: mengapa musibah terus melanda kita?
Mengetahui
data seismograf gempa bumi tentu perlu, tetapi tak ada gunanya, bila
tidak memberikan dampak apa pun pada kita, sebagai insan, yang
mengalaminya. Artinya menjadi lebih penting untuk merenungkan dan
mengerti mengapa Allah SWT mengirimkan 'agennya', berupa gempa (dengan
data seismograf seperti apa pun, tidaklah penting kembali), juga Tsunami
yang meluluhlantakkan.
Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa pada tiap peristiwa ada
makna di sebaliknya. Apalagi peristiwa tersebut adalah sebuah guncangan
dahsyat, yang membuat kita sebagai makhluk tak berdaya. Marilah kita
tempatkan seluruh kejadian kosmos maupun individual kita, baik yang
mengalami langsung maupun yang melihatnya dari kejauhan, sebagai
kenyataan bahwa kita tengah terhempas dalam peristiwa yang menghadapkan
kita, di setiap tempat dan di setiap saat, dengan keagungan dan
keindahan Allah SWT, di satu sisi. Di sisi lain, kita juga dihadapkan
kepada kekuasaan dan kemahaperkasaan Allah SWT, atas konsekuensi segala
tindakan dan kelakuan kita.
Tidak ada kuncen yang sakti mandraguna, yang boleh jadi merasa harus
tidak meninggalkan tempat, karena dipotret sebagai manusia "roso", tanpa
sadar, mengiktui hawa nafsuya sendiri sebagai korban mitos yang
dibangun oleh media massa atas sosok dirinya, akhirnya hangus
terpanggang. Seperti halnya pemeran tokoh Superman, yang sebagai tokoh
fiktif sakti mandraguna, tetapi dalam realitasnya akhirnya mati setelah
bertahun-tahun lumpuh total, "hanya" karena terjatuh dari kuda. Ada
makna ilahiah di balik peristiwa kasat mata ini.
Ingatlah bagaimana kisah kaum Tsamud, sebagaimana diceritakan dalam
Surat Syam, dibinasakan. Dalam Surat As Syam (di ayat 14-15),
disebutkan "Lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah). Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu".
Perhatikanlah ketetapan Allah yang Mahaperkasa ini, 'tidak takut
terhadap tindakan-Nya itu.' Meski meluluhlantakkan lebih dari 200 ribu
nyawa sebagaimana terjadi di Tsunami Aceh, apalagi 'cuma' 500-600 orang
di Sumatra Barat atau Kepulauan Mentawai.
Kaum Tsamud dibinasakan karena membangkang pedoman yang dibawa oleh Rasulnya. Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan kata "rabbu-hum",
menunjukkan 'Ke-Tuhan-annya', dan Dia tak peduli dengan konsekuensi
tindakan-NYA. Camkan benar-benar. Allah SWT meluluh-lantakkan Kaum
Tsamud karena dosa mereka. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa
dalam kesatuan eksistensi bumi, sebuah tindakan yang salah karena
didorong oleh sikap membangkang akan mendatangkan tindakan Allah. Resapi
firman itu, 'dan mereka diratakan dengan tanah.' Ini berarti
bahwa bumi, dalam tabiat kepatuhan fitrahnya sesuai dengan penciptaan
kejadian, menghancurleburkan mereka. Atas perintah Allah SWT.
Dengan kata lain, gempa bumi, Guncangan Besar, Az Zalzalah, dalam
bahasa Al Qu�ran, haruslah kita pahami sebagai agen belaka. Di balik
fenomena alam ini adalah makna relasi kita dengan Allah SWT, yang telah
memberikan pedoman melalui Rasul dan Risalahnya, serta memberitahukan
konsekuensi-konsekuensi atasnya. Pada kepatuhankah kita atasnya atau
pembangkangan, seperti Kaum Tsamud?
Maka, di tengah kesibukan kita menolong, di tengah kepiluan kita yang
masih hidup, saatnya pula kita bersedekah sambil bertafakur. Agar
sedekah kita tidaklah sia-sia. Sebab apa yang berlaku pada Kaum Tsamud,
juga berlaku pada kita. Dan, pembangkangan umum apakah yang kini kita
terapkan? Salah satunya adalah larangan memakan riba! Inilah yang
sepatutnya kita sadari, riba telah menjadi sistem, dan cara hidup kita
hari ini. Paceklik, banjir dan badai, kegersangan, adalah tanda-tanda
yang diberikan oleh Rasul SAW apabila masyarakat telah mengingkari
timbangan dan takaran. Dan wujud paling nyata, paling curang tetapi
halus, paling menindas, tetapi paling menguntungkan segelintir orang,
adalah dipraktekkannya riba.
Maka, menjadi kewajiban kita semua, untuk bertaubat, memahami segala
bentuk praktek riba, dan mulai meninggalkannya. Pemakaian kembali Dinar
dan Dirham, serta Fulus pada saat sudah beredar nanti, akan memudahkan
masyarakat memahami kembali kerjahatan riba, sambil secara bertahap
meninggalkannya.
Agar kita tidak menjadi seperti kaum Tsamud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar